JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Skandal pengaturan hasil pertandingan (match fixing) di sepak bola Indonesia pelan dan pasti terungkap. Setelah pria berinsial BS mengungkapkan beberapa kasus yang melibatkan sejumlah klub, langkah yang sama diambil dua mantan pelatih. Yakni, Gunawan (eks pelatih Persipur Purwodadi) dan Agus Yuwono (mantan pelatih Persegres Gresik).
Kedua juru taktik tim itu mengungkapkan bahwa praktik kotor match fixing benar-benar terjadi di sepak bola tanah air. Gunawan mengatakan, saat menangani Persipur, mayoritas pertandingan diatur oleh bandar asal Malaysia bernama Jawahir Saliman yang akrab disapa Mr Sem. Sang bandar menghargai Rp 400 juta untuk setiap pertandingan yang bisa diatur.
“Terdapat sembilan pertadingan Persipur selama 2013 yang diatur bandar. Berapa yang diterima Persipur? Silakan saja kalikan sendiri. Saya pastikan semua pemain Persipur dan manajamen ikut terlibat,’’ tutur Gunawan, mantan asisten pelatih Deltras Sidoarjo itu.
Gunawan mengungkapkan, dalam persiapan tim-tim di Divisi Utama musim 2015, Mr Sem mengutus sejumlah runner alias perantara agar memberikan dana segar untuk membantu persiapan klub. Tujuannya, permainan klub-klub tersebut bisa diatur saat kompetisi berjalan.
’’Saya pastikan 50 persen tim-tim Divisi Utama sudah terkontaminasi dengan mafia asal Malaysia ini. Mafia Malaysia ini yang menghancurkan sepak bola kita. Saya juga tiga kali melaporkan masalah ini ke Djamal Aziz (anggota Exco PSSI, Red). Tapi, jawabannya hanya ya. Tiak ada tindakan,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Agus Yuwono mengatakan bahwa banyak orang Indonesia yang menjadi runner mafia sepak bola internasional. Dia mengaku tiga kali ditawari untuk mengatur skor. Sekali saat melatih Persidafon Dafonsoro serta dua kali ketika menjadi pelatih Persegres Gresik.
’’Waktu di Persidafon, saya ditawari untuk mengalah dari Persiwa Wamena dengan imbalan Rp 150 juta. Bahkan, satu jam sebelum pertandingan, para runner itu menambah Rp 50 untuk genap menjadi Rp 200 juta. Tapi, tawaran itu saya tolak,’’ ungkapnya.
’’Kurang ajarnya, para runner itu adalah orang Indonesia. Mereka membantu orang asing untuk merusak sepak bola kita,’’ tambah Agus.
Meski menolak suap, Persidafon tetap kalah 0-1 melawan Persiwa lewat gol dari tendangan penalti. Saat melatih Persegres di ajang Indonesia Super League (ISL) musim lalu, Agus diminta untuk bermain imbang melawan Persik Kediri dan Barito Putera. Untuk dua laga itu, Agus ditawari Rp 200 juta per pertandingan.
’’Saya nggak ambil uang itu. Nggak tahu, mungkin ada pengurus yang ambil. Sebab, saat dua laga itu, saya diinstruksi untuk tidak berada di bench oleh pengurus,’’ ungkapnya. Dalam dua laga tersebut, Persegres bermain imbang 1-1 melawan Persik dan 2-2 melawan Barito.
Agus berharap agar para mafia sepak bola diusut tuntas. ’’Saya sudah berikan beberapa data kepada tim advokasi. Data-data itu semoga bisa menjadi pintu masuk,’’ katanya.
Di sisi lain, Sekretaris Persegres Hendra Febri tidak percaya dengan pernyataan Agus. ’’Kalau memang seperti itu, seharusnya yang lebih paham tim teknis. Kami di manajemen tidak pernah mendapat tawaran itu,’’ katanya. (dik/nap/c4/ca)