28 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

‘Poligami’ SBY

Setelah beberapa waktu menyandang status ‘yatim piatu’, akhirnya kader Partai Demokrat bisa bernafas lega setelah Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) terpilih sebagai Ketum, resmi menduduki kursi tampuk kepemimpinan menggantikan Anas Urbaningrum yang sudah memundurkan diri.

Oleh:Abd Hannan

Sebagaimana diketahui, terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum baru Partai Demokrat diperoleh secara aklamasi pada forum Kongres Luar Biasa (KLB) di Hotel Inna Beach, Denpasar, Bali pada Sabtu (30/3/2013). Dengan demikian, dalam jangka beberapa tahun ke depan SBY akan memimpin demokrat beserta kader-kader bawahannya. Mengawal partai berkompetisi dalam arena percaturan politik untuk memegangi tampuk kekuasaan tertinggi dalam negeri. Karenanya, menarik kita tunggu langkah-langkah progresif seperti apa yang akan diperlihatkan SBY untuk mengembalikan elektabilitas partai PD yang selama ini menunjukkan penurunan angka.

Terpilihnya kembali SBY sebagai Ketum Demokrat tentu saja membawa angin segar, utamanya bagi kader-kader partai yang dikenal memiliki hubungan lengket dengan konsep dan haluan politiknya. Sebaliknya, sebagian kader yang mempunyai ikatan bathin dengan Anas merasa kecewa, lantaran forum penetapan SBY sebagai Ketum dipandang kurang demokratis, tidak melibatkan elemen partai secara menyeluruh. Bahkan beberapa loyalis anas melakukan perlawanan, Tri Indrianto misalnya. Mantan Ketua DPC Partai Demokrat Cilacap tersebut saat ini tengah mempersiapkan kongres luar biasa (KLB) tandingan. Kongres yang sengaja dibuat untuk menandingi kongres Partai Demokrat Bali yang menunjuk Susilo Bambang Yudhoyono menjadi ketua umum.

Terlepas dari adanya sikap perlawanan kelompok loyalis Anas, kehadiran kembali SBY kembali di kursi Ketum menimbulkan semangat baru dalam diri kader dan pengurus partai untuk melanjutkan perjuangan menuju pemilu 2014 mendatang. Melihat kondisi partai yang berada pada jurang degradasi berdasarkan hasil survei nasional, maka bukan merupakan tugas ringan bagi SBY untuk mengangkat kembali nama besar partai seperti pada pemilu-pemilu sedia kala. Apalagi kita tahu, dalam beberapa tahun ini keberadaan Partai Demokrat sebagai partai penguasa kerapkali dirundung berbagai petaka terkait dengan perilaku nakal para kadernya. Karenya, tugas SBY selaku pemangku jabatan Ketum bukan saja sebatas pada komunikasi politik dalam diri partai, melainkan turut pula harus membenahi manajemen proses rekrutmen politik agar ke depannya politisi usungannya tidak jadi bulan-bulanan media.

Apresiasi atas tertunjuknya SBY sebagai Ketum PD banyak berdatangan dari berbagai pihak. Tidak hanya itu, kalangan internal partai melihat SBY adalah satu-satunya sosok juru penyelamat partai yang saat ini mengalami pesakitan. Sebagaimana diungkapkan oleh Ajeng Ratna Sumirat selaku Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Menurut Ratna, dengan keputusan aklamsi ini, diharapkan integritas partai tetap terpadu dalam satu ikatan, tidak terpecah belah dalam faksi-faksi sebagaimana ramai diberitakan kalangan media.

Penetapana diri SBY sebagai Ketum PD menyisakan cerita baru perihal statusnya sebagai Presiden. Antara Ketum dan Presiden merupakan status formal yang kental dengan muatan tugas dan kewajiban. Menjadi pemimpin sebuah Parpol bukan merupakan satu pekerjaan mudah yang sedikit menyita waktu. Terlebih Pemilu 2014 sudah hampir tiba. Mau tidak mau seoranng Ketum partai harus menyiapkan agenda politik sematang mungkin. Berpikir keras, dan memutar otak bagaimana peranan politik parpolnya bisa mendominasi kompetisi, tidak hanya sebatas numpang lewat atau jadi penonton semata. Dengan begitu, maka keberanian SBY melakukan ‘poligami’ jabatan patut dipersoalkan dan dipertanyakan. Meski pada nyatanya dirinya sudah mengangkat ketua harian sebagai sosok bayangan yang dapat menjalankan segala agenda kepemimpinan dirinya.

Begitu peka sikap SBY terhadap masa depan partainya sehingga menyempatkan diri diri menengok, bahkan turut turun tangan melibatkan diri, membangun kembali kebesaran partai seperti saat kepemimpinannya pada beberapa tahun lalu. Sikap yang demikian jauh tidak berbanding lurus dengan status dirinya sepanjang menjabat presiden. Setiap kali ada problem sosial perihal krisis dan gejolak ditengah-tengah lingkup masyarakat, sulit sekali menemukan peran nyatanya. Memperlihatkan sikap empati, dan turun langsung menyantuni rakyat. Yang paling rentan kita dapati hanya sebatas pada ceramah, imbauan, curhat, atau paling mentok adalah pengematan saja. Itu pun hanya melalui layar kaca media. “Saya mengamati, saya memperhatikan, saya mengikuti perkembangan melalui media dan televisi”, sedikit banyak seperti itulah bahasa SBY ketika pamer diri di depan muka umum. Nah, kalo cuma sebatas mengamati dan memperhatikan terus , lantas  kapan turun tangannya Bung?

Sebagai pengamat kecil-kecilan, saya pribadi merasa khawatir atas beberapa kemungkinan adanya disfungsi status perihal ‘poligami’ jabatan yang disandang SBY. Apalagi kita tahu, kondisi bangsa kita saat ini betul-betul berada pada posisi genting. Banyak problem menerpa, mulai dari kian akutnya kesenjangan sosial hingga pada membahananya bencana alam yang mengguncang penjuru negeri. Longsor, keterbatasan pangan, kemiskinan, kriminalitas, maraknya pelecahan seksual, hingga pada labillitas internal kenegaraan. Seperti halnya sikap anarkis massa yang kemaren membakar gedung pemerintahan di Palopo. Serta perilaku bejat aparat penegak hukum yang melakukan pemerkosaan terhadap tahanan perempuan di Polres Poso. Ini semua hanya segelintir bukti kecil bagaimana persoalan kebangsaan negeri kita begitu kompleks. Sampai disini, lantas dimana hati nurani dan logika seorang presiden berada? Ko’ masih sempatnya mengurusi partai! mungkinkah bagi bung SBY urusan partai lebih penting ketimbang urusan bangsa-negara? allahu a’lam.

Nampaknya jiwa patriot kepartaian SBY mengalahkan segala-galanya, hingga negara sekalipun rela ia selingkuhi. Publik kecewa sudah pasti iya, tapi semoga saja SBY bisa proporsional membagi tugas, dan adil memperlakukan rangkap jabatan secara bijak dan profesional. Akhirnya, marilah kita doakan bersama semoga saja ‘poligami’ jabatan yang dilakukan SBY tidak menyurutkan semangat kebangsaan dirinya, sehingga rakyat tidak lagi dianak tirikan, apalagi ditelantarkan. Amen! (*)

Penulis: Anggota Tim Riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu  Budaya Universitas Trunojoyo Madura.

Setelah beberapa waktu menyandang status ‘yatim piatu’, akhirnya kader Partai Demokrat bisa bernafas lega setelah Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) terpilih sebagai Ketum, resmi menduduki kursi tampuk kepemimpinan menggantikan Anas Urbaningrum yang sudah memundurkan diri.

Oleh:Abd Hannan

Sebagaimana diketahui, terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum baru Partai Demokrat diperoleh secara aklamasi pada forum Kongres Luar Biasa (KLB) di Hotel Inna Beach, Denpasar, Bali pada Sabtu (30/3/2013). Dengan demikian, dalam jangka beberapa tahun ke depan SBY akan memimpin demokrat beserta kader-kader bawahannya. Mengawal partai berkompetisi dalam arena percaturan politik untuk memegangi tampuk kekuasaan tertinggi dalam negeri. Karenanya, menarik kita tunggu langkah-langkah progresif seperti apa yang akan diperlihatkan SBY untuk mengembalikan elektabilitas partai PD yang selama ini menunjukkan penurunan angka.

Terpilihnya kembali SBY sebagai Ketum Demokrat tentu saja membawa angin segar, utamanya bagi kader-kader partai yang dikenal memiliki hubungan lengket dengan konsep dan haluan politiknya. Sebaliknya, sebagian kader yang mempunyai ikatan bathin dengan Anas merasa kecewa, lantaran forum penetapan SBY sebagai Ketum dipandang kurang demokratis, tidak melibatkan elemen partai secara menyeluruh. Bahkan beberapa loyalis anas melakukan perlawanan, Tri Indrianto misalnya. Mantan Ketua DPC Partai Demokrat Cilacap tersebut saat ini tengah mempersiapkan kongres luar biasa (KLB) tandingan. Kongres yang sengaja dibuat untuk menandingi kongres Partai Demokrat Bali yang menunjuk Susilo Bambang Yudhoyono menjadi ketua umum.

Terlepas dari adanya sikap perlawanan kelompok loyalis Anas, kehadiran kembali SBY kembali di kursi Ketum menimbulkan semangat baru dalam diri kader dan pengurus partai untuk melanjutkan perjuangan menuju pemilu 2014 mendatang. Melihat kondisi partai yang berada pada jurang degradasi berdasarkan hasil survei nasional, maka bukan merupakan tugas ringan bagi SBY untuk mengangkat kembali nama besar partai seperti pada pemilu-pemilu sedia kala. Apalagi kita tahu, dalam beberapa tahun ini keberadaan Partai Demokrat sebagai partai penguasa kerapkali dirundung berbagai petaka terkait dengan perilaku nakal para kadernya. Karenya, tugas SBY selaku pemangku jabatan Ketum bukan saja sebatas pada komunikasi politik dalam diri partai, melainkan turut pula harus membenahi manajemen proses rekrutmen politik agar ke depannya politisi usungannya tidak jadi bulan-bulanan media.

Apresiasi atas tertunjuknya SBY sebagai Ketum PD banyak berdatangan dari berbagai pihak. Tidak hanya itu, kalangan internal partai melihat SBY adalah satu-satunya sosok juru penyelamat partai yang saat ini mengalami pesakitan. Sebagaimana diungkapkan oleh Ajeng Ratna Sumirat selaku Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Menurut Ratna, dengan keputusan aklamsi ini, diharapkan integritas partai tetap terpadu dalam satu ikatan, tidak terpecah belah dalam faksi-faksi sebagaimana ramai diberitakan kalangan media.

Penetapana diri SBY sebagai Ketum PD menyisakan cerita baru perihal statusnya sebagai Presiden. Antara Ketum dan Presiden merupakan status formal yang kental dengan muatan tugas dan kewajiban. Menjadi pemimpin sebuah Parpol bukan merupakan satu pekerjaan mudah yang sedikit menyita waktu. Terlebih Pemilu 2014 sudah hampir tiba. Mau tidak mau seoranng Ketum partai harus menyiapkan agenda politik sematang mungkin. Berpikir keras, dan memutar otak bagaimana peranan politik parpolnya bisa mendominasi kompetisi, tidak hanya sebatas numpang lewat atau jadi penonton semata. Dengan begitu, maka keberanian SBY melakukan ‘poligami’ jabatan patut dipersoalkan dan dipertanyakan. Meski pada nyatanya dirinya sudah mengangkat ketua harian sebagai sosok bayangan yang dapat menjalankan segala agenda kepemimpinan dirinya.

Begitu peka sikap SBY terhadap masa depan partainya sehingga menyempatkan diri diri menengok, bahkan turut turun tangan melibatkan diri, membangun kembali kebesaran partai seperti saat kepemimpinannya pada beberapa tahun lalu. Sikap yang demikian jauh tidak berbanding lurus dengan status dirinya sepanjang menjabat presiden. Setiap kali ada problem sosial perihal krisis dan gejolak ditengah-tengah lingkup masyarakat, sulit sekali menemukan peran nyatanya. Memperlihatkan sikap empati, dan turun langsung menyantuni rakyat. Yang paling rentan kita dapati hanya sebatas pada ceramah, imbauan, curhat, atau paling mentok adalah pengematan saja. Itu pun hanya melalui layar kaca media. “Saya mengamati, saya memperhatikan, saya mengikuti perkembangan melalui media dan televisi”, sedikit banyak seperti itulah bahasa SBY ketika pamer diri di depan muka umum. Nah, kalo cuma sebatas mengamati dan memperhatikan terus , lantas  kapan turun tangannya Bung?

Sebagai pengamat kecil-kecilan, saya pribadi merasa khawatir atas beberapa kemungkinan adanya disfungsi status perihal ‘poligami’ jabatan yang disandang SBY. Apalagi kita tahu, kondisi bangsa kita saat ini betul-betul berada pada posisi genting. Banyak problem menerpa, mulai dari kian akutnya kesenjangan sosial hingga pada membahananya bencana alam yang mengguncang penjuru negeri. Longsor, keterbatasan pangan, kemiskinan, kriminalitas, maraknya pelecahan seksual, hingga pada labillitas internal kenegaraan. Seperti halnya sikap anarkis massa yang kemaren membakar gedung pemerintahan di Palopo. Serta perilaku bejat aparat penegak hukum yang melakukan pemerkosaan terhadap tahanan perempuan di Polres Poso. Ini semua hanya segelintir bukti kecil bagaimana persoalan kebangsaan negeri kita begitu kompleks. Sampai disini, lantas dimana hati nurani dan logika seorang presiden berada? Ko’ masih sempatnya mengurusi partai! mungkinkah bagi bung SBY urusan partai lebih penting ketimbang urusan bangsa-negara? allahu a’lam.

Nampaknya jiwa patriot kepartaian SBY mengalahkan segala-galanya, hingga negara sekalipun rela ia selingkuhi. Publik kecewa sudah pasti iya, tapi semoga saja SBY bisa proporsional membagi tugas, dan adil memperlakukan rangkap jabatan secara bijak dan profesional. Akhirnya, marilah kita doakan bersama semoga saja ‘poligami’ jabatan yang dilakukan SBY tidak menyurutkan semangat kebangsaan dirinya, sehingga rakyat tidak lagi dianak tirikan, apalagi ditelantarkan. Amen! (*)

Penulis: Anggota Tim Riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu  Budaya Universitas Trunojoyo Madura.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/