30 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Kepercayaan Yaya Toure dan Gajinya

Seorang Yaya Toure dan rekan-rekannya sesama atlet sepak bola Eropa tampaknya tak merasakan pahitnya bulan tua. Mendapatkan gaji Rp450 juta per hari, apakah anda akan mengeluh ketika bulan memasuki penghujung?

Sudah sejak lama saya terpana dengan daya jelajah Yaya Toure di lini tengah Manchester City. Pria 29 tahun kelahiran Pantai Gading memang sangat bertenaga. Postur tinggi besar tak membuatnya lemah karena bobot. Dia mampu berlari dengan total puluhan kilometer sepanjang 90 menit tanpa lelah.
Bahkan dia bisa melakukan semua itu saat sedang berpuasa. Seorang pemain sepak bola profesional dengan jadwal tanding luar biasa, mampu melakukannya. Toure bersaudara memang seorang muslim (Kolo Toure, kakaknya yang juga main di Manchester City). Tak hanya sekadar muslim, Yaya Toure benar-benar melaksanakan perintah agamanya dengan maksimal. Ada beberapa kisah menarik tentang kepercayaannya itu. Tapi dia tak mendapat cemooh. Pun jika ada yang mencemoohnya, Yaya membayarnya dengan prestasi.

Di Liga Inggris, beberapa pemain asing yang datang banyak yang muslim. Musim ini di Newcastle United terdapat beberapa nama muslim. Mulai dari Papiss Cisse dan lainnya yang kebanyakan berdarah campuran. Maka tak heran jika manajer Newcastle Alan Pardew sampai harus mengajukan pembangunan tempat beribadah bagi skuadnya yang muslim.

Yang cukup menarik memang Yaya Toure. Tulisan ini saya buat juga berhubungan dengan kecakapannya bermain bola dan ketaatannya melaksanakan ibadah. Dan semua itu berdampak dengan kenaikan gajinya. Baru-baru ini Yaya mendapat perpanjangan kontrak sampai 2017 dengan nilai total selama empat tahun, Yaya bakal mendapatkan uang mencapai Rp666 miliar. Wow. Bisa kita bagi, per pekan Yaya bakal mendapat pemasukan mencapai Rp3 miliar. Atau jika dihitung harian, Yaya kurang lebih bakal mendapat bayaran Rp450 juta. Atau mari kita hitung per jam, maka Yaya Toure berhak mendapat Rp18 juta. Itukah balasan orang-orang yang taat? Mungkin saja hehehe.

Soal ketaatannya, Yaya beberapa kali membuat publik sepak bola Eropa terbelalak. Musim lalu, ketika melawan Newcastle, Yaya Toure meraih predikat pemain terbaik di pertandingan tersebut. Man of the match. Sebagai kebiasaan, setiap peraih gelar Man of the match, panitia pelaksana pertandingan bakal memberi selamat kepada sang peraih dengan sampagne alias minuman beralkohol yang menjadi salah satu partner sponsor liga Primer Inggris.
Kaget tak kepalang, panitia pelaksana pun menyangka Yaya bakal menolaknya. “Maaf, saya muslim dan saya tak bisa minum beralkohol,” begitu kata Yaya saat itu sembari memberikan sampagne tersebut ke rekannya, Joleon Lescott.

Pemain bernama lengkap Gnegneri Yaya Toure memang unik. Dia lahir di Sekoura Bouaké, Pantai Gading pada 13 Mei 1983. Bersama abangnya, Kolo Toure yang berposisi sebagai bek, Toure bersaudara memang gemar beribadah. Karena kekuatan fisiknya, Yaya mengaku tahan berpuasa Ramadan walau kompetisi Liga Inggris sedang berjalan. Berbeda dengan Kolo yang mengaku tak begitu kuat lantaran latihan yang keras. Tapi Kolo mengaku akan mengganti puasanya yang bobol di hari lain.

Dengan penghasilan yang ‘mengerikan’ Yaya memang hebat. Dia tak menghabiskan gajinya dari main bola dengan poya-poya selayaknya pemain bola kebanyakan. Yaya tetap seorang rendah hati. Kabarnya Yaya tak lupa mendonasikan sebagian gajinya untuk saudara-saudaranya di Pantai Gading.
Well, sepak bola memang selalu menarik. Keragaman budaya dan agama bisa tumbuh berdampingan di zona yang bisa dibilang sudah terlalu kapitalis seperti sepak bola itu sendiri. Industri besar berjuluk global game alias sepak bola itu menawarkan keseragaman. Tak lagi dipandang agama atau kepercayaan, sebab kemampuan di lapangan bakal mendapat apresiasi menakjubkan.

Dan hebatnya, komunitas muslim yang segelintir di Eropa tetap menyoroti tindakan-tindakan yang menjurus penghinaan di dalam sepak bola. Sama halnya dengan upaya FIFA memerangi rasisme, kelompok ini berusaha memerangi diskriminasi berbau kepercayaan. Dan yang mendapat kritik salah satunya adalah Gary Lineker.

Ya, eks striker Tottenham Hotspurs yang kini menjadi komentator bola itu sempat menyebut selebrasi sujud sebagai selebrasi makan rumput. Lucu memang, tapi hal itu berdampak besar rupanya.

Lineker menjadi komentator di channel Al Jazeera +3 untuk laga Montpellier vs Schalke di matchday 2 Liga Champions musim lalu.
Dalam laga tersebut striker Montpellier asal Maroko Karim Ait-Fana berhasil mencetak gol dan merayakan selebrasinya dengan bersujud bersama rekannya, Younes Belhanda.

Lineker pun berceletuk “Usaha yang hebat dari Karim Ait-Fana, mencetak gol dari area luar kotak penalti dan kemudian memakan rumput seperti biasanya,” beber Lineker.

Salah satu tokoh muslim di London Ajmal Masroor pun mengecam. “Komentar yang tak pantas dari seorang yang harusnya jadi panutan. Dia harus meminta maaf,” ujar Ajmal di Daily Mail. Keesokannya, Lineker pun meminta maaf. Hidup berdamping memang indah. (*)

Seorang Yaya Toure dan rekan-rekannya sesama atlet sepak bola Eropa tampaknya tak merasakan pahitnya bulan tua. Mendapatkan gaji Rp450 juta per hari, apakah anda akan mengeluh ketika bulan memasuki penghujung?

Sudah sejak lama saya terpana dengan daya jelajah Yaya Toure di lini tengah Manchester City. Pria 29 tahun kelahiran Pantai Gading memang sangat bertenaga. Postur tinggi besar tak membuatnya lemah karena bobot. Dia mampu berlari dengan total puluhan kilometer sepanjang 90 menit tanpa lelah.
Bahkan dia bisa melakukan semua itu saat sedang berpuasa. Seorang pemain sepak bola profesional dengan jadwal tanding luar biasa, mampu melakukannya. Toure bersaudara memang seorang muslim (Kolo Toure, kakaknya yang juga main di Manchester City). Tak hanya sekadar muslim, Yaya Toure benar-benar melaksanakan perintah agamanya dengan maksimal. Ada beberapa kisah menarik tentang kepercayaannya itu. Tapi dia tak mendapat cemooh. Pun jika ada yang mencemoohnya, Yaya membayarnya dengan prestasi.

Di Liga Inggris, beberapa pemain asing yang datang banyak yang muslim. Musim ini di Newcastle United terdapat beberapa nama muslim. Mulai dari Papiss Cisse dan lainnya yang kebanyakan berdarah campuran. Maka tak heran jika manajer Newcastle Alan Pardew sampai harus mengajukan pembangunan tempat beribadah bagi skuadnya yang muslim.

Yang cukup menarik memang Yaya Toure. Tulisan ini saya buat juga berhubungan dengan kecakapannya bermain bola dan ketaatannya melaksanakan ibadah. Dan semua itu berdampak dengan kenaikan gajinya. Baru-baru ini Yaya mendapat perpanjangan kontrak sampai 2017 dengan nilai total selama empat tahun, Yaya bakal mendapatkan uang mencapai Rp666 miliar. Wow. Bisa kita bagi, per pekan Yaya bakal mendapat pemasukan mencapai Rp3 miliar. Atau jika dihitung harian, Yaya kurang lebih bakal mendapat bayaran Rp450 juta. Atau mari kita hitung per jam, maka Yaya Toure berhak mendapat Rp18 juta. Itukah balasan orang-orang yang taat? Mungkin saja hehehe.

Soal ketaatannya, Yaya beberapa kali membuat publik sepak bola Eropa terbelalak. Musim lalu, ketika melawan Newcastle, Yaya Toure meraih predikat pemain terbaik di pertandingan tersebut. Man of the match. Sebagai kebiasaan, setiap peraih gelar Man of the match, panitia pelaksana pertandingan bakal memberi selamat kepada sang peraih dengan sampagne alias minuman beralkohol yang menjadi salah satu partner sponsor liga Primer Inggris.
Kaget tak kepalang, panitia pelaksana pun menyangka Yaya bakal menolaknya. “Maaf, saya muslim dan saya tak bisa minum beralkohol,” begitu kata Yaya saat itu sembari memberikan sampagne tersebut ke rekannya, Joleon Lescott.

Pemain bernama lengkap Gnegneri Yaya Toure memang unik. Dia lahir di Sekoura Bouaké, Pantai Gading pada 13 Mei 1983. Bersama abangnya, Kolo Toure yang berposisi sebagai bek, Toure bersaudara memang gemar beribadah. Karena kekuatan fisiknya, Yaya mengaku tahan berpuasa Ramadan walau kompetisi Liga Inggris sedang berjalan. Berbeda dengan Kolo yang mengaku tak begitu kuat lantaran latihan yang keras. Tapi Kolo mengaku akan mengganti puasanya yang bobol di hari lain.

Dengan penghasilan yang ‘mengerikan’ Yaya memang hebat. Dia tak menghabiskan gajinya dari main bola dengan poya-poya selayaknya pemain bola kebanyakan. Yaya tetap seorang rendah hati. Kabarnya Yaya tak lupa mendonasikan sebagian gajinya untuk saudara-saudaranya di Pantai Gading.
Well, sepak bola memang selalu menarik. Keragaman budaya dan agama bisa tumbuh berdampingan di zona yang bisa dibilang sudah terlalu kapitalis seperti sepak bola itu sendiri. Industri besar berjuluk global game alias sepak bola itu menawarkan keseragaman. Tak lagi dipandang agama atau kepercayaan, sebab kemampuan di lapangan bakal mendapat apresiasi menakjubkan.

Dan hebatnya, komunitas muslim yang segelintir di Eropa tetap menyoroti tindakan-tindakan yang menjurus penghinaan di dalam sepak bola. Sama halnya dengan upaya FIFA memerangi rasisme, kelompok ini berusaha memerangi diskriminasi berbau kepercayaan. Dan yang mendapat kritik salah satunya adalah Gary Lineker.

Ya, eks striker Tottenham Hotspurs yang kini menjadi komentator bola itu sempat menyebut selebrasi sujud sebagai selebrasi makan rumput. Lucu memang, tapi hal itu berdampak besar rupanya.

Lineker menjadi komentator di channel Al Jazeera +3 untuk laga Montpellier vs Schalke di matchday 2 Liga Champions musim lalu.
Dalam laga tersebut striker Montpellier asal Maroko Karim Ait-Fana berhasil mencetak gol dan merayakan selebrasinya dengan bersujud bersama rekannya, Younes Belhanda.

Lineker pun berceletuk “Usaha yang hebat dari Karim Ait-Fana, mencetak gol dari area luar kotak penalti dan kemudian memakan rumput seperti biasanya,” beber Lineker.

Salah satu tokoh muslim di London Ajmal Masroor pun mengecam. “Komentar yang tak pantas dari seorang yang harusnya jadi panutan. Dia harus meminta maaf,” ujar Ajmal di Daily Mail. Keesokannya, Lineker pun meminta maaf. Hidup berdamping memang indah. (*)

Artikel Terkait

Die Werkself Lolos dengan Agregat 4-1

Sevilla ke Perempat Final Liga Europa

Bayern Munchen di Atas Angin

The Red Devils Lolos Mudah

Nerazzurri ke 8 Besar Liga Europa

Terpopuler

Artikel Terbaru

/