Ternyata, tak hanya di Indonesia yang punya masalah penggajian pemain. Sejumlah klub di Eropa Timur ternyata juga mengalami kasus sama. Tak hanya itu, mereka masih juga harus menanggung pajak dan menbayar sendiri uang pensiun.
Asosiasi Pesepakbola Profesional (FIFPro) baru-baru ini mengungkapkan sebuah fakta kelam di balik gemerlapnya sepak bola Eropa. Banyak pemain di kawasan Eropa timur seperti Kroasia, Republik Ceko, Slovakia, dan Slovenia ternyata sering telat mendapatkan gaji, bahkan tak dibayar sama sekali.
Kondisi ini membuat mereka sangat rentan dimanfaatkan para pengatur pertandingan, bahkan tak jarang para pemain sendiri yang meminta kepada para mafia. “Kadang-kadang, satu-satunya orang yang menggaji mereka tepat waktu adalah para pengatur pertandingan,” ungkap seorang Anggota Dewan FIFPro Dejan Stefanovic, seperti dilansir Reuters.
“Saya pernah mendengar para pemain yang sudah sangat putus asa dan mereka menelepon para pengatur pertandingan, bertanya apakah mereka butuh pertandingan yang dimanipulasi,” tambahnya.
Masalah tak berhenti sampai di gaji. Para pemain tersebut statusnya dianggap pekerja mandiri sehingga semua beban pajak, jaminan sosial, dan segala sumbangan ditanggung mereka sendiri. Maka ketika gaji telat atau bahkan tak dibayarkan, mereka tetap punya tanggungan berat. “Ini cukup luar biasa, tapi para pemain harus membayar pajak, jaminan sosial, dan uang pensiun meskipun klub tidak menggajinya,” kata Stefanovic.
Yang membuat semakin rumit, beberapa klub juga meminta pemain yang ingin hengkang untuk menebus klausul buy-out sementara gajinya tak seberapa. Sehingga untuk pindah ke klub lain jadi menyulitkan. “Meski klub tak menggaji, mereka meminta pemain untuk menebus klausul buy-out sebesar 400 ribu Euro, padahal gajinya hanya 800 Euro sebulan,” ujar Stefanovic menceritakan pengalaman seorang pemain di Slovenia.
Atas hal ini, Stefanovic bahkan menyarankan para remaja yang ingin mencoba berkarir sebagai pemain sepak bola untuk tidak hanya mengandalkan kebolehan, namun memiliki rencana masa depan alternatif. “Saya akan mengatakan pada anak-anak untuk melupakannya dan jika mereka ingin mencobanya, pastikan mereka belajar dan punya alternatif. Mengapa mereka ingin melakukannya? Semua orang ingin mewujudkan mimpi masa kecilnya, tapi itu seperti sebuah lotere. Mereka ingin mendapatkan sesuatu, mereka bermimpi bermain di Liga Champions dan Timnas. Mereka berharap dan berharap, dan kebanyakan berakhir gagal, lalu bekerja di ladang dan memetik tanaman hanya untuk bertahan hidup,” tandasnya. (bbs/jpnn)
Masih Harus Bayar Pajak, Jaminan Sosial, dan Uang Pensiun Sendiri
Ternyata, tak hanya di Indonesia yang punya masalah penggajian pemain. Sejumlah klub di Eropa Timur ternyata juga mengalami kasus sama. Tak hanya itu, mereka masih juga harus menanggung pajak dan menbayar sendiri uang pensiun.
Asosiasi Pesepakbola Profesional (FIFPro) baru-baru ini mengungkapkan sebuah fakta kelam di balik gemerlapnya sepak bola Eropa. Banyak pemain di kawasan Eropa timur seperti Kroasia, Republik Ceko, Slovakia, dan Slovenia ternyata sering telat mendapatkan gaji, bahkan tak dibayar sama sekali.
Kondisi ini membuat mereka sangat rentan dimanfaatkan para pengatur pertandingan, bahkan tak jarang para pemain sendiri yang meminta kepada para mafia. “Kadang-kadang, satu-satunya orang yang menggaji mereka tepat waktu adalah para pengatur pertandingan,” ungkap seorang Anggota Dewan FIFPro Dejan Stefanovic, seperti dilansir Reuters.
“Saya pernah mendengar para pemain yang sudah sangat putus asa dan mereka menelepon para pengatur pertandingan, bertanya apakah mereka butuh pertandingan yang dimanipulasi,” tambahnya.
Masalah tak berhenti sampai di gaji. Para pemain tersebut statusnya dianggap pekerja mandiri sehingga semua beban pajak, jaminan sosial, dan segala sumbangan ditanggung mereka sendiri. Maka ketika gaji telat atau bahkan tak dibayarkan, mereka tetap punya tanggungan berat. “Ini cukup luar biasa, tapi para pemain harus membayar pajak, jaminan sosial, dan uang pensiun meskipun klub tidak menggajinya,” kata Stefanovic.
Yang membuat semakin rumit, beberapa klub juga meminta pemain yang ingin hengkang untuk menebus klausul buy-out sementara gajinya tak seberapa. Sehingga untuk pindah ke klub lain jadi menyulitkan. “Meski klub tak menggaji, mereka meminta pemain untuk menebus klausul buy-out sebesar 400 ribu Euro, padahal gajinya hanya 800 Euro sebulan,” ujar Stefanovic menceritakan pengalaman seorang pemain di Slovenia.
Atas hal ini, Stefanovic bahkan menyarankan para remaja yang ingin mencoba berkarir sebagai pemain sepak bola untuk tidak hanya mengandalkan kebolehan, namun memiliki rencana masa depan alternatif. “Saya akan mengatakan pada anak-anak untuk melupakannya dan jika mereka ingin mencobanya, pastikan mereka belajar dan punya alternatif. Mengapa mereka ingin melakukannya? Semua orang ingin mewujudkan mimpi masa kecilnya, tapi itu seperti sebuah lotere. Mereka ingin mendapatkan sesuatu, mereka bermimpi bermain di Liga Champions dan Timnas. Mereka berharap dan berharap, dan kebanyakan berakhir gagal, lalu bekerja di ladang dan memetik tanaman hanya untuk bertahan hidup,” tandasnya. (bbs/jpnn)