Oleh: Rikson Tampubolon
“Tiap dua hari sekali kita dengar berita pilkada ini, bupati ini, dan lain lain. Jadi sepertinya negeri ini pilkada saja isinya” demikian pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi (Kompas, 24/8).
Seringnya pemberitaan mengenai pemilihan umum (pemilu) daerah atau pemilihan kepala daerah (pilkada) di media cetak dan televisi nasional mengesankan sepertinya negeri ini menjadi negeri pilkada. Di mana hampir setiap saat mengeluarkan biaya besar untuk penyelenggaraan pilkada. Termasuk biaya sosial (social cost), hiruk-pikuk konflik pilkada yang sering berujung ke Mahkamah Konstitusi.
Wacana pemilu secara serentak terus saja bergulir. Dan bukan perihal yang baru ketika kita mengungkit wacana pemilu serentak. Momentum kali ini diharapkan mampu menjadi sejarah dalam model pemilihan kita. Kita berharap tidak lagi terjebak dalam persoalan-persoalan teknis semata yang mengakibatkan substansi demokrasi kita terbengkalai.
Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mendukung rencana pemilihan kepala daerah secara serentak. Presiden telah mempersilahkan agar wacana ini dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Urgensi ini dapat dilihat dari mendorong masuknya wacana ini dalam Daftar Inventarisir Masalah (DIM) Pemerintah.
Munculnya wacana pemilu/pilkada serentak jelas merupakan ‘solusi cantik’ yang perlu dicermati. Mengingat banyaknya sejumlah persoalan yang harus ditanggung negara (pemerintah) dalam mengelola kasus pilkada yang menghiasi pemberitaan di media.
Pemisahan pemilu nasional dan lokal merupakan model paling rasional untuk pembenahan sistem pemilihan kita. Pemilihan nasional untuk memilih presiden dan DPR serta DPD. Sedangkan, pemilu lokal untuk memilih gubernur, walikota/bupati dan DPRD.
Jika pemilihan kepala daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dilakukan secara bersamaan, tidak hanya dapat menyederhanakan partai politik namun juga efektifitas pemerintahan. Analisisnya, masyarakat akan cenderung memilih tokoh dan partai yang sama jika pelaksanaan pilkada dilakukan secara serentak.
Wacana penundaan pilkada yang dijadwalkan tahun 2014 merupakan salah satu alternatif menuju pilkada serentak. Pelaksanaan pilkada yang berdekatan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden dikhawatirkan akan menimbulkan kejenuhan masyarakat.
Di sejumlah daerah dari total 25 anggota DPRD yang terpilih bisa berasal dari 10-20 partai yang berbeda (Republika, 28/8). “Bagaimana bisa memerintah dengan efektif? Pertanyaan inilah yang akan bermuara kepada penyederhanaan partai. Sebab, banyaknya keinginan setiap partai membuat kebijakan sulit untuk ditetapkan. Parlemen sering disibukkan bagaimana menyerap aspirasi setiap partai dan mengelolanya menjadi sikap kolektif parlemen.
Seringnya kepala daerah yang terpilih saat ini tidak efektif karena tidak didukung oleh mayoritas anggota DPRD, sehingga kebijakan yang dikeluarkan bisa saja tidak disetujui oleh anggota dewan. Sementara, apabila pemerintah daerah didukung oleh mayoritas anggota dewan maka legitimasi dalam membuat kebijakan akan berjalan lebih optimal.
Tarik-menarik antar kepentingan partai atau anggota dewan, kadang kala lebih kuat dibanding substansi kebijakan yang akan dikeluarkan. Jangan heran, hiruk pikuk politik di parlemen lebih kentara dibanding substansi kebijakan.
Transisi Efisiensi Demokrasi
Pelaksanaan pilkada serentak akan lebih efektif karena dapat menghemat biaya dan efisiensi waktu. Rancangan Undang-Undang Pilkada yang memuat tentang wacana pilkada serentak saat ini sedang dalam pembahasan DPR. Dukungan didasarkan efisiensi anggaran pusat dan daerah dan pentingnya mengkonsolidasikan demokrasi kita melalui manajemen pemilu dan pilkada.
Bayangkan dari 33 propinsi, 497 kabupaten/kota se-tanah air (Ditjen Otonomi Daerah Depdagri, Januari 2009) harus melaksanakan pilkada secara bergantian. Tentunya model pilkada seperti ini akan menjadi pemborosan bila dibandingkan dengan model pemilihan serentak.
Pengaturan keserentakan pelaksanaan pilkada bukan saja untuk efisiensi pelaksanaan pilkada, melainkan harus juga dimaksudkan untuk mewujudkan suatu periodisasi yang dapat membangun sinergitas tingkat pemerintahan, mulai dari presiden, gubernur, dan bupati/wali kota.
Untuk menuju penataan ini, diperlukan pengaturan masa transisi yang mengakibatkan maju-mundurnya masa bakti kepala daerah dan parlemen kita. Kesamaan pemahaman dalam memandang perlu mengganti sistem yang lama ke pemilihan secara serentak, akan memunculkan sinergitas perubahan.
Apabila pelaksanaan pilkada dengan pemilu nasional mempunyai jeda setiap 2,5 tahun, masyarakat dapat melakukan evaluasi kinerja kepala daerah dan anggota DPR yang berasal dari partai tertentu. Tentunya ini akan mempermudah pengawasan dan penilaian masyarakat akan pemimpin yang dipilihnya, untuk dipilih atau tidak berikutnya.
Pemisahan ini memungkinkan isu lokal diperdebatkan di pemilu lokal. Kampanye akan memberi tempat pada isu-isu lokal. Sistem pemilihan yang selama ini, seringkali tidak dapat mengakomodasi isu-isu lokal.
Oleh karenanya, yang harus dirancang adalah bahwa ke depan jadwal pelaksanaan pemilu lima tahunan sudah tersusun secara permanen, yakni April adalah pemilu legislatif, Juli dan September untuk dua putaran pemilu presiden-wakil presiden. Berikutnya, enam bulan setelah pelantikan presiden adalah pemilihan gubernur, dan enam bulan setelah pelantikan gubernur adalah pemilihan bupati/wali kota.
Merupakan tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pilkada untuk menyambut baik gagasan ini. KPU sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia berkewajiban untuk mengatur teknis pelaksanaan pilkada dan memberi masukan akan wacana pemilihan serentak. Jangan lagi, persoalan klasik dalam ketidaksiapan KPU yang menjadi bumerang bagi impian demokrasi kita yang adaptable, efisien dan berdaya saing bagi model demokrasi lainnya.
Pelaksanaan pilkada secara serentak juga bisa sebagai upaya untuk memperdalam konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi adalah solusi terbaik untuk memecahkan persoalan bangsa saat ini, baik dalam bidang ekonomi dan politik untuk mewujudkan negara yang adil dan sejahtera.
Dan memang tidak bisa dipungkiri, kesiapan kita dalam menyambut wacana ini dikembalikan bagaimana kesiapan pemerintah daerah juga sesuai dengan Undang-undang yang berlaku pemilu. Jangan sampai wacana ini membuat kisruh yang baru di daerah-daerah yang gamang dalam menuju masa transisi model demokrasi kita yang baru.
Tanpa pengaturan (managemen) yang serius, ketat dan rapi. Pembenahan manajemen pemilu akan tetap menjadi wacana saja. Kita tunggu keseriusan Pemerintah kita dan parlemen membahas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada dan RUU tentang Pemilu DPRD. Berhentilah berwacana, kita tunggu realisasinya.
Penulis adalah Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Medan