AMSTERDAM-Tandukan Branislav Ivanonic lewat sepak pojok ke gawang Benfica, menjadikannya pahlawan Chelsea di final Liga Europa di Amsterdam Arena, Kamis (16/5) dini hari WIB. Sang arsitek Rafael Benitez pun mengklaim, memang telah menyiapkan skema itu karena sudah mengantongi kelemahan Benfica.
Chelsea unggul lebih dulu lewat gol Fernando Torres. Benfica kemudian menyamakan kedudukan melalui Oscar Cardozo yang mencetak gol dari titik putih.
Kemenangan Chelsea baru ditentukan di masa enjury time (92). Berawal dari sepak pojok Juan Mata, Ivanovic menanduk bola ke pojok kiri gawang dan Artur hanya bisa terpaku melihat bola meluncur ke dalam gawangnya.
Menang 2-1, Chelsea pun berhak atas trofi Liga Europa musim 2012/2013.
Terkait gol itu, Benitez mengaku dirinya memang telah merencanakan gol dari skema sepak pojok. Dengan bantuan David Luiz yang juga pernah membela Benfica, Benitez mempelajari kelemahan dari tim arahan Jorge Jesus itu. “Ivanovic mencetak gol yang bagus dan itu adalah sesuatu yang kami latih karena kami tahu bagaimana mereka bertahan dari sepak pojok dan kami mencoba untuk mengeksploitasi masalah yang mereka miliki,” tutur Benitez di situs resmi Chelsea.
“Kami bekerja dengan staf teknik untuk menganalisis ini, dan David Luiz bercerita pada kami, karena ia pernah di sana sebelumnya, soal masalah yang mereka miliki. Jadi kami mencoba untuk mengambil keuntungan,” tambah pria Spanyol itu.
Atas hasil ini, Rafa mencatat rekor. Setelah membawa The Blues juara Liga Europa, ia menjadi pelatih kedua setelah Udo Lattek, yang mampu menjuarai tiga turnamen Eropa dengan tiga klub berbeda.
Sebelumnya Benitez sudah punya dua trofi kompetisi antarklub Eropa yakni Piala UEFA bersama Valencia di musim 2003/2004 dan Liga Champions di musim 2004/2005 bersama Liverpool.
Pelatih asal Spanyol itu jadi orang kedua yang mampu melakukannya di tiga klub berbeda setelah pelatih legendaris Jerman, Udo Lattek, di tahun 70 dan 80-an.
Lattek meraih Piala Champions bersama Bayern Munchen pada 1974 lalu berlanjut 1979 bersama Borussia Monchengladbach di Piala UEFA, dan Piala Winners pada 1982 dengan Barcelona.
Seperti dilansir BBC, Benitez juga jadi manajer keempat yang mampu memenangi trofi Liga Europa/Piala UEFA lebih dari satu kali.
Sebelumnya sudah ada Giovanni Trapattoni (1977 dan 1993 bersama Juventus, 1991 bersama Inter Milan), Luis Molowny (1985 dan 1986 bersama Real Madrid), dan Juande Ramos (2006 dan 2007 bersama Sevilla).
Sementara itu, Benfica yang pernah berjaya di Eropa, masih belum bisa bangkit. Dan hasil negatif ini termasuk kekalahan ketujuh beruntun mereka di final kompetisi Eropa.
Di musim 1960/1961 dan 1961/1962, Aguias pernah mengecap manisnya trofi Piala/Liga Champions, saat itu mereka mengakhiri dominasi Real Madrid yang jadi juara di lima musim sebelumnya.
Setelah periode tersebut, Benfica berulang kali lolos ke final kompetisi-kompetisi Eropa.
Termasuk di musim 1962/1963. Mereka punya peluang mencatatkan hat-trick juara Piala Champions namun kemudian kalah dari AC Milan dengan skor 1-2.
Beberapa final lain yang sempat ditembus Benfica adalah Piala Champions 1964/1965 (kalah 0-1 atas Inter Milan), Piala Champions 1967/1968 (kalah 1-4 dari Manchester United), Piala UEFA 1983 (kalah dari Anderlecht), Piala Champions 1987/1988 (kalah dari PSV Eindhoven), dan yang terakhir di Piala Champions 1989/1990 (kembali kalah dari Milan).
Enam kali kalah beruntun di final tentu menyesakkan bagi Benfica yang adalah pemilik trofi liga terbanyak di Portugal. Maka dari itu final Liga Europa musim ini jadi momentum menghapus catatan buruk itu.
Tapi apa daya semangat yang ditunjukkan Oscar Cardozo dkk di laga itu belum cukup membendung laju Chelsea yang muncul sebagai pemenang. Lagi-lagi Benfica harus jadi pihak yang tertunduk lesu di partai final.
Seperti dilansir Opta, kekalahan ketujuh beruntun di final kompetisi Eropa sekaligus memperpanjang rekor buruk Benfica kala bertemu wakil-wakil Inggris. (bbs/jpnn)