25 C
Medan
Saturday, July 6, 2024

Reaksi Raksasa Barnes and Noble terhadap si Kreatif Amazon.com

MARKETING SERIES (16)

Ketika Amazon.com lahir dan tumbuh pesat, lanskap persaingan toko buku ritel pun berubah begitu cepat. Teknologi internet yang digunakan oleh Amazon.com telah membalik peta bisnis toko buku ritel.

Para pembeli buku tiba-tiba menemukan kemudahan baru, yaitu bisa melihat semua cover buku di internet dengan begitu praktis. Demikian juga halnya dengan book-review sehingga sebelum membeli sudah tahu penilaian banyak orang terhadap buku itu. Termasuk usul judul-judul lain yang kira-kira bisa melengkapi atau alternatif bacaan yang sedang dicari.

Sistem yang dimiliki Amazon.com juga membuat mereka bukan hanya menjadi the biggest but also the smartest book shop in the world. Sekali Anda pernah berbelanja di sana, maka Anda akan dicatat oleh sistem dan kali lain bakal dikirimini e-mail kalau ada buku lain yang kira-kira cocok buat Anda baca.

Dalam konteks kreativitas dan sentuhan baru kayak begini, mendadak semua toko buku konvensional menjadi seperti ketinggalan. Dalam perjalanannya, Amazon.com pun menghadapi masalah baru, yaitu kesulitan dalam hal logistik yang sekarang juga dialami banyak on-line company.
Karena itu, Amazon.com lantas membangun gudang off-line untuk menjamin kelancaran logistik agar bisa mengirimkan buku-buku yang dibeli lewat internet sesuai dengan waktu yang dijanjikan.

***

Itulah reaksi dua raksasa chain book shop di Amerika, yaitu Barnes and Noble dan Borders. Terhadap kompetitor baru itu, mereka mencoba melengkapi diri dengan akses on-line untuk pelanggannya. Tapi, keduanya merasa bahwa kehadiran fisikal toko buku di mana-mana itu tetap tidak tergantikan. Karena itu, mereka bergerak ke more experiential.

Sense, feel, think, act, and relate adalah lima poin yang harus dilakukan oleh toko buku konvensional kalau mau memberikan experience lebih hebat kepada customer. Mereka bisa leluasa merangsang lima indera dengan komprehensif termasuk sight, sound, smell, taste, dan touch-nya. Karena itulah, toko buku lantas dilengkapi dengan coffee-shop, arena seminar kecil, tempat membaca gratis, hingga ke musik yang bisa membuat pengunjung betah berlama-lama di sana.

Diciptakanlah suasana agar orang feel good, positive thinking, act accordingly, dan relate to others. Borders sangat ngotot untuk melakukan transformasi tersebut.

Bahkan, Borders yang berada di Singapura tidak akan mengusir pengunjungnya meski di cofee shop cuma minum segelas kopi, tapi baca bukunya seharian penuh. Orang-orang dari Indonesia saya amati sangat senang nongkrong di sana, termasuk saya. Apalagi, lokasinya berada di Orchard Road.
Malah, meski saya banyak membeli buku lewat Amazon.com, saya tanpa terasa tetap membeli banyak buku di Boreders Singapura. Sebab, ketika menjadi turis, orang cenderung punya banyak waktu memilih-milih dan membaca.

Yang menjadi persoalan, orang lokal tidak mau menghabiskan banyak waktu seperti itu lagi, termasuk orang-orang di Amerika. Orang menjadi semakin mobile dan Amazon.com terus menyempurnakan diri, termasuk problem logistiknya.

Menurut pendirinya, Jeff Bezos, Amazon.com bukanlah retail shop yang menjual segala macam barang. Tapi, itu sebuah technology company.
Teknologi untuk interface dengan customer. Teknologi untuk supply chain yang efektif dan efisien. Juga teknologi untuk mengelola informasi. Karena itulah, ketika gelombang smart-phone dan tablet datang, Amazon.com langsung membuat e-reader. Dengan begitu, Amazon.com ingin mengajarkan cara baru membaca dan membeli buku kepada customer-nya yang semakin smart dan tablet-oriented.

Idenya datang dari cara baru mendengarkan dan membeli musik yang terjadi di industri musik. Kalau di bidang musik bisa melakukan, mengapa kok buku enggak?

Buat saya, sejatinya itu bukan invention yang benar-benar baru. Tapi, innovation yang erat berhubungan dengan entrepreneurship: berani menerapkan suatu cara baru untuk mengubah lanskap, bukan menunggu sampai diubah oleh lanskap.

Ketika Borders bersikukuh kepada konsep offline experiential, Barnes and Noble meluncurkan e-reader book.

Lewat e-reader, memang tidak bisa dilakukan ransangan terhadap lima indera. Tapi, terjadilah online experience yang tak kalah seru. Mobile feel good karena buku digital bisa dibaca di mana-mana. Extended positive thinking karena pembaca bisa mencari info tambahan lewat link yang ada di e-reader. Digital relate-sharing apa lagi.

Lewat internet, semua pengalaman online itu bisa di-share dengan cepat, mumpung belum lupa. Karena itu, ketika Borders bangkrut karena tidak melakukan transformasi secara kontinu, Barnes and Noble justru berjaya.

Tapi, apakah dia akan tetap jaya ketika Amazon.com nanti bergerak lagi? Tidak tahu.

Lantas, apakah Amazon.com akan terus berjaya dengan membeli banyak e-retail site lain seperti Zappos?
Juga kita tidak tahu.

Tapi, dalam Marketing 3.0, ada kredo kedua: Be sensitive and be ready to change agar tidak seperti dinosaurus yang gede, kuat, dan buas namun terpaksa punah karena tidak sensitif kepada perubahan dan tidak siap melakukan transformasi.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

MARKETING SERIES (16)

Ketika Amazon.com lahir dan tumbuh pesat, lanskap persaingan toko buku ritel pun berubah begitu cepat. Teknologi internet yang digunakan oleh Amazon.com telah membalik peta bisnis toko buku ritel.

Para pembeli buku tiba-tiba menemukan kemudahan baru, yaitu bisa melihat semua cover buku di internet dengan begitu praktis. Demikian juga halnya dengan book-review sehingga sebelum membeli sudah tahu penilaian banyak orang terhadap buku itu. Termasuk usul judul-judul lain yang kira-kira bisa melengkapi atau alternatif bacaan yang sedang dicari.

Sistem yang dimiliki Amazon.com juga membuat mereka bukan hanya menjadi the biggest but also the smartest book shop in the world. Sekali Anda pernah berbelanja di sana, maka Anda akan dicatat oleh sistem dan kali lain bakal dikirimini e-mail kalau ada buku lain yang kira-kira cocok buat Anda baca.

Dalam konteks kreativitas dan sentuhan baru kayak begini, mendadak semua toko buku konvensional menjadi seperti ketinggalan. Dalam perjalanannya, Amazon.com pun menghadapi masalah baru, yaitu kesulitan dalam hal logistik yang sekarang juga dialami banyak on-line company.
Karena itu, Amazon.com lantas membangun gudang off-line untuk menjamin kelancaran logistik agar bisa mengirimkan buku-buku yang dibeli lewat internet sesuai dengan waktu yang dijanjikan.

***

Itulah reaksi dua raksasa chain book shop di Amerika, yaitu Barnes and Noble dan Borders. Terhadap kompetitor baru itu, mereka mencoba melengkapi diri dengan akses on-line untuk pelanggannya. Tapi, keduanya merasa bahwa kehadiran fisikal toko buku di mana-mana itu tetap tidak tergantikan. Karena itu, mereka bergerak ke more experiential.

Sense, feel, think, act, and relate adalah lima poin yang harus dilakukan oleh toko buku konvensional kalau mau memberikan experience lebih hebat kepada customer. Mereka bisa leluasa merangsang lima indera dengan komprehensif termasuk sight, sound, smell, taste, dan touch-nya. Karena itulah, toko buku lantas dilengkapi dengan coffee-shop, arena seminar kecil, tempat membaca gratis, hingga ke musik yang bisa membuat pengunjung betah berlama-lama di sana.

Diciptakanlah suasana agar orang feel good, positive thinking, act accordingly, dan relate to others. Borders sangat ngotot untuk melakukan transformasi tersebut.

Bahkan, Borders yang berada di Singapura tidak akan mengusir pengunjungnya meski di cofee shop cuma minum segelas kopi, tapi baca bukunya seharian penuh. Orang-orang dari Indonesia saya amati sangat senang nongkrong di sana, termasuk saya. Apalagi, lokasinya berada di Orchard Road.
Malah, meski saya banyak membeli buku lewat Amazon.com, saya tanpa terasa tetap membeli banyak buku di Boreders Singapura. Sebab, ketika menjadi turis, orang cenderung punya banyak waktu memilih-milih dan membaca.

Yang menjadi persoalan, orang lokal tidak mau menghabiskan banyak waktu seperti itu lagi, termasuk orang-orang di Amerika. Orang menjadi semakin mobile dan Amazon.com terus menyempurnakan diri, termasuk problem logistiknya.

Menurut pendirinya, Jeff Bezos, Amazon.com bukanlah retail shop yang menjual segala macam barang. Tapi, itu sebuah technology company.
Teknologi untuk interface dengan customer. Teknologi untuk supply chain yang efektif dan efisien. Juga teknologi untuk mengelola informasi. Karena itulah, ketika gelombang smart-phone dan tablet datang, Amazon.com langsung membuat e-reader. Dengan begitu, Amazon.com ingin mengajarkan cara baru membaca dan membeli buku kepada customer-nya yang semakin smart dan tablet-oriented.

Idenya datang dari cara baru mendengarkan dan membeli musik yang terjadi di industri musik. Kalau di bidang musik bisa melakukan, mengapa kok buku enggak?

Buat saya, sejatinya itu bukan invention yang benar-benar baru. Tapi, innovation yang erat berhubungan dengan entrepreneurship: berani menerapkan suatu cara baru untuk mengubah lanskap, bukan menunggu sampai diubah oleh lanskap.

Ketika Borders bersikukuh kepada konsep offline experiential, Barnes and Noble meluncurkan e-reader book.

Lewat e-reader, memang tidak bisa dilakukan ransangan terhadap lima indera. Tapi, terjadilah online experience yang tak kalah seru. Mobile feel good karena buku digital bisa dibaca di mana-mana. Extended positive thinking karena pembaca bisa mencari info tambahan lewat link yang ada di e-reader. Digital relate-sharing apa lagi.

Lewat internet, semua pengalaman online itu bisa di-share dengan cepat, mumpung belum lupa. Karena itu, ketika Borders bangkrut karena tidak melakukan transformasi secara kontinu, Barnes and Noble justru berjaya.

Tapi, apakah dia akan tetap jaya ketika Amazon.com nanti bergerak lagi? Tidak tahu.

Lantas, apakah Amazon.com akan terus berjaya dengan membeli banyak e-retail site lain seperti Zappos?
Juga kita tidak tahu.

Tapi, dalam Marketing 3.0, ada kredo kedua: Be sensitive and be ready to change agar tidak seperti dinosaurus yang gede, kuat, dan buas namun terpaksa punah karena tidak sensitif kepada perubahan dan tidak siap melakukan transformasi.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/