Di ruang-ruang sidang pengadilan, di tempat para pelaku kejahatan menunggu vonis hukuman dari hakim, kita bisa menyaksikan paradoksnya manusia. Para tersangka, orang-orang yang secara hukum melakukan pelanggaran—merampok, mencuri, korupsi, membunuh, memerkosa—selalu tampil saleh.
Oleh:
Budi Hatees
Pertengahan 2009 lalu, di ruang sidang Pengadilan Negeri Tanjungkarang, seorang laki-laki bertubuh gendut duduk di kursi terdakwa dengan penampilan yang sangat saleh. Mengenakan topi haji, baju koko, kain sarung motif kotak-kotak, dan jemarinya menggenggam tasbih. Selama mengikuti persidangan, mulutnya bergetar entah menguntai asma Allah, sementara jemarinya yang gemuk menera sebiji demi sebiji tasbih dari pohon koka.
Ia lebih tampak seperti seseorang yang hendak menunaikan ibadah salat Jumat atau lebih mirip seperti seorang dai yang hendak memberikan tausyiyah. Sama sekali tidak ada kesan bahwa ia seorang tersangka kasus korupsi dana APBD Kabupaten Lampung Timur tahun anggaran 2007.
Namanya Satono. Haji Satono. Bupati Lampung Timur itu didakwa melakukan korupsi dana APBD Lampung Timur 2007. Tapi, setelah proses penyidikan, penyelidikan, dan persidangan yang panjang dan melelahnya banyak pihak, ia kemudian dinyatakan bebas dari segala tuduhan. Masyarakat Kabupaten Lampung Timur, yang merasa dirugikan karena korupsi itu menyebabkan krisis anggaran belanja daerah berkepanjangan, tidak terima keputusan bebas itu. Tentu, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, dan Satono bisa menghirup udara bebas sebagai mantan tersangka kasus korupsi.
Akhir-akhir ini Satono sering tersenyum ketika banyak kalangan mengait-kaitkan namanya sebagai orang yang bisa menuai kemenangan jika mencalonkan diri dalam Pilkada Gubernur Lampung yang akan segera digelar. Sangat mungkin ia akan menjadi Gubernur Lampung, mengingat keandalannya dalam memenangi Pilkada Lampung Timur pada saat dirinya dinyatakan sebagai tersangka.
Ketika berstatus tersangka, ia bisa memenangi Pilkada Lampung Timur. Setelah dilantik Gubernur Lampung Sjachroedin ZP sebagai Bupati Lampung Timur, barulah kejaksaan menggelar persidangan kasus korupsi yang mendudukkan Satono sebagai tersangka. Ajaibnya, Satono tidak terbukti melakukan korupsi, padahal sebagai Bupati Lampung Timur seharusnya ia bertanggung jawab atas mengalirnya dana APBD dari kas pemerintah di Bank Lampung ke rekening di BPR Tripanca. BPR Tripanca ditutup oleh Bank Indonesia (BI) Lampung karena mengalami masalah likuidasi, yang menyebabkan dana APBD Lampung Timur tidaki bisa dicairkan.
***
Adakah penampilan Satono yang saleh berkorelasi dengan putusan bebas pengadilan? Mungkin saja ada korelasinya. Mungkin saja tidak sama sekali. Yang jelas, mereka yang dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus berbagai tindak pidana di negeri ini; yang didudukkan di kursi pesakitan dalam sebuah proses persidangan, selalu saja tampil saleh. Seorang pemerkosa, penipu yang sudah berkali-kali keluar-masuk penjara, atau pembunuh yang suka memutilasi korbannya—tidak perduli latar belakang sosial, kultur, agama, ekonomi, dan politiknya—pasti akan tampil saleh menggunakan simbol-simbol kesalehan dari lingkungan umat Islam jika duduk di kursi terdakwa.
Kita tak pernah tahu kenapa para tersangka harus memakai simbol-simbol agama Islam. Adakah mereka hendak membangun semacam stigma bahwa ummat Islam adalah entitas yang selalu akan menjadi tersangka. Ataukah, hanya simbol-simbol dari lingkungan ummat Islam itu yang paling mewakili kesalehan di negeri ini?
Tapi, apakah sebuah keharuskan untuk tampil saleh sekalipun Anda sesungguh bukan orang yang saleh?
“Anda sama sekali tak perlu tampil saleh,” kata John J. O’Connor, Uskup Agung di New York, yang berceramah di televisi dengan mengenakan topi bisbol dan melontarkan lelucon-lelucon yang menggelitik, termasuk mencemooh pejabat pemerintah yang hadir mendengarkan ceramahnya. Kalimat O’Connor dikutif Neil Postman dalam bukunya, Amusing Ourselves to Death (1985).
Tentu, konteks pembicaraan Postman bukanlah penampilan saleh para tersangka tindak pidana di Indonesia. Postman sedang membicarakan dakwah-dakwah agama di era budaya televisi. Satu hal yang ditegaskan Postman, budaya televisi menuntut siapa saja untuk menyuguhkan sebuah pertunjukan, sebuah entetaint, sekalipun yang disampaikan adalah hal-hal yang serius seperti firman-firman dalam kitab suci berbagai agama.
Postman berbicara tentang strategi menyampaikan pesan yang tidak cuma harus disesuaikan dengan segmentasi komunikan, tetapi juga harus memahami jenis medium yang dipergunakan. Dengan medium televisi, yang dalam perkembangannya saat ini cenderung diposisikan sebagai medium entertaint, maka pesan harus dirancang sedemikian rupa sebagai bagian dari dunia entetaint. Dan, seorang ulama saat memberikan tausiyah, tak perlu harus serius sekalipun pesan yang disampaikannya bukanlah hal-hal yang remeh.
Lantas, kenapa untuk sesuatu yang tak ada kaitannya dengan kesalehan—sebaliknya justru bertentangan dengan sikap saleh— justru harus tampak saleh?
**
Mau tak mau kita pasti berpikir tentang kamuflase. Tersangka sengaja tampak saleh hanya untuk membangun kesan yang bertolak belakang dengan tuduhan yang dialamatkan pada dirinya. Kesan yang diharapkan dapat mengubah persepsi orang lain, terutama para jaksa penuntut dan hakim, yang orientasinya untuk mengurangi maksimal hukuman yang didakwakan padanya.
Bukankah vonis yang dijatuhkan terhadap tersangka sangat kuat dipengaruhi oleh subyektivitas? Pasal-pasal dalam Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), misalnya, sekalipun menyebut jumlah maksimal angka dakwaan hukuman, tetapi subyektivitas manusia yang terlibat dalam proses penentuan maksimal tuntutan sangat besar. Salah satunya didukung variabel “bersikap baik selama persidangan”. Salah satu indikator variabel ini, bisa saja penampilan si tersangka yang terlihat saleh.
Belum lagi jika yang dipergunakan kitab undang-undang di luar KUHAP, seperti, UU Tindak Pidana Korupsi. UU di luar KUHAP acap membuat para penegak hukum sangat kikuk, terutama dalam penyusunan berkas acara pemeriksaan (BAP). Bukan hal aneh apabila pasal-pasal yang disangkakan penyidik di kejaksaan maupun polisi terhadap tersangka korupsi, sebagian besar justru mengacu pada pasal-pasal dalam KUHAP. Pasal-pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi nyaris tidak digubris dalam menjerat tersangka korupsi, apalagi jika dana yang diduga dikorupsi itu bukan uang negara.
Dalam kasus Muhammad Nazaruddin, sesungguhnya uang yang dikorupsi bukankah uang negara sekalipun berkaitan dengan dana APBN dalam membangun proyek Wisma Atlet SEA Games. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi, uang yang dikorupsi haruslah uang negara. Akibatnya bisa ditebak, karena pada tingkat penetapan pasal sekaligus penetapan UU yang harus dipakai, subyektivitas manusia selaku penegak hukum sangat mempengaruhi.
Sebab itu, terhadap upaya para tersangka untuk selalu tampil saleh saat persidangan, kita bisa menyebutnya sebagai upaya untuk mempengaruhi penilaian para penegak hukum untuk mengurangi maksimal angka hukuman. Maka, jika Anda seorang tersangka, usahakanlah untuk selalu tampil saleh terutama jika Anda tidak menganut agama apapun.(*)
Penulis adalah Peneliti di Matakata Institute