Oleh : Dahlan Iskan
Menteri BUMN
HAMPIR seribu orang berkumpul di gedung Empire Palace, Surabaya, Minggu pagi kemarin. Semua berkaus sama: kaus putih bergambar tebu, sepeda, dan sedikit hantu. Tidak peduli karyawan biasa, kepala bagian, kepala pabrik, maupun direksinya. Saya pun diminta mengenakan kaus yang sama
entah apa maksud gambar hantu di situ. Tujuan pertemuan itu memang hanya satu: memajukan pabrik-pabrik gula milik BUMN?
Di antara 179 pabrik gula milik negara yang pernah ada, kini tinggal 51 yang masih tersisa. Itu pun separonya dalam keadaan sulit dan sangat sulit. Zaman memang sudah berubah. Kejayaan industri gula sudah lama berlalu. Kalau dulu harga gula 2,5 kali harga beras, kini harga dua komoditas itu sudah praktis sama. Maka, minat menanam tebu pun tentu tidak sebesar dulu lagi. Kini begitu banyak tanaman lain yang lebih menjanjikan. Apalagi, untuk menanam tebu, diperlukan waktu tiga kali lipat lebih lama daripada tanaman padi.
Saat produksi gula mengalami kesulitan seperti itu, orang masih terus membeli gula. Kian tahun, konsumsi gula kian tinggi, termasuk oleh mereka yang terkena sakit gula sekali pun. Akibatnya, impor gula harus digalakkan. Pabrik gula dalam negeri kian bertambah-tambah sulitnya.
Tapi, benarkah pabrik gula harus sulit? Mengapa masih ada pabrik gula yang baik? Mengapa masih ada pabrik gula yang maju? Mengapa minat swasta membangun pabrik gula tetap tinggi? Mengapa di beberapa negara, produksi gulanya terus meningkat, bahkan mampu ekspor?
Dalam forum seribu orang itu, semua pertanyaan harus terjawab. Agar pertemuan tidak seperti sekadar seminar atau rapat kerja, semua pembicara harus ngomong to the point, tidak ada basa-basi, tidak boleh bicara lebih dua menit, dan harus fokus per topik. Tidak ada upacara pembukaan atau penutupan. Juga tidak ada pemimpin rapat. Yang ada hanya moderator yang diserahkan kepada saya. Yang hadir pun sangat bervariasi sehingga tidak mungkin ada persoalan yang tidak tahu jawabnya.
Di samping direksi, hadir di forum itu semua kepala pabrik, semua kepala bagian, dan peserta khusus. Peserta khusus adalah generasi muda berprestasi di sebuah pabrik gula tanpa memandang sudah punya jabatan atau belum. Tiap-tiap pabrik gula mengirimkan sepuluh orang generasi muda berprestasi. Saya jadi teringat pidato Bung Karno: Berikan kepada saya sepuluh orang pemuda, akan saya ubah dunia! Saya berharap sepuluh generasi muda di situ pun bisa menjadi champions untuk perubahan di pabrik gula masing-masing.
Tempat duduk di forum yang secara informal dinamakan ‘bahtsul masail kubro’ itu juga diatur secara khusus. Peserta dari pabrik-pabrik yang sudah maju disandingkan dengan peserta dari pabrik-pabrik yang lagi sulit. Peserta dari pabrik-pabrik yang maju sering diminta tampil untuk menceritakan kiat-kiat mereka di topik-topik tertentu.
Maka, 17 topik yang selama ini menjadi penyebab sulitnya pabrik gula itu bisa dibicarakan secara tuntas. Topik-topik tersebut, misalnya, mengapa petani tidak berminat menanam tebu di suatu wilayah pabrik, mengapa ada pabrik yang lebih dekat tetapi petani mengirim tebunya ke pabrik yang lebih jauh, mengapa ketidakefisienan pabrik ikut dibebankan kepada petani, mengapa tebu dari jauh diberi insentif ongkos angkut sementara tidak ada insentif kepada petani yang dekat dengan pabrik, apa yang harus dilakukan untuk merebut kepercayaan petani kepada pabrik gula setempat, seberapa besar pengaruh kekompakan para kepala bagian di dalam suatu pabrik terhadap keberhasilan pabrik gula, bagaimana agar pembakaran ketel tidak lagi menggunakan bahan bakar minyak, mungkinkah dilakukan sistem beli putus ‘petani kirim tebu dan langsung dibayar saat itu’, bagaimana mengatasi semakin sulitnya mencari tenaga untuk menebang tebu, dan seterusnya.
Topik yang paling panjang tentu yang satu ini: Bagaimana merebut kepercayaan petani. Agar mereka mau menanam tebu. Agar mereka mengirim tebu ke pabrik terdekat. Agar pabrik tidak kekurangan tebu. Agar petani merasakan keadilan dan kesejahteraan.
Mencari jawabnya tidak sulit. Sudah ada contoh yang sangat berhasil. Pabrik gula Pesantren Baru di Kediri atau pabrik gula Ngadirejo di Malang sudah menerapkannya dengan sukses. Demikian juga delapan pabrik gula lain, termasuk yang berada di Lampung dan Palembang. Sejak empat tahun lalu, kelompok 10 itu tidak pernah lagi mengalami kesulitan bahan baku. Bahkan, sampai berlebihan. Kuncinya satu: keterbukaan manajemen kepada petani tebu.
Di pabrik-pabrik tersebut tiap hari (di masa giling) diumumkan pada papan pengumuman petani siapa memperoleh rendemen (kandungan gula) berapa persen. Mereka yang setor tebu ke pabrik biasanya mampir ke papan pengumuman itu. Sejak sistem tersebut diterapkan, tidak ada lagi kecurigaan dari petani. Padahal, dulu pabrik selalu dicurigai mempermainkan rendemen petani. Sampai-sampai petani meminta dibentuk tim independen untuk mengikuti keterbukaan model Pesantren Baru atau Ngadirejo. Tim seperti itu tidak diperlukan lagi.
Yang juga mendapat banyak tepuk tangan adalah ketika sepasang kepala bagian diminta naik ke panggung. Dia adalah Surya Wirawan, kepala bagian teknik, dan Fajar Lazuardi, kepala bagian pengolahan. Keduanya dijadikan contoh betapa bila dua orang kepala bagian di suatu pabrik kompak, hasilnya luar biasa. Ketika keduanya bekerja di posisi tersebut, pabrik gula Prajekan, Situbondo, mengalami kemajuan 100 persen dalam produksinya. Oleh direksi PTPN XI, keduanya kini diminta tetap berpasangan untuk membenahi pabrik gula Semboro di Jember. Mereka pun optimistis bisa kembali menghidupkan pabrik gula Semboro yang semula sulit itu.
“Kami ini bukan lagi seperti rekan sejawat, tapi sudah seperti bersaudara,” ujar Surya Wirawan yang jadi kepala bagian teknik. “Saya selalu panggil dia kid dan dia panggil saya sam,” tambah dia. Bagi orang Malang, tidak ada panggilan yang bisa menunjukkan kekentalan persahabatan melebihi panggilan kid dan sam itu. Orang Ngalam, eh orang Malang, memang biasa mengucapkan suatu kata dari huruf paling belakang.
Biaya memproduksi uap memang sangat besar di suatu pabrik gula. Bagian teknik yang memproduksi uap melalui ketelnya (boiler) harus erat berhubungan dengan bagian pengolahan yang menggunakan uap tersebut. Kalau produksi uap kurang cukup, sudah seharusnya bagian pengolahan menjerit. Sebaliknya, kalau bagian pengolahan terlalu boros menggunakan uap dalam pembuatan gulanya, sudah sewajarnya bagian teknik menjerit.
Dalam hal tim yang tidak kompak, bisa saja terlalu banyak bahan bakar yang terbuang karena penggunaan uap yang berlebihan. Sebaliknya, kalau produksi uap tidak lancar, bisa jadi banyak gula yang kualitasnya jelek.
Dengan berbagai langkah yang sudah dilakukan para pengelola pabrik gula selama tahun-tahun terakhir, setidaknya sudah banyak best practice yang terjadi. Banyak sekali cerita keberhasilan dan kiat kesuksesan yang bisa diceritakan di forum kemarin. Kini tinggal bagaimana manajemen bisa menularkan semua itu kepada pabrik yang masih sulit.
Di akhir pertemuan, 22 pimpinan pabrik gula yang masih sulit dan sangat sulit naik ke panggung. Urutan jejernya pun sudah seperti otomatis: yang paling sulit di ujung kanan dan kian ke kiri kian kurang sulitnya. Mereka sudah mendengar sendiri kiat-kiat sukses pabrik lain. Di antara 22 pabrik yang sulit dan amat sulit itu, ternyata masih memberikan hope yang besar: 12 pabrik di antaranya siap keluar dari ‘neraka’ akhir tahun ini.
Banyak sekali rencana yang akan mereka lakukan setelah pertemuan itu. Bahkan, di antara mereka ada yang sangat detail. Misalnya, ada yang akan menjaga agar mesin pengolahannya selalu dibersihkan dengan sangat-sangat bersih. Itu tidak hanya dilakukan demi kerapian atau kesehatan, ternyata juga sangat erat dengan peningkatan produksi. Dia menceritakan secara detail reaksi-reaksi kimiawi dari semua instalasi pengolahan yang kurang dibersihkan secara benar-benar bersih dengan produktivitas gula.
Dengan sangat menyindir, dia berucap, “Kalau Bapak mengatakan ruang tunggu bandara harus lebih nyaman daripada ruang kerja direksi bandara, saya akan bikin doktrin instalasi pengolahan di pabrik gula saya harus dibersihkan lebih bersih daripada piring yang saya pakai makan!”
Alhamdulillah. Dengan demikian, bila Tuhan mengizinkan, akhir tahun ini tinggal sepuluh lagi pabrik gula yang masih sulit. Berarti, masih 20 persen lagi. Tentu tidak mudah memecahkannya. Meski tinggal sepuluh pabrik gula, tapi pastilah itu yang paling sulit di antara yang tersulit-sulit.
Untuk membaca seberapa sulitkah kesulitan yang sulit itu, pimpinan sepuluh pabrik gula tersebut diminta menyebutkan tiga penyebab utama kesulitan itu. Yang satu, yang di Klaten itu, menyebutkan bahwa kesulitan utamanya hanya satu: Pabrik tersebut menggunakan banyak sekali boiler yang semuanya berukuran kecil-kecil. Kalau apa yang dia kemukakan itu benar, tentu tidak sulit memecahkannya: ganti boiler. Satu saja, tapi yang besar. Satu saja, tapi bahan bakarnya jangan minyak. Satu saja, tapi bayarnya nyicil.
Satu pabrik lagi di Probolinggo beralasan bahwa pabriknya sudah terlalu tua. Sudah 166 tahun. Kalau itu benar, masih tetap bisa diatasi. Sebab, pabrik gula pada prinsipnya adalah mekanik. Banyak hal yang bisa dilakukan dengan mudah untuk peralatan yang sifatnya mekanik.
Satu pabrik lagi di Jateng, penyebabnya agak unik: kalah bersaing dengan pabrik gula Jawa yang jumlahnya sampai 300 buah di sekitar pabriknya. Tidak ada petani yang mengirim tebu ke pabrik karena tebu diolah sendiri-sendiri. Tentu alasan seperti itu terlalu klasik untuk sebuah bisnis. Bukan alasan yang kuat. Karena itu, sampai ada peserta yang memberikan jalan keluar secara bergurau: Bagaimana kalau pabrik gula ini sekalian saja memproduksi gula Jawa?
Intinya, semuanya berkaitan dengan kurangnya pasokan tebu sebagai bahan baku utama. Intinya lagi, petani kurang tertarik menanam tebu atau mengirim tebu ke pabrik. Lebih inti lagi, petani kehilangan kepercayaan kepada pabrik gula BUMN. Maka, khusus sepuluh pabrik gula itu akan bertemu lagi sebulan mendatang. Tentu dengan usul dan jalan keluar yang sudah lebih nyata. Kalaupun tahun ini belum bisa teratasi, setidaknya tahun depan harus beres. Atau, hi hi hi, menjadi seperti hiasan di kaus yang kemarin mereka kenakan itu! (*)