MEDAN- Menatap musim depan, sepak bola nasional tengah dilema lantaran tak dibolehkan lagi menyerap APBD. Termasuk PSMS yang belum melakukan apapun untuk berbenah demi tercapainya cita-cita kembali ke Indonesian Super League (ISL).
Padahal idealnya pengurus dan manajemen mesti gerak cepat mencari alternatif sokongan dana. Meski masih main di Divisi Utama, dana yang dibutuhkan mengarungi musim tetap besar. Jumlahnya mencapai milyaran. Rincian terberat dari persoalan dana adalah pembayaran gaji pemain. Disusul akomodasi selama away.
Musim lalu, PSMS disokong APBD Kota Medan. Jumlahnya mencapai Rp7 milyar. Di paruh kedua kompetisi, Bank Sumut masuk menjadi sponsor. Di samping itu ada tambahan dana dari penjualan tiket. Namun dengan sokongan dana sebesar itu, pengurus mengaku kekurangan dana untuk mengurusi klub. Ujungnya para pemain kerap telat gajian.
Nah, untuk menyoroti agar hal itu bisa diminimalisir musim depan, beberapa waktu lalu awak koran ini sempat berbincang dengan pengamat sepak bola Rafriandi Nasution. Da beberapa poin yang disampaikannya. Dan tampaknya saran tersebut masuk akal juga jika diterapkan dengan baik.
Pertama, Rafriandi menyarankan agar pengelolaan pertandingan kandang PSMS tak lagi dikelola panitia pelaksana yang orangnya dari pengurus juga. Ada baiknya mencoba menggunakan even organizer alias EO profesional. Dengan menyewa EO, diharapkan pengelolaan uang masuk dari tiketing bisa dipertanggungjawabkan dan diputar untuk keperluan tim. “Selama ini tiketing tetap pemasukan menjanjikan. Tapi tak pernah ada pertanggungjawabannya,” kata Rafriandi.
Di tangan EO, penjualan marchendise juga diharapkan berjalan. Tak usah jauh-jauh mencontek gaya pelaku sepak bola Eropa mencari tambahan dana dari marchendise, coba belajarlah dari klub ISL seperti Persipura, Arema Indonesia, Persib Bandung hingga Sriwijaya FC. Selain perlengkapan tim memang disponsori merk aparel terkenal, penjualan marchendise atau jersey klub bisa mendatangkan keuntungan. Lalu coba bayangkan dengan PSMS musim lalu yang perlengkapan timnya tak didanai sponsor. Boro-boro menjual jersey. Ironis.
Lalu, ada juga saran agar memperdayakan sistem tiket terusan. Ini juga pemasukan luar biasa jika dikelola maksimal. “Kan ada orang-orang kaya yang gila bola. Atau pengusaha yang juga peduli bola. Nah dari tipikal orang seperti itu, bisalah didekati agar mau membeli tiket kandang PSMS selama semusim. Bikin harga VVIP yang benar-benar VVIP. Berikan tempat duduknya dan nomori. Kalau sang pemilik tiket terusan tak datang, kursinya haruslah tetap kosong. Itu baru namanya kenyamanan menonton sepak bola. Ini bisa saja diatur, jika memang mau,” terang mantan anggota DPRD Medan itu.
Di samping itu, renovasi Stadion Teladan memang harga mati yang harus diupayakan pengurus. “Desak ke dewan, pasti ada anggaran untuk perbaikan. Selama ini Teladan memang jauh dari kata layak,” tambah ketua Badan Liga Instansi itu.
Terlepas dari itu semua, ada baiknya pengurus yang ada saat ini berkaca. Kalau memang tidak mampu membawa perubahan ke arah lebih baik, bagus mundur saja dengan kerendahan hati. Toh publik sudah muak. Seperti diwakili SMeCK Hooligan sebagai basis suporter PSMS terbesar, yang ingin adanya revolusi. “Kami sudah muak dengan cara pengurus bekerja,” beber Nata ketua SMeCK. (ful)