32 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Mengungkap Kebenaran Penembakan Misterius

Oleh: Supriad Purba

Slogan “Melawan Lupa” adalah bentuk kampanye yang efektif dalam mengungkap kebenaran masa lalu kaitan dengan kejahatan kemanusiaan serta pelangggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Ajakan itu juga kemungkinan  akan membuka misteri besar dalam kasus Penembakan Misterius (Petrus) yang pernah dilakukan oleh Negara terhadap warga negaranya.

Walaupun dengan alasan apapun, tidak ada pembenaran yang bisa dijadikan sebagai alasan oleh Negara karena telah mengabaikan prinsip hak asasi manusia dan sejatinya pelaku dibalik itu harus diungkap dan diadili sebagai penjahat kemanusiaan.

Setelah tertunda lebih dari 10 tahun, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya menyelesaikan penyelidikan pro justisia terhadap kasus penembakan misterius (petrus) yang terjadi sepanjang tahun 1982-1985. Hasilnya, terindikasi adanya pelanggaran HAM secara sistematis yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga sipil yang dicap pelaku kejahatan seperti preman, bromocora, dan gali. Tindakan penembakan misterius ini juga disinyalir dimanfaatkan pemerintah untuk membungkam sipil atau aktivis yang kritis.

Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat Peristiwa Petrus 1982-1985, Yosep Adi Prasetyo yang akrab disapa Stanley menuturkan, berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM sejak Juli 2008 hingga 31 Agustus 2011, Komnas HAM menyimpulkan bahwa peristiwa penembakan misterius (petrus) di sejumlah wilayah di Indonesia pada 1982-1985 merupakan pelanggaran HAM berat dan kejahatan luar biasa karena memakan korban hingga ribuan orang.

Kesimpulan hasil penyelidikan Tim Ad Hoc terkait rentetan petrus pada 1982-1985 ini menurut Yosep berdasarkan keterangan dari 115 saksi yang dimintai keterangan, dengan rincian 95 saksi, saksi korban 14 orang, saksi aparat sipil dua orang, saksi purnawirawan TNI dua orang, dan saksi purnawirawan Polri dua orang.

“Kami tak hanya memintai keterangan dari korban atau keluarganya, tapi juga orang yang lolos atau pelaku. Kami melepaskan persoalan petrus dengan situasi politik yang dahulu digunakan rezim Orde Baru,” katanya, di kantor Komnas HAM, Jakarta (Sinar Harapan).

Bukti Rezim Otoriter

Sangat sulit diterima oleh akal bagaimana pembunuhan, pembantaian, penyiksaan adalah bagian dari pada kebijakan Pemerintah orde baru (Orba). Bagaimana kepemimpinan seorang otoriter dan dikatator menjadi berlaku bagi sebuah Negara yang dibangun diatas cita-cita besar yakni kemanusiaan dan penghargaan terhadap kehidupan manusia. Rezim yang dikomandoi oleh mantan Presiden Suharto dan kroni-kroninya telah mencederai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan keterlibatannya dalam pengeksekusian manusia Indonesia dengan kejam.

Penembakan misterius walaupun dengan segala bentuk alasan yang dilakukan oleh Negara, tidak bisa dibenarkan. Tidak ada yang lebih tinggi dari pada menghargai kemanusiaan dan menciptakan perdamaian. Akhirnya melalui bukti bahwa Negara pernah melakukan kejahatan kemanusiaan, maka masa kekuasaan Presiden Suharto tidak salah lagi dikatakan sebagai jaman pembantaian salah satu terbesar pada abad ke 20.

Pembantaian manusia dengan segala prinsip yang sangat diluar akal sehat, dimana mengandalkan kekuatan Negara. Maka sejatinya keterlibatan TNI dan Polri dalam setiap kasus pelanggaran HAM berat adalah benar adanya. Mulai dari kasus 1966 pasca Gerakan September dimana diperkirakan jutaan warga Negara Indonesia mati di ladang pembantaian. Kemudiaan kasus Penembakan misterius (petrus) yang memakan ribuan korban jiwa serta kasus pelanggran hak asasi manusia seperti kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan lainnya.

Oleh karenanya sudah seharusnya pengadilan menjatuhkan hukuman yang stimpal bagi pelaku dan oknum dibelakang peristiwa ini. Satu hal yang harus dicatat khusus kaitan dengan penembakan misterius adalah bahwa jatuhnya korban jiwa, bukan dilakukan oleh masyarakat terhadap masyarakat. Melainkan oleh orang propesional dalam hal ini tentu adalah aparat Negara, apalagi direstui oleh Negara. Sejatinya, jikalau itu terjadi pada tahun 1982-1985, maka pelaku masih hidup dan sejatinya masih bisa diungkit kebenarannya.

Strategi Pembersihan Negara

Tidak ada rezim otoriter yang bertahan lama di dunia, rezim fasis Jerman dibawah kendali Hitler adalah bukti bahwa kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya menjadikannya menjadi tersandera. Begitu juga di Indonesia, rezim orde baru (Orba) yang cenderung mengabaikan prinsip kemanusiaan sepertinya ada kesamaan dengan Negara fasis yang melakukan tindakan yang tidak bermoral.

Masa perang, begitu ujar Adolf Hitler, “adalah masa terbaik untuk mengenyahkan penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan.” Banyak orang Jerman yang tidak mau diingatkan akan orang-orang yang tidak memenuhi konsep mereka tentang “ras unggul.” Para penyandang cacat fisik dan mental dianggap “tidak berguna” bagi masyarakat, ancaman bagi kemurnian genetis Aryan, dan, pada akhirnya, tidak pantas untuk hidup. Pada awal Perang Dunia II, penyandang keterbelakangan mental, penyandang cacat fisik, atau mereka yang sakit jiwa menjadi sasaran pembantaian dalam apa yang oleh Nazi diistilahkan sebagai program “T-4,” atau “eutanasia” (National Archives and Records Administration, College Park, M.).

Jikalau di Jerman, Nazi mengistilahkan dengan program Eutanasia, maka di Indonesia dijuluki dengan program penembakan misterius (petrus). Jikalau Hitler melakukannya pada masa perang, Pemerintahan Suharto melakukannya pasca perang pada saat kemerdekaan Indonesia. Istilah pembersihan Negara terhadap para preman yang sering dijuluki bandit yang bertato dan yang dianggap membuat onar dijadikan Negara sebagai sasaran empuk Eutanasia.

Jikalau Program “eutanasia” membutuhkan kerja sama dari banyak dokter Jerman, yang menelaah berkas medis pasien di lembaga-lembaga untuk menentukan siapa saja pasien penyandang cacat atau pasien sakit jiwa yang harus dibantai. Para dokter tersebut juga menjadi pengawas proses pembunuhannya. Para pasien nahas tersebut dipindahkan ke enam lembaga di Jerman dan Austria, tempat di mana mereka dibunuh di dalam kamar-kamar gas yang dirancang secara khusus. Bayi dan anak kecil penyandang cacat juga dibantai lewat suntikan obat dengan dosis yang mematikan atau dengan cara dibiarkan kelaparan. Mayat korban dibakar di dalam oven besar yang disebut crematorium.

Sementara korban penembakan misterius yang ditemukan tanpa identitas dengan pola yang sama, di antaranya kedua tangan di belakang dalam posisi jempol yang terikat dan luka tembak di kepala. Sementara itu, mereka yang dihilangkan dibuang di beberapa lokasi yang akhirnya menurut warga sekitar menjadi kuburan massal.”Korban petrus adalah orang yang ditengarai bermasalah dengan hukum atau dianggap meresahkan masyarakat seperti preman, residivis, copet, dan lainnya. Salah satu ciri adalah tato yang dimiliki.

Catatan hitam yang terjadi di Indonesia seharusnya dibersihkan dan dibuka kebenarannya. Negara harus gentlemen dan mengajak masyarakat untuk bersama-sama melihat derasnya ombak masa lalu yang menghantam kemanusiaan. Jika Negara juga masih menutup mata, maka sudah sejatinya setiap pelanggaran hak asasi manusia hanyalah cerita belaka tanpa adanya penyelesaian dan pengungkapan peristiwa. Khusus penembakan misterius, harus ada kejelasan dan membuka tabir masa lalu yang telah menghilangkan nyawa dengan program yang tidak jauh berbeda dilakukan oleh Nazi Jerman dengan nama “eutanasia”.

Penulis adalah aktivis Komisi Untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Oleh: Supriad Purba

Slogan “Melawan Lupa” adalah bentuk kampanye yang efektif dalam mengungkap kebenaran masa lalu kaitan dengan kejahatan kemanusiaan serta pelangggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Ajakan itu juga kemungkinan  akan membuka misteri besar dalam kasus Penembakan Misterius (Petrus) yang pernah dilakukan oleh Negara terhadap warga negaranya.

Walaupun dengan alasan apapun, tidak ada pembenaran yang bisa dijadikan sebagai alasan oleh Negara karena telah mengabaikan prinsip hak asasi manusia dan sejatinya pelaku dibalik itu harus diungkap dan diadili sebagai penjahat kemanusiaan.

Setelah tertunda lebih dari 10 tahun, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya menyelesaikan penyelidikan pro justisia terhadap kasus penembakan misterius (petrus) yang terjadi sepanjang tahun 1982-1985. Hasilnya, terindikasi adanya pelanggaran HAM secara sistematis yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga sipil yang dicap pelaku kejahatan seperti preman, bromocora, dan gali. Tindakan penembakan misterius ini juga disinyalir dimanfaatkan pemerintah untuk membungkam sipil atau aktivis yang kritis.

Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat Peristiwa Petrus 1982-1985, Yosep Adi Prasetyo yang akrab disapa Stanley menuturkan, berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM sejak Juli 2008 hingga 31 Agustus 2011, Komnas HAM menyimpulkan bahwa peristiwa penembakan misterius (petrus) di sejumlah wilayah di Indonesia pada 1982-1985 merupakan pelanggaran HAM berat dan kejahatan luar biasa karena memakan korban hingga ribuan orang.

Kesimpulan hasil penyelidikan Tim Ad Hoc terkait rentetan petrus pada 1982-1985 ini menurut Yosep berdasarkan keterangan dari 115 saksi yang dimintai keterangan, dengan rincian 95 saksi, saksi korban 14 orang, saksi aparat sipil dua orang, saksi purnawirawan TNI dua orang, dan saksi purnawirawan Polri dua orang.

“Kami tak hanya memintai keterangan dari korban atau keluarganya, tapi juga orang yang lolos atau pelaku. Kami melepaskan persoalan petrus dengan situasi politik yang dahulu digunakan rezim Orde Baru,” katanya, di kantor Komnas HAM, Jakarta (Sinar Harapan).

Bukti Rezim Otoriter

Sangat sulit diterima oleh akal bagaimana pembunuhan, pembantaian, penyiksaan adalah bagian dari pada kebijakan Pemerintah orde baru (Orba). Bagaimana kepemimpinan seorang otoriter dan dikatator menjadi berlaku bagi sebuah Negara yang dibangun diatas cita-cita besar yakni kemanusiaan dan penghargaan terhadap kehidupan manusia. Rezim yang dikomandoi oleh mantan Presiden Suharto dan kroni-kroninya telah mencederai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan keterlibatannya dalam pengeksekusian manusia Indonesia dengan kejam.

Penembakan misterius walaupun dengan segala bentuk alasan yang dilakukan oleh Negara, tidak bisa dibenarkan. Tidak ada yang lebih tinggi dari pada menghargai kemanusiaan dan menciptakan perdamaian. Akhirnya melalui bukti bahwa Negara pernah melakukan kejahatan kemanusiaan, maka masa kekuasaan Presiden Suharto tidak salah lagi dikatakan sebagai jaman pembantaian salah satu terbesar pada abad ke 20.

Pembantaian manusia dengan segala prinsip yang sangat diluar akal sehat, dimana mengandalkan kekuatan Negara. Maka sejatinya keterlibatan TNI dan Polri dalam setiap kasus pelanggaran HAM berat adalah benar adanya. Mulai dari kasus 1966 pasca Gerakan September dimana diperkirakan jutaan warga Negara Indonesia mati di ladang pembantaian. Kemudiaan kasus Penembakan misterius (petrus) yang memakan ribuan korban jiwa serta kasus pelanggran hak asasi manusia seperti kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan lainnya.

Oleh karenanya sudah seharusnya pengadilan menjatuhkan hukuman yang stimpal bagi pelaku dan oknum dibelakang peristiwa ini. Satu hal yang harus dicatat khusus kaitan dengan penembakan misterius adalah bahwa jatuhnya korban jiwa, bukan dilakukan oleh masyarakat terhadap masyarakat. Melainkan oleh orang propesional dalam hal ini tentu adalah aparat Negara, apalagi direstui oleh Negara. Sejatinya, jikalau itu terjadi pada tahun 1982-1985, maka pelaku masih hidup dan sejatinya masih bisa diungkit kebenarannya.

Strategi Pembersihan Negara

Tidak ada rezim otoriter yang bertahan lama di dunia, rezim fasis Jerman dibawah kendali Hitler adalah bukti bahwa kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya menjadikannya menjadi tersandera. Begitu juga di Indonesia, rezim orde baru (Orba) yang cenderung mengabaikan prinsip kemanusiaan sepertinya ada kesamaan dengan Negara fasis yang melakukan tindakan yang tidak bermoral.

Masa perang, begitu ujar Adolf Hitler, “adalah masa terbaik untuk mengenyahkan penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan.” Banyak orang Jerman yang tidak mau diingatkan akan orang-orang yang tidak memenuhi konsep mereka tentang “ras unggul.” Para penyandang cacat fisik dan mental dianggap “tidak berguna” bagi masyarakat, ancaman bagi kemurnian genetis Aryan, dan, pada akhirnya, tidak pantas untuk hidup. Pada awal Perang Dunia II, penyandang keterbelakangan mental, penyandang cacat fisik, atau mereka yang sakit jiwa menjadi sasaran pembantaian dalam apa yang oleh Nazi diistilahkan sebagai program “T-4,” atau “eutanasia” (National Archives and Records Administration, College Park, M.).

Jikalau di Jerman, Nazi mengistilahkan dengan program Eutanasia, maka di Indonesia dijuluki dengan program penembakan misterius (petrus). Jikalau Hitler melakukannya pada masa perang, Pemerintahan Suharto melakukannya pasca perang pada saat kemerdekaan Indonesia. Istilah pembersihan Negara terhadap para preman yang sering dijuluki bandit yang bertato dan yang dianggap membuat onar dijadikan Negara sebagai sasaran empuk Eutanasia.

Jikalau Program “eutanasia” membutuhkan kerja sama dari banyak dokter Jerman, yang menelaah berkas medis pasien di lembaga-lembaga untuk menentukan siapa saja pasien penyandang cacat atau pasien sakit jiwa yang harus dibantai. Para dokter tersebut juga menjadi pengawas proses pembunuhannya. Para pasien nahas tersebut dipindahkan ke enam lembaga di Jerman dan Austria, tempat di mana mereka dibunuh di dalam kamar-kamar gas yang dirancang secara khusus. Bayi dan anak kecil penyandang cacat juga dibantai lewat suntikan obat dengan dosis yang mematikan atau dengan cara dibiarkan kelaparan. Mayat korban dibakar di dalam oven besar yang disebut crematorium.

Sementara korban penembakan misterius yang ditemukan tanpa identitas dengan pola yang sama, di antaranya kedua tangan di belakang dalam posisi jempol yang terikat dan luka tembak di kepala. Sementara itu, mereka yang dihilangkan dibuang di beberapa lokasi yang akhirnya menurut warga sekitar menjadi kuburan massal.”Korban petrus adalah orang yang ditengarai bermasalah dengan hukum atau dianggap meresahkan masyarakat seperti preman, residivis, copet, dan lainnya. Salah satu ciri adalah tato yang dimiliki.

Catatan hitam yang terjadi di Indonesia seharusnya dibersihkan dan dibuka kebenarannya. Negara harus gentlemen dan mengajak masyarakat untuk bersama-sama melihat derasnya ombak masa lalu yang menghantam kemanusiaan. Jika Negara juga masih menutup mata, maka sudah sejatinya setiap pelanggaran hak asasi manusia hanyalah cerita belaka tanpa adanya penyelesaian dan pengungkapan peristiwa. Khusus penembakan misterius, harus ada kejelasan dan membuka tabir masa lalu yang telah menghilangkan nyawa dengan program yang tidak jauh berbeda dilakukan oleh Nazi Jerman dengan nama “eutanasia”.

Penulis adalah aktivis Komisi Untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/