Oleh: Zulher
Penjajahan memang menyakitkan. Tapi, ternyata, dalam segudang “penindasan” penjajahan Belanda, terdapat “kado indah” yang mereka sisakan tanpa sengaja. “Kado” itu adalah tanaman kelapa sawit yang kini menjadi tulang punggung ekonomi sebagian petani perkebunan di Indonesia.
Termasuk Provinsi Riau. Berawal ditanamnya empat bibit kelapa sawit asal Bourbon (Mauritius) dan Amsterdam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848, menjadi cikal-bakal perkembangan perkebunan kelapa sawit di negara ini. Empat bibit tersebut merupakan nenek moyang seluruh tanaman kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia.
Sisa benih yang ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara, pada tahun 1870-an, berujung pada budidaya tanaman kelapa sawit dengan pengembangan secara komersial untuk industri pada tahun 1911 di Sungai Liput (Aceh) dan Pulau Radja (Asahan).
Di zaman pendudukan Belanda, sekitar tahun 1940, dua daerah tersebut sempat menjadi daerah pemasok utama minyak sawit dunia. Tapi, berbagai kekacauan di masa pendudukan Jepang, menyebabkan terbengkalainya pemeliharan kebun sawit yang mengakibatkan penurunan produksi secara drastis.Pemasok utama minyak sawit dunia pun diambil alih Malaysia karena perkebunannya sudah berkembang dengan baik.
Berkembangnya perkebunan sawit di dunia bersamaan dengan meningkatnya permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Hingga akhir tahun 1980-an, perkebunan kelapa sawit yang hanya diusahakan sebagai usaha perkebunan besar dan keragaan di Indonesia, tidak menunjukkan perkembangan signifikan. Tidak menunjukkan perkembangan berarti.
Pada tahun 1982, budidaya kelapa sawit mulai dikembangkan di Provinsi Riau dengan pola pembangunan perkebunan kemitraan antara perkebunan besar negara/swasta sebagai perusahaan/perkebunan inti dengan masyarakat sebagai plasma. Polanya dikenal sebagai pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR).
Di era 1990-an, masyarakat secara swadaya mulai mengusahakan budidaya tanaman kelapa sawit. Kini, perkebunan kelapa sawit masyarakat dan plasma di Provinsi Riau mencapai luasan 53,14 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di daerah ini. Sedangkan perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta, masing-masing menguasai 3,78 persen dan 43,08 persen.
Berdasarkan Peraturan Daerah Riau Nomor 10 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau, dari jumlah arahan penggunaan lahan seluas 3.300.767,5 hektare untuk perkebunan, komoditi kelapa sawit merupakan yang terluas; yaitu sebesar 2.103.174 hektare (63,72 persen). Sedangkan kondisi eksisting penggunaan lahan perkebunan hingga akhir 2010 tercatat seluas 3.244.144 hektare untuk pengembangan 13 (tiga belas) komoditi perkebunan.
Dengan kata lain, dari seluruh ketersediaan areal untuk perkebunan, kelapa sawit ternyata menjadi “primadona” usaha perkebunan di daerah ini. Riau pun menjadi kawasan terluas perkebunan kelapa sawitnya dibanding provinsi lainnya Indonesia.
Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, data ekspor Indonesia untuk produktivitas kelapa sawit mencapai 20,4 juta ton dan menempati ranking satu dunia, dengan share sebesar 74 persen.
Data itu menunjukan prestasi yang luar biasa dalam perkebunan kelapa sawit di negara ini. Hanya saja, memang masih disayangkan bila yang diekspor masih berwujud produk hulu dalam berbentuk Crude Palm Oil (CPO). Padahal, andai saja dari negara ini bisa terekspor gliserinya, surfaktanya, atau produk hilir lainnya, tentu nilai ekonomis kelapa sawit lebih menguntungkan berpuluh kali lipat dibanding bila hanya sekadar mengekspor CPO.
Bila hanya sebatas ekspor CPO, harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani akan tetap menjadi korban imbas langsung dengan ketetapan harga yang ditentukan sistem pasar luar negeri. Sejauh ini, kita hanya bisa menetapkan harga TBS yang disesuaikan dengan daya beli luar negeri terhadap CPO.
Naasnya, gangguan harga CPO Indonesia diperparah berbagai isu negatif tentang kelapa sawit Indonesia di luar negeri. Termasuk isu miring tentang lingkungan. Padahal, seperti dimafhum, luar negeri sangat sensitif terhadap isu-isu lingkungan. Disinyalir, berbagai upaya memojokkan pasar CPO Indonesia merupakan di antara bagian strategi persaingan bisnis minyak nabati internasional. Kata lainnya; yang terjadi adalah “perang perdagangan” sawit level internasional.
Beberapa bulan lalu, Amerika Serikat (AS) —negeri penghasil minyak bunga matahari, kedelai, dan jagung— malah memasukkan minyak sawit asal Indonesia dan Malaysia ke dalam daftar hitam mereka. Hal tersebut mengindikasi terjadinya persaingan bisnis internasional minyak nabati yang sangat ketat. Sejauh ini, CPO memang lebih kompetitif dibanding minyak kedelai, rapeseed (biji-bijian) dan minyak bunga matahari.
Sebagai perbandingan, produktivitas CPO mampu mencapai 4 sampai 5 juta ton per hektare per tahun. Sedangkan minyak kedelai hanya 0,38 ton per hektare, dan minyak bunga matahari produktivitas rata-ratanya 0,48 ton per hektare. Untuk cost produksi pun, pengolahan CPO jauh lebih murah dibanding minyak nabati lainnya.
Tentu, bukan bermaksud mengalah dari “perang perdagangan” internasional, jika berbagai upaya untuk mewujudkan percepatan industri hilir dalam negeri terus dilakukan. Eksistensi industri hilir dalam negeri, jelas akan membuat kita lebih “merdeka” dalam menentukan harga kelapa sawit.
Dampak akhirnya, perdagangan internasional khususnya dari produk-produk turunan CPO akan lebih terkuasai. Kita akan lebih berjaya di pasar internasional ketika yang diekspor sudah berwujud barang jadi. Tidak lagi CPO.
Pengolahan kelapa sawit pada dasarnya merupakan proses terhadap TBS menjadi CPO dan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO). Dua jenis minyak tersebut banyak digunakan sebagai bahan industri pangan (minyak goreng dan margarin), industri sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik, dan sebagai bahan bakar alternatif (biodisel).
CPO juga dapat diolah menjadi bahan kimia, seperti methyl ester, asam lemak (fatty acid) dan gliserin (glycerine). Sedangkan turunan produk CPO pada industri oleokimia, antara lain berupa fatty acids, fatty alcohol dan glycerin, dan biodiesel. Maka, teramat sangat wajar, jika berbagai upaya untuk “meninggalkan” ketergantungan kepada produk luar negeri —dari produk turunan CPO— terus dilakukan pemerintah.
Sejauh ini, sangat disadari, bahwa dalam konteks ekspor CPO, kelapa sawit kita tidak terlalu menguntungkan bila dibandingkan dengan bias mengekspor produk jadi dari turunan CPO. Bukan mimpi, saya kira, jika untuk mewujudkan terciptanya berbagai industri hilir turunan CPO dimulai dari Provinsi Riau; negeri Lancang Kuning dengan luasan perkebunan kelapa sawit nomor wahid di Indonesia.
Besar harapan, hal demikian dapat mulai direalisasikan oleh perusahaan-perusahaan besar (termasuk holding company) yang areal perkebunannya melebihi 50 ribu hektare. Sungguh, upaya perwujudan itu merupakan bagian “perjuangan” dalam menjaga “wajah” bangsa —khususnya bidang ekspor minyak nabati— di kancah internasional agar terbebas dari “intervensi harga” oleh asing. Dampak langsungnya adalah, tentu saja kestabilan harga kelapa sawit di dalam negeri.
Mari, bersama kita dorong terwujudnya percepatan berbagai industri hilir turunan CPO di negara ini. Imbas ekonomis jika bebas dari intervensi asing soal harga adalah peningkatan keuntungan perusahaan industri hilir perkebunan yang seiring dengan signifikannya peningkatan kesejahteraan petani kelapa sawit.
Saya membayangkan, di suatu hari nanti, ketika industri hilir kelapa sawit terwujud secara utuh dan menyeluruh, 240-an juta rakyat Indonesia akan sangat menikmati murahnya harga-harga produk kebutuhan pokok —dari hasil turunan CPO— yang ada di pasaran.
Tentang penetapan harga, memang kita harus lebih “merdeka”. Toh, bukankah, CPO-nya dari Indonesia. Sawitnya milik perusahaan dan para petani sektor perkebunan Indonesia. Maka, sebenarnyalah; perkebunan itu memang untuk kesejahteraan rakyat. Dalam semangat kebersamaan komponen-komponen bangsa, harapan itu Insya Allah akan dapat diwujudkan. (*)
Zulher, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau