Oleh: Misbahul Ulum
Kemenangan pasangan Jokowi – Ahok versi perhitungan cepat pada pilkada DKI Jakarta putaran kedua, memberikan kenyataan yang cukup mengesankan. Bagaimana tidak, Pasangan ini mampu mengalahkan kandidat incumbent yang notabene-nya didukung oleh partai raksasa dan memiliki jaringan politik yang luas.
Hasil perhitungan cepat dari berbagai lemba survei, pasangan Jokowi-Ahok unggul dihampir setiap daerah pemilihan, kecuali di pulau seribu. Semua lembaga suvei dalam perhitungan cepatnya juga mencatat kemenangan gemilang bagi pasangan Jokowi – Ahok atas Foke – Nara, dengan kisaran angka 6 – 9 persen. Diantaranya adalah kompas (53, 26 – 46,74), SCTV (53,80 – 46,20), LSI (53,68 – 46,32), dan Vivanews (53,68 – 46,32).
Tingkat partisipasi pemilih pada pemilukada putaran kedua ini juga cenderung naik sekitar dua sampai lima persen dibandingkan pada putaran pertama. Berdasarkan data perhitungan cepat, partisipasi pemilih pada putaran kedua tersebut berkisar 65 persen.
Banyak kalangan yang berpendapat jika kemenangan pasangan Jokowi – Ahok adalah kemenangan rakyat. Hal ini tentu tidak berlebihan mengingat selama ini Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat dan “apa adanya”. Bahkan Jokowi tidak segan-segan membaur dengan masyarakat kelas bawah. Dan semua itu sudah menjadi rutinitas Jokowi sejak menjabat sebagai walikota Solo. Bukan pada moment menjelang pilkada DKI semata.
Kemangan jokowi ini setidaknya memberikan gambaran nyata betapa masyarakat rindu akan perubahan. Rakyat membutuhkan figur pemimpin yang bersih dan “apa adanya”. Dan kenyataan ini juga sekaligus menjadi catatan bagi partai politik bahwa suara elite partai tidak selamanya menjadi “sabda” yang harus diikuti oleh para konstituennya. Partai politik harus mulai berbenah. Sebab, suara partai ternyata tidak selamanya merepresentasikan suara rakyat yang sesunguhnya. Dan itu terbukti pada pemilu DKI jakarta putaran kedua. Foke – Nara yang didukung koalisi partai besar seperti Demokrat, Golkar, PAN, PPP dan PKS, ternyata bisa dikalahkan oleh pasangan jokowi – Ahok yang hanya didukung oleh partai Gerindra dan PDIP.
Pelajaran
Pelaksanaan pemilukada DKI memang menjadi sorotan hampir seluruh rakyat Indonesia. Semua media massa mulai dari yang berskala nasional hingga regional, semua ikut memantau jalannya pesta demokrasi di ibu kota negara ini. Seolah semua mata enggan melewatkan poses sukesi kepemimpinan di Jakarta ini.
Jakarta memang luar biasa. Realitas Sosio-kultural di Jakarta mencerminkan relaitas kehidupan masyarakat Indonesia. Mungkin bisa dikatakan Jakarta adalah miniatur Indonesia. Masyarakat yang ada didalamnya memiliki latar belakang etnis, agama serta suku yang berbeda-beda. Selain itu, Jakarta juga menjadi pusat perekonomian dan pusat pemerintahan negara. Menjadi pemimpin Jakarta jelas memiliki nuansa yang berbeda.
Pesta demokrasi yang baru saja selesai di Ibu Kota negara, layak dijadikan pelajaran bagi seluruh bangsa Indonesia. Baik di level pusat, Provinsi hingga kabupaten atau kota. Paling tidak, realitas politik yang terjadi pada pemilukada DKI ini bisa menjadi bahan refrensi bagi pelaksanaan pesta demokrasi mendatang. Khususnya bagi partai politik dan juga para calon yang hendak bertarung.
Pertama, bagi para calon yang akan bertarung, ada baiknya menjadikan sosok Jokowi – Ahok sebagai cerminan. Seperti diketahui bahwa Jokowi adalah pemimpin yang memiliki track record baik, dikenal sebagai pepimpin yang bersih, dan tidak terlibat kasus selama memimpin Solo. Demkian juga Ahok yang memiliki prestasi gemilang saat memimpin Kabupaten Belitung Timur. Dalam hal ini, pelajaran yang sangat berharga untuk menjadi pemimpin adalah memiliki prestasi dan rekam jejak positif.
Pemimpin seperti inilah yang sedang dinanti oleh jutaan rakyat Indonesia ditengah kondisi bangsa yang kian terpuruk. Pemimpin yang besar dan dikenal karena kerja keras dan prestasi. Bukan besar karena promosi. Baik lewat baliho, poster, spanduk, televisi, dan media pomosi lainnya.
Kedua, partai politik harus menunjukkan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Tidak hanya kepentingan partai dan elite partai semata. Sebab, saat ini tingkat loyalitas kader partai cenderung menurun. Fenema kutu loncat antar partai-pun seolah menjadi hal yang wajar. Lihat saja betapa koalisi partai raksasa bisa dikalahkan oleh koalisi rakyat pada pemilukada DKI. Inilah yang harus disadari oleh para petinggi partai. Partai yang besar tidak selama memiliki kekuatan yang besar. Terlebih menurut Thomas Freidman dalam World is Flat, saat ini masyarakat merasa memiliki kebebasan menentukan pilihan, tidak bergantung pada partai atau institusi apa pun. Untuk itulah, yang paling penting suara partai harus diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat. Bukan sebaliknya, suara masyarakat diarahkan oleh petinggi partai.
Ketiga, penggunaan isu-isu SARA untuk menjatuhkan lawan politik dalam pelaksanaaan pesta demokrasi adalah strategi kuno dan tidak efektif. Justru hanya akan menjadi bumerang. Harus disadari bahwa masyarakat Indonesia saat ini mulai terbuka dan cerdas dalam menentukan pilihan. Mereka mulai sadar bahwa persoalan politik adalah urusan profan yang tidak ada kaitannya dengan persoalan agama dan juga golongan tertentu. Yang terpenting mereka akan memilih calon berdasarkan prestasi bukan atas dasar agama, juga golongan.
Dari pelaksanakan pesta demokrasi itu membuktikan bahwa zaman memang telah berubah. Sedang terjadi reformasi mental, setidak-tidaknya pada sebagian besar masyarakat DKI, dan mudah-mudahan juga masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)
Penulis adalah Peneliti di Monash
Institute, Ketua Pusat Kajian Islam dan Feminisme IAIN Walisongo Semarang