24 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Hari Guru: Quo Vadis Bapak dan Ibu Guru?

Oleh: Siti Aisyah, S.Pd MHum

Menjadi guru adalah sebuah pilihan hidup yang amat mulia, sebab pilihan ini harus datang dari panggilan nurani, bukan semata tuntutan pekerjaan, apa lagi hanya sekadar upaya mengatasi pengangguran dan membela kepentingan ekonomi. Seseorang dapat dibayar untuk mengajar, tetapi seseorang tak dapat dibayar untuk perduli.

Seseorang, siapa pun, dapat saja mengajar di kelas, tetapi belum tentu  perduli untuk apa dia mengajarkan sesuatu pada muridnya, atau hendak dibawa ke mana ilmu itu dalam kehidupan nyata sang murid. Jadi, seorang guru adalah manusia pilihan.

Menjadi guru adalah sebuah kerja kemanusiaan yang luar biasa dan bukan semata sebuah profesi. Mengajar adalah kesenangan yang datang dari hati, panggilan jiwa yang tidak bisa dipaksa oleh apa dan siapa pun. Menjadi guru berati berani mencapai sebuah kesimpulan yang penuh risiko bahwa guru adalah sosok yang mempersiapkan masa depan dan peradaban sebuah bangsa. Di dalam kelas, pendekatan pribadi gurulah yang menciptakan iklimnya dan suasana hati gurulah yang membuat cuacanya.

Coba kita simak kata-kata bijak Haim Ginott ini: Sebagai seorang guru, aku memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat hidup seseorang menderita atau gembira. Aku bisa menjadi alat penyiksa atau pemberi ilham, bisa bercanda atau mempermalukan, melukai atau menyembuhkan. Dalam semua situasi, reaksikulah yang menentukan apakah sebuah krisis akan memuncak atau mereda dan apakah seseorang akan diperlakukan sebagai manusia atau direndahkan.

Kalimat tersebut mengungkapkan peran penting keberadaan seorang guru di dalam hidup manusia dan bangsa. Guru adalah orang yang memiliki “kekuatan” untuk menciptakan “perubahan” pada umat manusia, dengan segala tantangan, kesakitan, sekaligus kenikmatan dalam menjalankan tugas kemanusiaan yang luar biasa itu.

Jika ada yang bertanya, masih perlukah hari guru diperingati? Perlukah ada hari guru? Jawabnya, perlu dan sangat penting. Justru dalam masa masa penuh ujian dan pancaroba yang dihadapi para guru dewasa ini menjadi sangat penting memperingati hari guru, agar kita dapat merenungkan dan menyerap kembali semangat perjuangan para guru pendahulu kita yang gigih menjalankan panggilan nurani keguruannya untuk kebangkitan bangsa dan negara Indonesia. Dengan pemikiran semacam ini, maka peringatan hari guru tidak sebatas hal seremonial belaka, dan langkah pemerintah untuk mencangankan hari guru di tahun 1994 yang lalu itu sudah sangat tepat.

Harapan dan Tantangan

Kini, 25 November 2012 kembali kita sambut hari guru Indonesia pada usianya yang ke 18 tahun, bersamaan dengan hari ulang tahun PGRI ke 67. Dari segi umur, PGRI sudah tergolong berusia lanjut dan sudah sepatutnya menjadi matang dan bijaksana dalam gagasan dan tindakannya, lain halnya dengan hari guru yang masih remaja, baru melewati masa pubertas.

Jika diandaikan sebagai manusia maka dalam usia 18 tahun ini seseorang masih dalam proses mencari jati diri, masih labil. Akan tetapi, seseorang yang hidup di lingkungan yang positif dan berkualitas tentu akan memperoleh cukup bekal untuk melanjutkan perjalanannya. Pertanyaannya, apakah saat ini para guru di Indonesia sudah berada di “lingkungan” yang positif dan berkualitas? Sudahkah para guru mempunyai cukup bekal untuk melaksanakan dan melanjutkan tugas keguruannya itu?

Sebagai ujung tombak di lapangan pendidikan, para guru telah menjalankan beberapa kali pergantian kurikulum dan harus bersiap-siap pula menerima kurikulum baru yang berbeda untuk diterapkan pada tahun 2013. Rencana perubahan kurikulum pendidikan ini pun bukan persoalan sederhana bagi kita semua karena menyangkut kesiapan dan kemampuan berbagai pihak, misalnya tenaga pendidikan dan kependidikan.

Bahwa kurikulum yang pernah ada sebelumnya sudah pun diganti dengan kurikulum yang tengah dijalankan saat ini, padahal belum tuntas dilaksanakan, bahkan dalam praktiknya di lapangan (utamanya di daerah terpencil maupun di desa-desa pedalaman) para guru belum memahami sepenuhnya konsep kurikulum yang lama. Setelah melepaskan kurikulum yang lama, adalah fakta di lapangan bahwa masih banyak guru yang belum mampu melaksanakan tuntutan kurikulum (KTSP) yang sedang berlaku sekarang. Belum lagi selesai persoalan, kini terdengar kabar kurikulum akan diganti lagi tahun depan dengan konsep yang lebih baik dan tujuan yang lebih jelas, katanya. Nampaknya bapak dan ibu guru masih harus terombang-ambing antara kurikulum demi kurikulum.

Demikian pula masalah uji kompetensi guru yang telah, sedang, dan akan berlangsung, menuai berbagai reaksi dari para guru menyangkut tujuan pelaksanaan, persoalan teknis pelaksanaan, materi uji, dan sebagainya yang pada intinya belum sepenuhnya dirasakan sebagai kebutuhan dan keharusan oleh para guru. Meski pemerintah telah menjelaskan bahwa uji kompetensi itu sangat perlu untuk mengukur kemampuan dan “kelayakan” seorang guru, khususnya untuk menyambut kehadiran kurikulum yang baru, tetapi banyak guru merasa risih dan menganggap hal itu sebagai suatu “penghakiman”.

Realisasi di lapangan dunia pendidikan, para guru sesungguhnya sudah dihakimi dalam menjalankan tugasnya sebagai ujung tombak yang berhadapan langsung dengan murid-muridnya. Penghakiman yang bagaimana dapat dilihat dari tuntutan hasil belajar yang harus memuaskan, kesabaran dan kearifan yang diuji setiap saat oleh perilaku siswa yang terkadang di luar dugaan, keberatan orang tua atau wali siswa ketika guru “terkadang terlalu emosi” main tangan sampai mengantar sang guru ke pengadilan. Bukankah hal tersebut contoh kecil ujian dan penghakiman yang harus dihadapi guru.
Di sela berbagai peristiwa yang “menyesakkan dada” dialami para guru, kita tak boleh pula menutup mata atas penghargaan yang diberikan kepada bapak dan ibu guru, misalnya kenaikan gaji yang akan terus bergulir (tapi tidak berlaku pula bagi guru-guru honorer atau guru tidak tetap). Ditambah lagi dengan adanya sertifikasi guru, serta tunjangan sana sini yang “menunjukkan” nasib ekonomi guru sudah memberikan harapan lebih baik dari masa-masa sebelum ini.

Diantara harapan dan tantangan yang terbentang, bukankah sebaiknya seorang guru tetap berpegang pada panggilan nurani. Apapun kurikulumnya, sekecil atau sebesar apapun penghargaan yang diterima, tetaplah menjadi guru sejati, guru yang profesional. Di sini saya mengutip seruan PGRI dalam menyambut hari guru 2012 “Kita tingkatkan profesionalisme menuju pendidikan Indonesia yang berkualitas”. Momen Hari Guru ini hendaknya dapat memotivasi para guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional demi memperbaiki mutu pendidikan.

Seiring lajunya perubahan zaman, kemampuan seorang guru dituntut lebih dan lebih. Guru harus meningkatkan profesionalitasnya dalam menghadapi anak didik agar memiliki daya saing antar sesamanya maupun dengan bangsa lain. Apa jadinya andai seseorang hanya menjadikan pekerjaan guru sebagai pelarian karena tak mendapatkan pekerjaan di bidang lain, dijalani setengah hati dan asal berdiri di depan kelas saja. Hasilnya, anak didik pun menjadi manusia-manusia pelarian yang salah kaprah. Kalau pada akhirnya keadaan kian tak terkendali, mau ke mana kita, bapak dan ibu guru?

Apakah kita merasa cukup menjadi guru yang biasa-biasa saja atau tidak. Guru biasa hanya memberi, yaitu cukup menyampaikan materi pelajaran sesuai jadwal, sesuai silabus, lalu selesai. Kemudian melaksanakan penilaian secara kognitif, psikomotorik, dan afektif. Siswa tinggal melihat hasil pada laporan belajarnya, tuntas atau tidak tuntas, naik atau tinggal kelas.

Pilihan kedua adalah menjadi guru yang baik. Guru yang baik, selain memberikan juga menjelaskan.  Bukankah terkadang kita mengelak dari berbagai pertanyaan murid dengan alasan ‘tidak nyambung” dengan pelajaran yang dibahas? Padahal seorang guru dituntut mampu menjelaskan apa pun pertanyaan murid, dan dalam penjelasan itu guru harus mampu membuat segala sesuatunya “jadi nyambung” dengan pelajaran. Ya, ‘menjelaskan’ memang bukan perkara gampang, dan konsep ‘menjelaskan’ itu sangat luas, sangat kompleks.

Kemudian, guru yang ulung adalah guru yang mampu memeragakan, guru yang tak hanya berteori dan menjelaskan secara verbal. Saya yakin bahwa seorang guru yang bertanggungjawab adalah guru yang dengan sadar menunjukkan kepada muridnya apa yang baik dan benar melalui perilakunya. Menunjukkan nilai-nilai yang patut dan pantas dengan tingkah lakunya sendiri. Menerapkan ilmu pengetahuan yang dia ajarkan dalam kehidupan nyata, bukan sekadar kata-kata.

Akhirnya, guru yang hebat adalah seorang guru yang dapat mengilhami murid-muridnya dalam bertindak, dalam mengarungi hidupnya kelak. Ilham itu tentunya adalah ilham yang baik, ilham yang menjadi penuntun bagi murid-murid ke masa depan. Beban berat memang harus dipikul oleh seorang guru sejati, yaitu memberi, menjelaskan, memeragakan, dan mengilhami. Tetapi dengan adanya kesadaran bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan nurani, tentunya beban berat itu dapat dinikmati dan dapat menjadi ilham tersendiri bagi sang guru sejati.

Penulis Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Andam Dewi dan Dosen Sastra Indonesia STKIP Barus Kabupaten Tapanuli Tengah.

Oleh: Siti Aisyah, S.Pd MHum

Menjadi guru adalah sebuah pilihan hidup yang amat mulia, sebab pilihan ini harus datang dari panggilan nurani, bukan semata tuntutan pekerjaan, apa lagi hanya sekadar upaya mengatasi pengangguran dan membela kepentingan ekonomi. Seseorang dapat dibayar untuk mengajar, tetapi seseorang tak dapat dibayar untuk perduli.

Seseorang, siapa pun, dapat saja mengajar di kelas, tetapi belum tentu  perduli untuk apa dia mengajarkan sesuatu pada muridnya, atau hendak dibawa ke mana ilmu itu dalam kehidupan nyata sang murid. Jadi, seorang guru adalah manusia pilihan.

Menjadi guru adalah sebuah kerja kemanusiaan yang luar biasa dan bukan semata sebuah profesi. Mengajar adalah kesenangan yang datang dari hati, panggilan jiwa yang tidak bisa dipaksa oleh apa dan siapa pun. Menjadi guru berati berani mencapai sebuah kesimpulan yang penuh risiko bahwa guru adalah sosok yang mempersiapkan masa depan dan peradaban sebuah bangsa. Di dalam kelas, pendekatan pribadi gurulah yang menciptakan iklimnya dan suasana hati gurulah yang membuat cuacanya.

Coba kita simak kata-kata bijak Haim Ginott ini: Sebagai seorang guru, aku memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat hidup seseorang menderita atau gembira. Aku bisa menjadi alat penyiksa atau pemberi ilham, bisa bercanda atau mempermalukan, melukai atau menyembuhkan. Dalam semua situasi, reaksikulah yang menentukan apakah sebuah krisis akan memuncak atau mereda dan apakah seseorang akan diperlakukan sebagai manusia atau direndahkan.

Kalimat tersebut mengungkapkan peran penting keberadaan seorang guru di dalam hidup manusia dan bangsa. Guru adalah orang yang memiliki “kekuatan” untuk menciptakan “perubahan” pada umat manusia, dengan segala tantangan, kesakitan, sekaligus kenikmatan dalam menjalankan tugas kemanusiaan yang luar biasa itu.

Jika ada yang bertanya, masih perlukah hari guru diperingati? Perlukah ada hari guru? Jawabnya, perlu dan sangat penting. Justru dalam masa masa penuh ujian dan pancaroba yang dihadapi para guru dewasa ini menjadi sangat penting memperingati hari guru, agar kita dapat merenungkan dan menyerap kembali semangat perjuangan para guru pendahulu kita yang gigih menjalankan panggilan nurani keguruannya untuk kebangkitan bangsa dan negara Indonesia. Dengan pemikiran semacam ini, maka peringatan hari guru tidak sebatas hal seremonial belaka, dan langkah pemerintah untuk mencangankan hari guru di tahun 1994 yang lalu itu sudah sangat tepat.

Harapan dan Tantangan

Kini, 25 November 2012 kembali kita sambut hari guru Indonesia pada usianya yang ke 18 tahun, bersamaan dengan hari ulang tahun PGRI ke 67. Dari segi umur, PGRI sudah tergolong berusia lanjut dan sudah sepatutnya menjadi matang dan bijaksana dalam gagasan dan tindakannya, lain halnya dengan hari guru yang masih remaja, baru melewati masa pubertas.

Jika diandaikan sebagai manusia maka dalam usia 18 tahun ini seseorang masih dalam proses mencari jati diri, masih labil. Akan tetapi, seseorang yang hidup di lingkungan yang positif dan berkualitas tentu akan memperoleh cukup bekal untuk melanjutkan perjalanannya. Pertanyaannya, apakah saat ini para guru di Indonesia sudah berada di “lingkungan” yang positif dan berkualitas? Sudahkah para guru mempunyai cukup bekal untuk melaksanakan dan melanjutkan tugas keguruannya itu?

Sebagai ujung tombak di lapangan pendidikan, para guru telah menjalankan beberapa kali pergantian kurikulum dan harus bersiap-siap pula menerima kurikulum baru yang berbeda untuk diterapkan pada tahun 2013. Rencana perubahan kurikulum pendidikan ini pun bukan persoalan sederhana bagi kita semua karena menyangkut kesiapan dan kemampuan berbagai pihak, misalnya tenaga pendidikan dan kependidikan.

Bahwa kurikulum yang pernah ada sebelumnya sudah pun diganti dengan kurikulum yang tengah dijalankan saat ini, padahal belum tuntas dilaksanakan, bahkan dalam praktiknya di lapangan (utamanya di daerah terpencil maupun di desa-desa pedalaman) para guru belum memahami sepenuhnya konsep kurikulum yang lama. Setelah melepaskan kurikulum yang lama, adalah fakta di lapangan bahwa masih banyak guru yang belum mampu melaksanakan tuntutan kurikulum (KTSP) yang sedang berlaku sekarang. Belum lagi selesai persoalan, kini terdengar kabar kurikulum akan diganti lagi tahun depan dengan konsep yang lebih baik dan tujuan yang lebih jelas, katanya. Nampaknya bapak dan ibu guru masih harus terombang-ambing antara kurikulum demi kurikulum.

Demikian pula masalah uji kompetensi guru yang telah, sedang, dan akan berlangsung, menuai berbagai reaksi dari para guru menyangkut tujuan pelaksanaan, persoalan teknis pelaksanaan, materi uji, dan sebagainya yang pada intinya belum sepenuhnya dirasakan sebagai kebutuhan dan keharusan oleh para guru. Meski pemerintah telah menjelaskan bahwa uji kompetensi itu sangat perlu untuk mengukur kemampuan dan “kelayakan” seorang guru, khususnya untuk menyambut kehadiran kurikulum yang baru, tetapi banyak guru merasa risih dan menganggap hal itu sebagai suatu “penghakiman”.

Realisasi di lapangan dunia pendidikan, para guru sesungguhnya sudah dihakimi dalam menjalankan tugasnya sebagai ujung tombak yang berhadapan langsung dengan murid-muridnya. Penghakiman yang bagaimana dapat dilihat dari tuntutan hasil belajar yang harus memuaskan, kesabaran dan kearifan yang diuji setiap saat oleh perilaku siswa yang terkadang di luar dugaan, keberatan orang tua atau wali siswa ketika guru “terkadang terlalu emosi” main tangan sampai mengantar sang guru ke pengadilan. Bukankah hal tersebut contoh kecil ujian dan penghakiman yang harus dihadapi guru.
Di sela berbagai peristiwa yang “menyesakkan dada” dialami para guru, kita tak boleh pula menutup mata atas penghargaan yang diberikan kepada bapak dan ibu guru, misalnya kenaikan gaji yang akan terus bergulir (tapi tidak berlaku pula bagi guru-guru honorer atau guru tidak tetap). Ditambah lagi dengan adanya sertifikasi guru, serta tunjangan sana sini yang “menunjukkan” nasib ekonomi guru sudah memberikan harapan lebih baik dari masa-masa sebelum ini.

Diantara harapan dan tantangan yang terbentang, bukankah sebaiknya seorang guru tetap berpegang pada panggilan nurani. Apapun kurikulumnya, sekecil atau sebesar apapun penghargaan yang diterima, tetaplah menjadi guru sejati, guru yang profesional. Di sini saya mengutip seruan PGRI dalam menyambut hari guru 2012 “Kita tingkatkan profesionalisme menuju pendidikan Indonesia yang berkualitas”. Momen Hari Guru ini hendaknya dapat memotivasi para guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional demi memperbaiki mutu pendidikan.

Seiring lajunya perubahan zaman, kemampuan seorang guru dituntut lebih dan lebih. Guru harus meningkatkan profesionalitasnya dalam menghadapi anak didik agar memiliki daya saing antar sesamanya maupun dengan bangsa lain. Apa jadinya andai seseorang hanya menjadikan pekerjaan guru sebagai pelarian karena tak mendapatkan pekerjaan di bidang lain, dijalani setengah hati dan asal berdiri di depan kelas saja. Hasilnya, anak didik pun menjadi manusia-manusia pelarian yang salah kaprah. Kalau pada akhirnya keadaan kian tak terkendali, mau ke mana kita, bapak dan ibu guru?

Apakah kita merasa cukup menjadi guru yang biasa-biasa saja atau tidak. Guru biasa hanya memberi, yaitu cukup menyampaikan materi pelajaran sesuai jadwal, sesuai silabus, lalu selesai. Kemudian melaksanakan penilaian secara kognitif, psikomotorik, dan afektif. Siswa tinggal melihat hasil pada laporan belajarnya, tuntas atau tidak tuntas, naik atau tinggal kelas.

Pilihan kedua adalah menjadi guru yang baik. Guru yang baik, selain memberikan juga menjelaskan.  Bukankah terkadang kita mengelak dari berbagai pertanyaan murid dengan alasan ‘tidak nyambung” dengan pelajaran yang dibahas? Padahal seorang guru dituntut mampu menjelaskan apa pun pertanyaan murid, dan dalam penjelasan itu guru harus mampu membuat segala sesuatunya “jadi nyambung” dengan pelajaran. Ya, ‘menjelaskan’ memang bukan perkara gampang, dan konsep ‘menjelaskan’ itu sangat luas, sangat kompleks.

Kemudian, guru yang ulung adalah guru yang mampu memeragakan, guru yang tak hanya berteori dan menjelaskan secara verbal. Saya yakin bahwa seorang guru yang bertanggungjawab adalah guru yang dengan sadar menunjukkan kepada muridnya apa yang baik dan benar melalui perilakunya. Menunjukkan nilai-nilai yang patut dan pantas dengan tingkah lakunya sendiri. Menerapkan ilmu pengetahuan yang dia ajarkan dalam kehidupan nyata, bukan sekadar kata-kata.

Akhirnya, guru yang hebat adalah seorang guru yang dapat mengilhami murid-muridnya dalam bertindak, dalam mengarungi hidupnya kelak. Ilham itu tentunya adalah ilham yang baik, ilham yang menjadi penuntun bagi murid-murid ke masa depan. Beban berat memang harus dipikul oleh seorang guru sejati, yaitu memberi, menjelaskan, memeragakan, dan mengilhami. Tetapi dengan adanya kesadaran bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan nurani, tentunya beban berat itu dapat dinikmati dan dapat menjadi ilham tersendiri bagi sang guru sejati.

Penulis Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Andam Dewi dan Dosen Sastra Indonesia STKIP Barus Kabupaten Tapanuli Tengah.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/