Oleh:Jones Gultom
Sebagai ideologi, Pancasila adalah landasan filsafat yang rasional dan terukur. Dalam arti, Pancasila bukan sekedar nilai-nilai kebangsaan yang abstrak, tetapi dasar hukum yang konkrit. Pancasila merupakan sumber rujukan undang-undang sekaligus filterasi bagi kedaulatan bangsa.
Di dalamnya ada pengakuan akan ketuhanan, penghormatan HAM, semangat persatuan yang diwujudkan dalam partisipasi menuju keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima dasar Pancasila itu merupakan representasi dari sebuah bangsa yang berdaulat serta beradab. Nilai-nilai inilah yang patut direvitalisasi, khususnya pada momentum Hari Lahirnya Pancasila, 1 juni lalu.
Sayangnya nilai-nilai itu masih sekedar teori. Pada kenyataannya, yang terjadi justru bertolak belakang. Semua sila dilanggar. Ironisnya hal itu paling sering dilakukan oleh pemerintah dan kaum birokrat kita sendiri.
Pembiaran kekerasan agama, pelanggaran HAM yang dipelihara, skandal korupsi yang dilindungi, sampai penjualan aset-aset negara adalah bentuk-bentuk pengkhianatan Pancasila. Di sisi lain, masyarakat yang rentan, bolak-balik menjadi korban kebijakan pemerintah. Masyarakat tak tahu harus mengadu kepada siapa. Alhasil skeptisme tumbuh subur. Masyarakat kehilangan rasa sosialnya. Perlahan tapi pasti, masyarakat pun mulai kehilangan rasa Pancasila dalam dirinya.
Mengkhianati Rakyat
Perubahan yang hanya sedikit pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang, demikian dikatakan Edward Norton Lorenz menjelaskan ” butterfly effect ” tahun 1961 lalu. ” Does the flap of a butterfly’s wings in Brazil set off a tornado in Texas ? ” Barangkali pemerintah dan kelompok birokrasi kita menganggap Edward berlebihan sehingga tak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan hari ini akan berdampak besar bagi masyarakat di kemudian hari. Jika hari ini pemerintah berbohong, maka besok masyarakat akan hidup saling memfitnah.
Jika hari ini birokrasi kita korupsi, besok masyarakat akan dengan terang-terangan mencuri. Jika hari ini pemerintah membiarkan kekerasan terjadi, besok masyarakat akan saling bunuh-membunuh. Gejala inipun sudah terlihat dengan jelas. Tingginya angka kriminalitas dengan gaya dan modus baru seperti yang muncul belakangan ini merupakan bukti nyata. Ada bapak membunuh anaknya. Ada anak yang menghabisi ibunya sendiri. Ada yang memutilasi pacarnya sendiri, hanyalah sebagian contoh anarkisme yang terjadi dalam masyarakat.
Situasi ini makin dirangsang oleh tingginya angka kemiskinan dan ketidakpastian status seorang karyawan. Sementara dalam kehidupan bernegara, masyarakat kian frustasi. Ketidakadilan hukum disertai dengan praktik-praktik politik busuk yang setiap saat disaksikan, membuat masyarakat tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang paranoid dengan diri dan bangsanya sendiri
Di satu sisi, masyarakat tak henti-hentinya ditumbalkan pemerintahnya sendiri.
Perlakuan itu dengan sangat jelas dirasakan oleh masyarakat. Di saat masyarakat tengah terseok-seok menghidupi kehidupannya, pemerintahnya malah memuji diri sendiri. Kerap pula generasi muda dijadikan “kambing hitam” dan menuding mereka sebagai generasi yang krisis nasionalis, hanya karena semata-mata ikut dalam pusaran globalitas. Di dalam banyak kesempatan, generasi muda dipaksa “kembali” kepada jati diri bangsanya. Padahal generasi muda-lah selama ini yang masih setia terhadap bangsanya.Yang justru tak memiliki rasa kebangsaan adalah pemerintah dan sebagian besar para birokrat kita.
Lihatlah, ketika atlit-atlit kita mati-matian bertarung demi bangsa dan negaranya, sekelompok birokrat kita malah sibuk mengorupsi alokasi yang harusnya diperuntukkan bagi mereka. Wisma Atlit, Hambalang, PSSI hanya contoh kecil saja. Tetapi ketika atlit kita gagal, para pejabat kita sibuk memberikan wejangan plus kritikan. Malah ada yang sampai mengancam akan memotong anggaran. Sebaliknya ketika berhasil para pejabat langsung berlomba-lomba ” pasang badan. ”
Begitu juga dengan para pelajar kita. Tidak sedikit dari mereka meraih juara di berbagai ajang internasional tanpa bantuan pemerintah. Dan ketika menang, para pejabat rebutan memberi selamat supaya diekspos media. Sudah begitu, suara-suaranya tak pernah didengar. Mereka  dipaksa mengikuti sistem ujian yang tak ada hubungannya dengan kualitas mereka. Sementara pejabat kita sibuk merancang proyek-proyek yang mengatasnamakan pendidikan, para pelajar kita kesulitan belajar karena kondisi sekolahnya yang amburadul.
Demikian juga dengan komunitas-komunitas maupun kelompok-kelompok studi yang selama ini getol membicarakan keindonesiaan, tetapi oleh pemerintah dianggap musuh. Termasuk para seniman yang “setengah mati” mempertahankan kesenian nenek-moyangnya dengan biaya sendiri. Lalu ketika produk seni itu dicaplok, baru pemerintah kebakaran jenggot.
Revitalisasi
Revitalisasi Pancasila sudah saatnya dilakukan. Yakni dengan merasionalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam kehidupan berbangsa. Pada tataran kebijakan, pemerintah harus merumuskan ulang tujuan pembangunan nasional dengan berpatokan pada amanat Pancasila. Pemerintah harus mengembalikan kedaulatan rakyatnya terutama di bidang ekonomi dengan menasionalisasikan aset-aset negara. Pemerintah harus mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan, salah satunya dengan menghidupkan kembali pasar-pasar tradisional dan memproteksinya dari gempuran (intervensi) pasar dari luar.
Pemerintah juga harus menutup kran import produk-produk yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Ketahanan ekonomi mesti dibangun, terutama di tingkat masyarakat ekonomi lemah. Salah satunya dengan menaikkan upah buruh serta menurunkan harga bahan-bahan pokok. Pemerintah harus berani memberikan bantuan cuma-cuma kepada masyarakat dengan memanfaatkan harta sitaan hasil korupsi atau sumber-sumber keuangan lain yang potensial.
Dengan begitu, masyarakat akan merasakan dampak langsung penindakan kasus korupsi. Selain itu, pemerintah bersama para pejabat lainnya, terutama DPR, harus lebih sering mengunjungi masyarakatnya daripada studi ke luar negeri. Hal ini penting untuk merebut simpati dan kepercayaan masyarakat yang kini sudah hilang, sekaligus inventarisasi masalah-masalah yang ada.
Untuk mengkover langkah-langkah konkrit itu, pemerintah mesti menyusun satu formula penyelenggaran pemerintahan yang mencirikan Pancasila, sehingga menjadi khas milik Indonesia. Bersamaan dengan itu, dalam tataran teori, pemahaman tentang Pancasila harus terus-menerus ditanamkan sejak dini.
(Penulis adalah Sarjana Psikologi Sosial. Tinggal
di Medan, Sumatera Utara)