23.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Massimo Moratti yang Mendadak Pemaaf

Jika melihat kondisi Inter Milan saat ini yang kian mengenaskan, pandangan publik tentu tertuju pada sosok Claudio Ranieri. Sang pembesut strategi yang kini kian getir menerima hujatan atas sederet hasil buruk yang diraihnya.

Catatan: Doni Hermawan

Bayang-bayang pemecatan terus menghantuinya. Teranyar The Tinker Man membawa Inter menyingkir dari hingar bingar pentas Eropa ala Liga Champions. Dilengkapi Minggu (18/3) kemarin, Ranieri masih juga belum menghadirkan senyum bagi para Interisti. Hasil imbang tanpa gol kontra Atalanta di Giuseppe Meazza melanjutkan kisah getir Ranieri.

Setiap hasil buruk yang ditorehkan pria berusia 60 tahun itu, pandangan tentu akan tertuju pada sosok Presiden Inter Massimo Moratti. Penghuni tribun kehormatan Stadion Giuseppe Meazza terkenal ringan tangan untuk urusan gonta ganti pelatih. Namun Ranieri digolongkan orang beruntung karena berulang kali mendapat pengampunan dari salah satu raja minyak Italia itu.

Pengampunan Moratti dimulai saat Ranieri memulai kisah buruk dari markas Lecce, Stadion Via Del Mare di awal Januari. Kekalahan 0-1 diikuti rentetan hasil buruk lainnya. Ditahan Palermo (4-4), dikandaskan mantan klubnya AS Roma (4-0) lalu diluluhlantakkan tim promosi Novara (0-1) dan Bologna (0-3) di Giuseppe Meazza. Belum kering lagi luka, Marseille (0-1) dan Catania (2-2) menabur garam.

Kurang dari sepekan berikutnya, Ranieri kembali mempertaruhkan ‘nyawanya’ di Mark Antonio Bentegodi, markas Chievo. Bahkan kali ini sangat krusial karena bertepatan dengan ulang tahun ke 104 Il Biscione yang jatuh 9 Maret.

Selain untuk menyelamatkan karir kepelatihannya, Ranieri tentu tak mau dicap “raja tega” memberikan kado kekalahan kepada klub dan fans.
Pencapaian sederhana itu akhirnya didapatkan Ranieri. Samuel dan Milito lewat golnya membuat Ranieri punya kado kecil untuk ultah si Hitam Biru. Luapan kelegaan atas beban yang demikian berat hadir lewat mata yang berkaca-kaca.

Ranieri memang sukses membuat Moratti tersenyum waktu itu. Namun masih dalam suasana perayaan empat hari berselang, senyum itu berubah getir karena Inter tak bisa melewati hadangan Marseille. Milito dan Pazzini memang sukses membuat Si Hitam Biru menang 2-1. Tapi itu kemenangan terpahit Inter. Lewat satu kesempatan, striker pengganti  Les Phoceens-julukan Marseille-Brandao mengeliminasi Inter dari kompetisi terbaik Eropa itu.
Tak ada maaf! Begitu pikir kebanyakan orang. Seiring wajah Moratti yang kian memerah menahan malu. Tapi nyatanya lagi-lagi kita mendapati reaksi yang sangat santun dari seorang Moratti. Kata-kata bijak Moratti memastikan posisi Ranieri aman. Setidaknya hingga akhir musim.

“Pada malam seperti ini saya tidak merasa seperti mengambil tindakan apapun. Saya tidak melihat bagaimana Ranieri yang harus disalahkan, itu lebih berkaitan dengan keberuntungan tim klub Perancis asuhan Deschamps. Jika kita telah kehilangan 4-0, saya mungkin telah melihat sesuatu yang berbeda, tetapi setelah memasukkan dua gol saat berakhirnya pertandingan saya tidak merasa saya bisa memberikan penilaian negatif. Ranieri tidak layak mendapatkannya,” katanya di laman resmi Inter.

Menilik sosok Moratti yang mendadak pemaaf publik Italia atau bahkan sepak bola dunia pantas saja heran. Ini bukan karakternya, mengingat kegemarannya gonta-ganti pelatih sejak mengambil alih tampuk kepemimpinan Inter di tahun 1995. Tercatat 16 nama pelatih (Luciano Castellini dan Roy Hogson menjabat dua kali-Red) silih berganti dalam perjalanan 16 musim sebagai pemberi instruksi dari pinggir lapangan. Artinya rata-rata Moratti mengganti pelatih setiap musim. Korban terakhir, Gianpiero Gasperini yang hanya bertahan enam laga.

Bandingkan dengan Manchester United dan Arsenal yang setia dengan satu nama selama lebih dari satu dekade (Alex Ferguson 25 musim dan Arsene Wenger 16 musim-red). Keduanya memang kerap menghadirkan deretan trofi di lemari klub. Satu yang perlu dicatat, keduanya juga tak selalu membuat tim berpesta setiap musim. Kegagalan tak lepas dari perjalanan mengarsiteki klub.

Menilik sosok Moratti yang sangat ambisius bisa dibilang untuk pembuktian diri. Angelo Moratti, ayahnya adalah presiden tersukses Inter sepanjang masa. La Grande Inter pada masanya dibuktikan dengan dua gelar Piala Champion (belum berformat setengah kompetisi-red) 1964 dan 1965, serta 3 titel Serie A dan 2 Piala Interkontinental. Karena itu Moratti tak ingin kalah dari ayahnya dalam waktu yang singkat.Pembelian nama-nama beken pemain dunia dengan kocek tinggi dan pergantian pelatih yang dianggap tak berkontribusi positif adalah upaya menyamai prestasi ala Moratti.

Tapi Moratti kini berevolusi menjadi lebih penyabar. Moratti ternyata kini coba lebih jeli melihat sederet hasil buruk Tinker Man. Bukan hal yang mudah mendongkrak kembali Inter peninggalan Gasperini yang saat itu berada di posisi 18 klasemen. Nah, Ranieri punya andil sempat melesatkan Inter ke posisi tiga dengan 10 kemenangan sebelum Januari.

Musim 2011/2012 yang pasti dilalui Inter tanpa gelar kemungkinan besar membuat pengusaha minyak Italia itu memasrahkan diri. Zanetti dkk yang selama satu dekade terakhir ini membanggakannya dengan lima gelar seri A, satu gelar Champions, tiga gelar Coppa Italia, dan tiga gelar Super Italia itu tidak sedang berada dalam performa, mental dan kondisi hati yang masuk kategori baik untuk menaiki sebuah altar juara. Tiket ke Liga Champions musim depan juga terasa sangat jauh dari genggaman dengan posisi Inter yang terjerambab di posisi tujuh klasemen sementara. Kali ini Moratti memberi Ranieri kesempatan 10 partai lagi.

Apakah kini sang presiden tak lagi penganut paham instan untuk melahirkan prestasi? Sangat dini untuk menyimpulkan. Yang pasti Appiano Gentile-markas Inter sudah terbiasa menjadi saksi datang dan perginya para peracik taktik. Entah itu pekan depan, bulan depan, atau musim berikutnya. (*)

Jika melihat kondisi Inter Milan saat ini yang kian mengenaskan, pandangan publik tentu tertuju pada sosok Claudio Ranieri. Sang pembesut strategi yang kini kian getir menerima hujatan atas sederet hasil buruk yang diraihnya.

Catatan: Doni Hermawan

Bayang-bayang pemecatan terus menghantuinya. Teranyar The Tinker Man membawa Inter menyingkir dari hingar bingar pentas Eropa ala Liga Champions. Dilengkapi Minggu (18/3) kemarin, Ranieri masih juga belum menghadirkan senyum bagi para Interisti. Hasil imbang tanpa gol kontra Atalanta di Giuseppe Meazza melanjutkan kisah getir Ranieri.

Setiap hasil buruk yang ditorehkan pria berusia 60 tahun itu, pandangan tentu akan tertuju pada sosok Presiden Inter Massimo Moratti. Penghuni tribun kehormatan Stadion Giuseppe Meazza terkenal ringan tangan untuk urusan gonta ganti pelatih. Namun Ranieri digolongkan orang beruntung karena berulang kali mendapat pengampunan dari salah satu raja minyak Italia itu.

Pengampunan Moratti dimulai saat Ranieri memulai kisah buruk dari markas Lecce, Stadion Via Del Mare di awal Januari. Kekalahan 0-1 diikuti rentetan hasil buruk lainnya. Ditahan Palermo (4-4), dikandaskan mantan klubnya AS Roma (4-0) lalu diluluhlantakkan tim promosi Novara (0-1) dan Bologna (0-3) di Giuseppe Meazza. Belum kering lagi luka, Marseille (0-1) dan Catania (2-2) menabur garam.

Kurang dari sepekan berikutnya, Ranieri kembali mempertaruhkan ‘nyawanya’ di Mark Antonio Bentegodi, markas Chievo. Bahkan kali ini sangat krusial karena bertepatan dengan ulang tahun ke 104 Il Biscione yang jatuh 9 Maret.

Selain untuk menyelamatkan karir kepelatihannya, Ranieri tentu tak mau dicap “raja tega” memberikan kado kekalahan kepada klub dan fans.
Pencapaian sederhana itu akhirnya didapatkan Ranieri. Samuel dan Milito lewat golnya membuat Ranieri punya kado kecil untuk ultah si Hitam Biru. Luapan kelegaan atas beban yang demikian berat hadir lewat mata yang berkaca-kaca.

Ranieri memang sukses membuat Moratti tersenyum waktu itu. Namun masih dalam suasana perayaan empat hari berselang, senyum itu berubah getir karena Inter tak bisa melewati hadangan Marseille. Milito dan Pazzini memang sukses membuat Si Hitam Biru menang 2-1. Tapi itu kemenangan terpahit Inter. Lewat satu kesempatan, striker pengganti  Les Phoceens-julukan Marseille-Brandao mengeliminasi Inter dari kompetisi terbaik Eropa itu.
Tak ada maaf! Begitu pikir kebanyakan orang. Seiring wajah Moratti yang kian memerah menahan malu. Tapi nyatanya lagi-lagi kita mendapati reaksi yang sangat santun dari seorang Moratti. Kata-kata bijak Moratti memastikan posisi Ranieri aman. Setidaknya hingga akhir musim.

“Pada malam seperti ini saya tidak merasa seperti mengambil tindakan apapun. Saya tidak melihat bagaimana Ranieri yang harus disalahkan, itu lebih berkaitan dengan keberuntungan tim klub Perancis asuhan Deschamps. Jika kita telah kehilangan 4-0, saya mungkin telah melihat sesuatu yang berbeda, tetapi setelah memasukkan dua gol saat berakhirnya pertandingan saya tidak merasa saya bisa memberikan penilaian negatif. Ranieri tidak layak mendapatkannya,” katanya di laman resmi Inter.

Menilik sosok Moratti yang mendadak pemaaf publik Italia atau bahkan sepak bola dunia pantas saja heran. Ini bukan karakternya, mengingat kegemarannya gonta-ganti pelatih sejak mengambil alih tampuk kepemimpinan Inter di tahun 1995. Tercatat 16 nama pelatih (Luciano Castellini dan Roy Hogson menjabat dua kali-Red) silih berganti dalam perjalanan 16 musim sebagai pemberi instruksi dari pinggir lapangan. Artinya rata-rata Moratti mengganti pelatih setiap musim. Korban terakhir, Gianpiero Gasperini yang hanya bertahan enam laga.

Bandingkan dengan Manchester United dan Arsenal yang setia dengan satu nama selama lebih dari satu dekade (Alex Ferguson 25 musim dan Arsene Wenger 16 musim-red). Keduanya memang kerap menghadirkan deretan trofi di lemari klub. Satu yang perlu dicatat, keduanya juga tak selalu membuat tim berpesta setiap musim. Kegagalan tak lepas dari perjalanan mengarsiteki klub.

Menilik sosok Moratti yang sangat ambisius bisa dibilang untuk pembuktian diri. Angelo Moratti, ayahnya adalah presiden tersukses Inter sepanjang masa. La Grande Inter pada masanya dibuktikan dengan dua gelar Piala Champion (belum berformat setengah kompetisi-red) 1964 dan 1965, serta 3 titel Serie A dan 2 Piala Interkontinental. Karena itu Moratti tak ingin kalah dari ayahnya dalam waktu yang singkat.Pembelian nama-nama beken pemain dunia dengan kocek tinggi dan pergantian pelatih yang dianggap tak berkontribusi positif adalah upaya menyamai prestasi ala Moratti.

Tapi Moratti kini berevolusi menjadi lebih penyabar. Moratti ternyata kini coba lebih jeli melihat sederet hasil buruk Tinker Man. Bukan hal yang mudah mendongkrak kembali Inter peninggalan Gasperini yang saat itu berada di posisi 18 klasemen. Nah, Ranieri punya andil sempat melesatkan Inter ke posisi tiga dengan 10 kemenangan sebelum Januari.

Musim 2011/2012 yang pasti dilalui Inter tanpa gelar kemungkinan besar membuat pengusaha minyak Italia itu memasrahkan diri. Zanetti dkk yang selama satu dekade terakhir ini membanggakannya dengan lima gelar seri A, satu gelar Champions, tiga gelar Coppa Italia, dan tiga gelar Super Italia itu tidak sedang berada dalam performa, mental dan kondisi hati yang masuk kategori baik untuk menaiki sebuah altar juara. Tiket ke Liga Champions musim depan juga terasa sangat jauh dari genggaman dengan posisi Inter yang terjerambab di posisi tujuh klasemen sementara. Kali ini Moratti memberi Ranieri kesempatan 10 partai lagi.

Apakah kini sang presiden tak lagi penganut paham instan untuk melahirkan prestasi? Sangat dini untuk menyimpulkan. Yang pasti Appiano Gentile-markas Inter sudah terbiasa menjadi saksi datang dan perginya para peracik taktik. Entah itu pekan depan, bulan depan, atau musim berikutnya. (*)

Artikel Terkait

Die Werkself Lolos dengan Agregat 4-1

Sevilla ke Perempat Final Liga Europa

Bayern Munchen di Atas Angin

The Red Devils Lolos Mudah

Nerazzurri ke 8 Besar Liga Europa

Terpopuler

Artikel Terbaru

/