25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Warisan dalam Bentuk Karakter

MARKETING SERIES (81)

Memasuki usia enam puluh lima tahun, saya menjadi sering ingat papa saya, Tan Siong Pik, yang meninggal pada usia lima puluh sembilan tahun. Dia tidak berpendidikan tinggi, bekerja di Adhuma Niaga, sebuah perusahaan niaga Belanda Borsumay yang dinasionalisasi menjadi BUMN waktu itu. Papa saya sangat bangga bekerja sebagai kasir karena merasa menjadi orang kepercayaan perusahaan. Dipercaya bosnya yang dulu orang Belanda dan juga dipercaya bos barunya yang orang Indonesia.

Yang diwariskan kepada anak-anaknya adalah karakter “lurus” dan penekanan terhadap pentingnya kejujuran. Berkegiatan sosial dengan menjadi bendahara cabang pendidikan Pengurus Perkumpulan Taruna Nusa Harapan (TNH) yang dulu bernama Tjhing Nien Hue – yang berarti perkumpulan anak-anak muda. Perkumpulan yang bermarkas di Jalan Jagalan 132-136 Surabaya itu punya berbagai kegiatan, mulai pendidikan hingga olahraga. Cabang pendidikannya punya TK dan SD serta akhirnya juga punya SMP dan SMA.

Setelah papa pensiun di usia 55 tahun dari Adhuma Niaga, waktunya dihabiskan untuk menjadi tenaga full-timer di sekolah TNH yang akhirnya berubah nama lagi menjadi Sasana Bhakti.

Lulus dari SMA St Louis pada 1965, saya mulai mengajar di SMP Sasana Bhakti. Padahal, usia saya baru tujuh belas tahun. Sebab, papa saya sudah tidak lagi bekerja. Sementara di antara murid-muridnya di kelas 2 dan 3 waktu itu, ada beberapa yang berusia 16 tahun karena pernah tidak naik kelas. Setelah mengajar tiga tahun, saya diangkat menjadi kepala SMP Sasana Bhakti ketika masih berusia dua puluh tahun plus.

Di sekolah itulah saya belajar menjadi guru dan leader serta belajar tentang kejujuran, ajaran dari papa saya. Mama saya, Ong Lian Hwa, meninggal di usia 73 tahun, mengurus kos-kosan di rumah kami yang kecil di Kapasari Gang 5 Nomor 1. Ruang kecil dikavling-kavling untuk menerima delapan orang kos yang datang dari luar Kota Surabaya. Tanpa pembantu, mama saya harus bekerja hingga larut malam dan bangun subuh untuk menyediakan makanan dan mencuci pakaian semua yang kos di rumah.

Hasil kos ditambah gaji saya dia gabungkan untuk biaya adik saya, Lenny Tan Tjiat Nio, agar bisa terus bersekolah dan kuliah. Dari mama saya belajar untuk bekerja keras, pantang menyerah, dan memikirkan masa depan anak-anak.

Ada semacam rasa sesal karena tak sempat membalas budi baik dan ajaran mereka dalam menempa anak-anaknya, terutama dalam hal membangun karakter. Sesuatu yang tak gampang dilakukan dalam keluarga, juga dalam perusahaan! (*)

MARKETING SERIES (81)

Memasuki usia enam puluh lima tahun, saya menjadi sering ingat papa saya, Tan Siong Pik, yang meninggal pada usia lima puluh sembilan tahun. Dia tidak berpendidikan tinggi, bekerja di Adhuma Niaga, sebuah perusahaan niaga Belanda Borsumay yang dinasionalisasi menjadi BUMN waktu itu. Papa saya sangat bangga bekerja sebagai kasir karena merasa menjadi orang kepercayaan perusahaan. Dipercaya bosnya yang dulu orang Belanda dan juga dipercaya bos barunya yang orang Indonesia.

Yang diwariskan kepada anak-anaknya adalah karakter “lurus” dan penekanan terhadap pentingnya kejujuran. Berkegiatan sosial dengan menjadi bendahara cabang pendidikan Pengurus Perkumpulan Taruna Nusa Harapan (TNH) yang dulu bernama Tjhing Nien Hue – yang berarti perkumpulan anak-anak muda. Perkumpulan yang bermarkas di Jalan Jagalan 132-136 Surabaya itu punya berbagai kegiatan, mulai pendidikan hingga olahraga. Cabang pendidikannya punya TK dan SD serta akhirnya juga punya SMP dan SMA.

Setelah papa pensiun di usia 55 tahun dari Adhuma Niaga, waktunya dihabiskan untuk menjadi tenaga full-timer di sekolah TNH yang akhirnya berubah nama lagi menjadi Sasana Bhakti.

Lulus dari SMA St Louis pada 1965, saya mulai mengajar di SMP Sasana Bhakti. Padahal, usia saya baru tujuh belas tahun. Sebab, papa saya sudah tidak lagi bekerja. Sementara di antara murid-muridnya di kelas 2 dan 3 waktu itu, ada beberapa yang berusia 16 tahun karena pernah tidak naik kelas. Setelah mengajar tiga tahun, saya diangkat menjadi kepala SMP Sasana Bhakti ketika masih berusia dua puluh tahun plus.

Di sekolah itulah saya belajar menjadi guru dan leader serta belajar tentang kejujuran, ajaran dari papa saya. Mama saya, Ong Lian Hwa, meninggal di usia 73 tahun, mengurus kos-kosan di rumah kami yang kecil di Kapasari Gang 5 Nomor 1. Ruang kecil dikavling-kavling untuk menerima delapan orang kos yang datang dari luar Kota Surabaya. Tanpa pembantu, mama saya harus bekerja hingga larut malam dan bangun subuh untuk menyediakan makanan dan mencuci pakaian semua yang kos di rumah.

Hasil kos ditambah gaji saya dia gabungkan untuk biaya adik saya, Lenny Tan Tjiat Nio, agar bisa terus bersekolah dan kuliah. Dari mama saya belajar untuk bekerja keras, pantang menyerah, dan memikirkan masa depan anak-anak.

Ada semacam rasa sesal karena tak sempat membalas budi baik dan ajaran mereka dalam menempa anak-anaknya, terutama dalam hal membangun karakter. Sesuatu yang tak gampang dilakukan dalam keluarga, juga dalam perusahaan! (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/