30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pilgubsu ‘Picu’ Deteriorasi Lingkungan Hidup

Oleh:Dede Prabowo Wiguna, SPd

Setiap kali ada even atau agenda pemilu, selalu yang dikorbankan adalah lingkungan. Walhasil, lingkungan menjadi rusak dan praktis menimbulkan efek negatif. Tidak terkecuali agenda lima tahunan yang sedang dinantinantikan oleh masyarakat Sumatera Utara yaitu Pilgubsu (Maret 2013). Menjelang pilgubsu periode 2013-2018, beragam cara dilakukan masing-masing Cagub untuk menang baik yang dari jalur independen maupun dari parpol. Dan kampanye politik merupakan sarana atau cara yang digunakan untuk menang disetiap event pemilu.

Memang sich, sebagai negara demokrasi pilgub menjadi agenda ‘wajib’ tiap-tiap provinsi untuk memilih secara langsung pemimpin idaman. Pemimpin yang diidamidamkan membawa perubahan sesuai janji dan embel-embel kampanye di belakangnya. Janji kampanye tentunya adalah program-program yang memberikan harapan bagi rakyat. Janji yang penuh “hiasan” kata-kata, seolah membius hati rakyat. Sehingga, nanti ketika hari ‘H’ rakyat memilih dirinya.

Politik Kotor
Di setiap pentas demokrasi seperti pilgubsu bukan hanya money politik (politik uang) saja yang dikatakan politik kotor, tetapi model kampanye yang tidak sesuai aturan juga merupakan politik kotor. Melakukan cara-cara yang “tidak halal” hanya untuk memenangkan pertarungan atau kompetisi politik.

Dalam konteks pilgubsu ada beberapa catatan yang menjadi sorotan terkait lingkungan hidup. Ketika cagubsu melakukan kampanye politik, sering kali memicu deteriorasi (proses perusakan) lingkungan hidup. Sebagai contoh, Pertama: kampanye yang dilakukan secara masif biasanya dengan cara kampanye akbar di lapangan terbuka.

Tentu masyarakat akan terpusat dan berkumpul untuk mendengarkan janji kampanye maupun ‘ocehan’ masing-masing Cagubsu. Setelah selesai, tak enak dipandang mata sampah berserakan dimana-mana sehingga material sampah menyebabkan lingkungan hidup menjadi tercemar.

Kedua: pemasangan spanduk, poster, pamflet, dan sebagainya itu di paku ke pohon-pohon atau tumbuhan. Kampanye ini dikategorikan perusakan lingkungan. Jika pohon tersebut bisa berkata maka kemungkinannya pohon itu akan mengatakan “sakit! Jangan kau rusak tubuh ku..Sebab, tumbuhan itu adalah bagian dari biosfera dan tergolong mahluk hidup untuk menyeimbangkan ekosistem.

Ketiga: masih teringat di benak kita, yang sering dilakukan setiap pilgubsu yaitu konvoi. Model kampanye ini selalu menggunakan kendaraan roda empat (mobil, bus, angkot) dan roda dua (sepeda motor) dimana kampanye seperti ini telah menambah banyak sekali emisi dan karbon dioksida (CO2) sehingga dapat mengakibatkan polusi udara.

Keempat: penggunaan materi-materi kampanye lainnya yang dapat menyebabkan pemborosan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Misalnya penggunaan kayu, bambu, plastik, kertas, dan sebagainya dimana setelah selesai kampanye dibuang begitu saja dan selalu berserakan. Padahal, sumber daya itu masih bermanfaat untuk keperluan yang lainnya.

Bentuk atau model kampanye politik seperti itu disebut sebagai pemicu kemunduran bahkan perusakan lingkungan hidup (deteriorasi). Hal ini telah melanggar program-program lingkungan hidup. Sebab, target dari program lingkungan hidup secara umumnya adalah berdasarkan hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tanggal 26 Agustus–4 September 2002 dan kemudian dilanjutkan di Konferensi Tingkat Tinggi Indonesia untuk pembangunan berkelanjutan (Indonesian Summit on Sustainable Development).

Dalam konferensi ini dibahas tentang masalah mendesak yang dihadapi Indonesia dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Masalah mendesak di Indonesia terkait lingkungan hidup pada point (d) dinyatakan bahwa “Perlindungan sumber daya alam dan lingkungan (tata ruang dan pengendalian pencemaran).”

Antisipasi Kerusakan
Efek negatif dari kampanye politik memang tak terhindarkan. Namun, ada beberapa rekomendasi untuk mengantisipasi atau mengurangi kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan kampanye politik menjelang Pilgubsu. Sebagaimana amanat UU Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 6) menyatakan bahwa poin (1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan, point (2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Berdasarkan pada UU lingkungan hidup tersebut, maka untuk mengantisipasi deteriorasi lingkungan hidup langkah yang harus dilakukan adalah pertama, dengan penuh kesadaran secara individu masyarakat harus berpartisipasi aktif membuang sampah pada tempatnya ketika selesai kampanye politik terbuka, mencegah apabila ada anggota tim sukses dari masing-masing cagub yang mencoba pemasangan spanduk atau poster ke pohon-pohon, dan tidak ikut-ikutan konvoi. Konvoi dapat dibolehkan apabila menggunakan sepeda untuk mengurangi emisi.

Kedua, KPU (Komisi pemilihan Umum) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk meloloskan Cagubsu harus benar-benar membuat komitmen dan kesepakatan berupa kontrak tentang pelarangan model kampanye yang dapat merusak lingkungan. Sebagai contoh, KPU harus membuat aturan penyediaan tempat sampah di lapangan kampanye terbuka, selanjutnya ketika awal dan akhir kampanye terbuka pihak tim sukses masing-masing Cagubsu harus menginstruksikan kepada masyarakat peserta kampanye agar menjaga lingkungan di tempat kampanye dengan membuang sampah makanan dan sebagainya ketempat sampah yang telah disediakan. Berikutnya konvoi boleh dilakukan hanya dengan sepeda.

Sebab, jika menggunakan kendaraan yang ber-emisi akan menimbulkan polutan. Dan seperti yang telah disinggung sebelumnya, KPU juga harus membuat aturan tentang penggunaan materi (bahan-bahan) kampanye seperti kayu, bambu, kertas, dsb untuk melakukan penghematan sumber daya alam.

Ketiga, sebagai instrument negara Bawaslu berkerja sama atau berkoordinasi dengan KPU, BLH (Badan Lingkungan Hidup), dan lembaga-lembaga sosial yang bergerak di bidang lingkungan untuk benar-benar mengawasi, men-tertibkan, sampai kepada pemberian sanksi tegas berupa pembatalan pencalonan kepada Cagubsu yang ditemukan melanggar UU Lingkungan Hidup serta sesuai kesepakatan dan kontrak dengan KPU.

Penutup
Pilgubsu yang demokratis dan Jurdil (jujur dan adil) menjadi harapan masyarakat Sumatera Utara. Tetapi, faktanya tidak seperti itu. Model kampanye pragmatis dan kotor masih sering dilakukan. Program lingkungan hidup Cagubsu ketika kampanye kontradiksi dengan praktek kampanye. Oleh sebab itu, semua lapisan masyarakat dan stake holder pilgub harus bersama-sama meningkatkan fungsi pengawasan (social control) terhadap praktek kampanye. Jangan memilih Cagubsu yang masih menggunakan cara-cara kotor alias “haram” hanya untuk memenangkan pilgubsu.

Caranya saja sudah salah, apalagi setelah menang nanti. Janji dan program sudah pasti terabaikan. Jiwa ksatria adalah apabila menang dan kalah secara terhormat dengan mengikuti aturan dan prosedur kampanye. Biarlah semuanya masyarakat yang menilai. Sebab, Demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Semoga pilgubsu berlangsung dengan lancar.***

Penulis adalah Pemerhati Lingkungan Hidup dan Alumni Jurusan Pendidikan Geografi Unimed

Oleh:Dede Prabowo Wiguna, SPd

Setiap kali ada even atau agenda pemilu, selalu yang dikorbankan adalah lingkungan. Walhasil, lingkungan menjadi rusak dan praktis menimbulkan efek negatif. Tidak terkecuali agenda lima tahunan yang sedang dinantinantikan oleh masyarakat Sumatera Utara yaitu Pilgubsu (Maret 2013). Menjelang pilgubsu periode 2013-2018, beragam cara dilakukan masing-masing Cagub untuk menang baik yang dari jalur independen maupun dari parpol. Dan kampanye politik merupakan sarana atau cara yang digunakan untuk menang disetiap event pemilu.

Memang sich, sebagai negara demokrasi pilgub menjadi agenda ‘wajib’ tiap-tiap provinsi untuk memilih secara langsung pemimpin idaman. Pemimpin yang diidamidamkan membawa perubahan sesuai janji dan embel-embel kampanye di belakangnya. Janji kampanye tentunya adalah program-program yang memberikan harapan bagi rakyat. Janji yang penuh “hiasan” kata-kata, seolah membius hati rakyat. Sehingga, nanti ketika hari ‘H’ rakyat memilih dirinya.

Politik Kotor
Di setiap pentas demokrasi seperti pilgubsu bukan hanya money politik (politik uang) saja yang dikatakan politik kotor, tetapi model kampanye yang tidak sesuai aturan juga merupakan politik kotor. Melakukan cara-cara yang “tidak halal” hanya untuk memenangkan pertarungan atau kompetisi politik.

Dalam konteks pilgubsu ada beberapa catatan yang menjadi sorotan terkait lingkungan hidup. Ketika cagubsu melakukan kampanye politik, sering kali memicu deteriorasi (proses perusakan) lingkungan hidup. Sebagai contoh, Pertama: kampanye yang dilakukan secara masif biasanya dengan cara kampanye akbar di lapangan terbuka.

Tentu masyarakat akan terpusat dan berkumpul untuk mendengarkan janji kampanye maupun ‘ocehan’ masing-masing Cagubsu. Setelah selesai, tak enak dipandang mata sampah berserakan dimana-mana sehingga material sampah menyebabkan lingkungan hidup menjadi tercemar.

Kedua: pemasangan spanduk, poster, pamflet, dan sebagainya itu di paku ke pohon-pohon atau tumbuhan. Kampanye ini dikategorikan perusakan lingkungan. Jika pohon tersebut bisa berkata maka kemungkinannya pohon itu akan mengatakan “sakit! Jangan kau rusak tubuh ku..Sebab, tumbuhan itu adalah bagian dari biosfera dan tergolong mahluk hidup untuk menyeimbangkan ekosistem.

Ketiga: masih teringat di benak kita, yang sering dilakukan setiap pilgubsu yaitu konvoi. Model kampanye ini selalu menggunakan kendaraan roda empat (mobil, bus, angkot) dan roda dua (sepeda motor) dimana kampanye seperti ini telah menambah banyak sekali emisi dan karbon dioksida (CO2) sehingga dapat mengakibatkan polusi udara.

Keempat: penggunaan materi-materi kampanye lainnya yang dapat menyebabkan pemborosan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Misalnya penggunaan kayu, bambu, plastik, kertas, dan sebagainya dimana setelah selesai kampanye dibuang begitu saja dan selalu berserakan. Padahal, sumber daya itu masih bermanfaat untuk keperluan yang lainnya.

Bentuk atau model kampanye politik seperti itu disebut sebagai pemicu kemunduran bahkan perusakan lingkungan hidup (deteriorasi). Hal ini telah melanggar program-program lingkungan hidup. Sebab, target dari program lingkungan hidup secara umumnya adalah berdasarkan hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tanggal 26 Agustus–4 September 2002 dan kemudian dilanjutkan di Konferensi Tingkat Tinggi Indonesia untuk pembangunan berkelanjutan (Indonesian Summit on Sustainable Development).

Dalam konferensi ini dibahas tentang masalah mendesak yang dihadapi Indonesia dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Masalah mendesak di Indonesia terkait lingkungan hidup pada point (d) dinyatakan bahwa “Perlindungan sumber daya alam dan lingkungan (tata ruang dan pengendalian pencemaran).”

Antisipasi Kerusakan
Efek negatif dari kampanye politik memang tak terhindarkan. Namun, ada beberapa rekomendasi untuk mengantisipasi atau mengurangi kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan kampanye politik menjelang Pilgubsu. Sebagaimana amanat UU Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 6) menyatakan bahwa poin (1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan, point (2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Berdasarkan pada UU lingkungan hidup tersebut, maka untuk mengantisipasi deteriorasi lingkungan hidup langkah yang harus dilakukan adalah pertama, dengan penuh kesadaran secara individu masyarakat harus berpartisipasi aktif membuang sampah pada tempatnya ketika selesai kampanye politik terbuka, mencegah apabila ada anggota tim sukses dari masing-masing cagub yang mencoba pemasangan spanduk atau poster ke pohon-pohon, dan tidak ikut-ikutan konvoi. Konvoi dapat dibolehkan apabila menggunakan sepeda untuk mengurangi emisi.

Kedua, KPU (Komisi pemilihan Umum) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk meloloskan Cagubsu harus benar-benar membuat komitmen dan kesepakatan berupa kontrak tentang pelarangan model kampanye yang dapat merusak lingkungan. Sebagai contoh, KPU harus membuat aturan penyediaan tempat sampah di lapangan kampanye terbuka, selanjutnya ketika awal dan akhir kampanye terbuka pihak tim sukses masing-masing Cagubsu harus menginstruksikan kepada masyarakat peserta kampanye agar menjaga lingkungan di tempat kampanye dengan membuang sampah makanan dan sebagainya ketempat sampah yang telah disediakan. Berikutnya konvoi boleh dilakukan hanya dengan sepeda.

Sebab, jika menggunakan kendaraan yang ber-emisi akan menimbulkan polutan. Dan seperti yang telah disinggung sebelumnya, KPU juga harus membuat aturan tentang penggunaan materi (bahan-bahan) kampanye seperti kayu, bambu, kertas, dsb untuk melakukan penghematan sumber daya alam.

Ketiga, sebagai instrument negara Bawaslu berkerja sama atau berkoordinasi dengan KPU, BLH (Badan Lingkungan Hidup), dan lembaga-lembaga sosial yang bergerak di bidang lingkungan untuk benar-benar mengawasi, men-tertibkan, sampai kepada pemberian sanksi tegas berupa pembatalan pencalonan kepada Cagubsu yang ditemukan melanggar UU Lingkungan Hidup serta sesuai kesepakatan dan kontrak dengan KPU.

Penutup
Pilgubsu yang demokratis dan Jurdil (jujur dan adil) menjadi harapan masyarakat Sumatera Utara. Tetapi, faktanya tidak seperti itu. Model kampanye pragmatis dan kotor masih sering dilakukan. Program lingkungan hidup Cagubsu ketika kampanye kontradiksi dengan praktek kampanye. Oleh sebab itu, semua lapisan masyarakat dan stake holder pilgub harus bersama-sama meningkatkan fungsi pengawasan (social control) terhadap praktek kampanye. Jangan memilih Cagubsu yang masih menggunakan cara-cara kotor alias “haram” hanya untuk memenangkan pilgubsu.

Caranya saja sudah salah, apalagi setelah menang nanti. Janji dan program sudah pasti terabaikan. Jiwa ksatria adalah apabila menang dan kalah secara terhormat dengan mengikuti aturan dan prosedur kampanye. Biarlah semuanya masyarakat yang menilai. Sebab, Demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Semoga pilgubsu berlangsung dengan lancar.***

Penulis adalah Pemerhati Lingkungan Hidup dan Alumni Jurusan Pendidikan Geografi Unimed

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/