26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

FIFA Temukan Pengaturan Skor

JAKARTA-Kasus pengaturan skor di sepak bola belakangan ini terus merajalela. Bukan hanya di Eropa, pengaturan skor juga terjadi di Asia dan juga Indonesia.

Hal itu disampaikan Regional Investigator South-East Asia Sportdata, Michael Pride, dalam sebuah diskusi di Cafe Kopi Tiam Kawasan SCBD Jakarta Selatan, Selasa (12/3). Pria yang juga investigator FIFA ini menyatakan, pengaturan skor sepak bola terjadi setiap minggu. “Pengaturan skor di sepak bola terjadi setiap minggu, saya punya banyak datanya,” ungkapnya.

Di Indonesia, lanjut Mike, pengaturan skor masuk melalui Singapura dan Malaysia. Mafia dari Singapura ini juga masuk ke sepak bola di liga-liga elit yang digelar di Eropa. “Ada sindikat yang beroperasi dari Singapura, dan mereka sudah masuk ke Indonesia. Beberapa orang ini masuk mengatur pertandingan di liga domestik Indonesia,” jelas Mike.

Ia juga menerangkan, pengaturan skor di sepak bola dilakukan dengan dua alasan. “Ada sindikat yang mengatur pertandingan untuk judi bola. Ada juga yang mengatur untuk posisinya, agar klubnya bisa juara,” ungkap Mike.

Terjadi Sejak Era 80-an Praktek suap dalam sepak bola Indonesia ternyata sudah lama terjadi. Praktek yang merusak sepak bola Indonesia bahkan terjadi sejak 1980-an silam.

Juru Bicara Save Our Soccer (SOS) Apung Widadi, menyatakan, pengaturan skor di era 80-an dilakukan oleh pemain dan wasit. Hal ini terjadi karena bayaran wasit dan pemain rendah. “Istilah yang dikenal saat itu adalah sepak bola gajah,” tutur Apung.

Praktek suap itu berlanjut ke era 90-an. Di era ini bayaran pemain sangat tinggi sementara bayaran kepada wasit masih rendah. “Di era ini yang terjadi adalah mafia wasit,” ujar Apung lagi.

Lalu pada tahun 2000-an praktek pengaturan skor kembali terjadi meski bayaran wasit dan pemain cukup tinggi. Kali ini, kata Apung, yang bermain adalah mafia pengurus. “Juga terjadi penyusunan jadwal yang tidak baik oleh oknum pengurus. Pengaturan skor, pengaturan juara, promosi, dan hukuman,’ jelasnya.

KLB PSSI Diusulkan Bahas Match-Fixing
Sementara, Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada 17 Maret mendatang diusulkan tak hanya membahas soal empat agenda pokok. Soal pemberantasan mafia sepak bola dan pengaturan skor diharapkan juga masuk dalam pembahasan.

Agenda utama KLB PSSI ada empat, yakni soal penyatuan liga, revisi statuta, pengembalian empat anggota Komite Eksekutif (Exco) yang dipecat, serta penyelenggaraan kongres dengan peserta Kongres Solo 2011.

Namun, Apung mengusulkan agar KLB PSSI juga menyinggung soal pemberantasan mafia sepak bola dan pengaturan skor (match-fixing). “Sebenarnya ada masalah yang lebih krusial dari empat agenda kongres nanti.

Selain poin-poin dalam kongres tersebut ada isu terbesar, yakni pengaturan skor, suap, dapat masuk dalam agenda kongres. Karena mau tidak mau ini adalah isu yang sangat global,” ungkapnya.

Apung menjelaskan, pengaturan skor dan suap sudah menjadi rahasia umum di persepakbolaan Indonesia sejak 1980-an. Tapi, proses pembuktian pengaturan skor tersebut memang membutuhkan waktu lama dan bukti yang kuat.

Menurut catatan SOS, kasus suap yang pernah terjadi di antaranya klub Divisi I Panajam Medan Jaya (PMJ) kepada anggota Komdis PSSI pada 2007 lalu. Kasus ini melibatkan Togar Manahan Nero (Komdis PSSI), Kaharudin Syah (Wakil Sekjen PSSI), Syawal Rifai (Manajer PMJ) dan Arismen (Asisten PMJ).

Dalam kasus itu, PMJ terbukti menyuap sebesar Rp100 juta agar bisa ikut berkompetisi di Divisi I musim 2007. Namun, kasus tersebut tidak dibawa ke polisi. Hanya ada hukuman dari PSSI yang minimalis dan cenderung tidak adil. Penerima hanya diberhentikan dari PSSI, sedangkan pemberi dihukum non aktif lima tahun dari PSSI daerah dan sepak bola nasional.

Menurut Apung, kasus tersebut merupakan contoh sejarah pengaturan skor dan suap yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu hingga saat ini. Tapi, ia menilai federasi belum tegas dalam menangani masalah tersebut.

Untuk itu, ia berharap saat ini pemerintah dapat membuka mata, permasalahan sepak bola Indonesia tidak hanya di Kongres 17 Maret, tapi permasalahan yang akan berlangsung dalam jangka panjang.

“Kongres hanya membuka ruang bagi mafia. Ruangnya terlalu dibuka oleh Menpora, saya menilai pemerintah telah melakukan intervensi yang tidak terukur. Membiarkan aktor-aktor mafia masuk lagi,” katanya.

“Menpora harus berperan serta, paling tidak sebagai fasilitator karena ini bukan hanya soal sepak bola saja, tapi sportivitas,” tambahnya.

“Jadi, peran itu harus dilakukan Menpora. Konflik tak akan selesai meski ada kongres. Bagi kami, dasar konflik itu adalah periuk nasi, artinya ada uang yang diperebutkan,” tandas Apung. (abu/jpnn)

JAKARTA-Kasus pengaturan skor di sepak bola belakangan ini terus merajalela. Bukan hanya di Eropa, pengaturan skor juga terjadi di Asia dan juga Indonesia.

Hal itu disampaikan Regional Investigator South-East Asia Sportdata, Michael Pride, dalam sebuah diskusi di Cafe Kopi Tiam Kawasan SCBD Jakarta Selatan, Selasa (12/3). Pria yang juga investigator FIFA ini menyatakan, pengaturan skor sepak bola terjadi setiap minggu. “Pengaturan skor di sepak bola terjadi setiap minggu, saya punya banyak datanya,” ungkapnya.

Di Indonesia, lanjut Mike, pengaturan skor masuk melalui Singapura dan Malaysia. Mafia dari Singapura ini juga masuk ke sepak bola di liga-liga elit yang digelar di Eropa. “Ada sindikat yang beroperasi dari Singapura, dan mereka sudah masuk ke Indonesia. Beberapa orang ini masuk mengatur pertandingan di liga domestik Indonesia,” jelas Mike.

Ia juga menerangkan, pengaturan skor di sepak bola dilakukan dengan dua alasan. “Ada sindikat yang mengatur pertandingan untuk judi bola. Ada juga yang mengatur untuk posisinya, agar klubnya bisa juara,” ungkap Mike.

Terjadi Sejak Era 80-an Praktek suap dalam sepak bola Indonesia ternyata sudah lama terjadi. Praktek yang merusak sepak bola Indonesia bahkan terjadi sejak 1980-an silam.

Juru Bicara Save Our Soccer (SOS) Apung Widadi, menyatakan, pengaturan skor di era 80-an dilakukan oleh pemain dan wasit. Hal ini terjadi karena bayaran wasit dan pemain rendah. “Istilah yang dikenal saat itu adalah sepak bola gajah,” tutur Apung.

Praktek suap itu berlanjut ke era 90-an. Di era ini bayaran pemain sangat tinggi sementara bayaran kepada wasit masih rendah. “Di era ini yang terjadi adalah mafia wasit,” ujar Apung lagi.

Lalu pada tahun 2000-an praktek pengaturan skor kembali terjadi meski bayaran wasit dan pemain cukup tinggi. Kali ini, kata Apung, yang bermain adalah mafia pengurus. “Juga terjadi penyusunan jadwal yang tidak baik oleh oknum pengurus. Pengaturan skor, pengaturan juara, promosi, dan hukuman,’ jelasnya.

KLB PSSI Diusulkan Bahas Match-Fixing
Sementara, Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada 17 Maret mendatang diusulkan tak hanya membahas soal empat agenda pokok. Soal pemberantasan mafia sepak bola dan pengaturan skor diharapkan juga masuk dalam pembahasan.

Agenda utama KLB PSSI ada empat, yakni soal penyatuan liga, revisi statuta, pengembalian empat anggota Komite Eksekutif (Exco) yang dipecat, serta penyelenggaraan kongres dengan peserta Kongres Solo 2011.

Namun, Apung mengusulkan agar KLB PSSI juga menyinggung soal pemberantasan mafia sepak bola dan pengaturan skor (match-fixing). “Sebenarnya ada masalah yang lebih krusial dari empat agenda kongres nanti.

Selain poin-poin dalam kongres tersebut ada isu terbesar, yakni pengaturan skor, suap, dapat masuk dalam agenda kongres. Karena mau tidak mau ini adalah isu yang sangat global,” ungkapnya.

Apung menjelaskan, pengaturan skor dan suap sudah menjadi rahasia umum di persepakbolaan Indonesia sejak 1980-an. Tapi, proses pembuktian pengaturan skor tersebut memang membutuhkan waktu lama dan bukti yang kuat.

Menurut catatan SOS, kasus suap yang pernah terjadi di antaranya klub Divisi I Panajam Medan Jaya (PMJ) kepada anggota Komdis PSSI pada 2007 lalu. Kasus ini melibatkan Togar Manahan Nero (Komdis PSSI), Kaharudin Syah (Wakil Sekjen PSSI), Syawal Rifai (Manajer PMJ) dan Arismen (Asisten PMJ).

Dalam kasus itu, PMJ terbukti menyuap sebesar Rp100 juta agar bisa ikut berkompetisi di Divisi I musim 2007. Namun, kasus tersebut tidak dibawa ke polisi. Hanya ada hukuman dari PSSI yang minimalis dan cenderung tidak adil. Penerima hanya diberhentikan dari PSSI, sedangkan pemberi dihukum non aktif lima tahun dari PSSI daerah dan sepak bola nasional.

Menurut Apung, kasus tersebut merupakan contoh sejarah pengaturan skor dan suap yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu hingga saat ini. Tapi, ia menilai federasi belum tegas dalam menangani masalah tersebut.

Untuk itu, ia berharap saat ini pemerintah dapat membuka mata, permasalahan sepak bola Indonesia tidak hanya di Kongres 17 Maret, tapi permasalahan yang akan berlangsung dalam jangka panjang.

“Kongres hanya membuka ruang bagi mafia. Ruangnya terlalu dibuka oleh Menpora, saya menilai pemerintah telah melakukan intervensi yang tidak terukur. Membiarkan aktor-aktor mafia masuk lagi,” katanya.

“Menpora harus berperan serta, paling tidak sebagai fasilitator karena ini bukan hanya soal sepak bola saja, tapi sportivitas,” tambahnya.

“Jadi, peran itu harus dilakukan Menpora. Konflik tak akan selesai meski ada kongres. Bagi kami, dasar konflik itu adalah periuk nasi, artinya ada uang yang diperebutkan,” tandas Apung. (abu/jpnn)

Artikel Terkait

Die Werkself Lolos dengan Agregat 4-1

Sevilla ke Perempat Final Liga Europa

Bayern Munchen di Atas Angin

The Red Devils Lolos Mudah

Nerazzurri ke 8 Besar Liga Europa

Terpopuler

Artikel Terbaru

/