26 C
Medan
Sunday, October 6, 2024

Menyelamatkan Pendidikan Indonesia

Oleh:Jhon Rivel Purba

Meskipun era reformasi sudah berjalan hampir 14 tahun, namun perahu bangsa Indonesia tetap terombang-ambing di atas gelombang persoalan. Mulai dari persoalan korupsi, kemiskinan, pengangguran, tindak kekerasan, kerusakan lingkungan, dan ketergantungan pada asing.

Sesungguhnya persoalan itu semakin berkembang biak ketika negara tidak memiliki visi yang jelas, pemimpin yang tegas, dan masyarakat yang cerdas. Sehingga bangsa ini dikendalikan oleh arus globalisasi.

Perlu ditekankan, hanya Indonesia-lah yang bisa menyelamatkan dirinya. Bukan Amerika Serikat, Jepang, China, Singapura, atau bangsa mana pun. Agar Indonesia bisa menyelamatkan dirinya, maka mau tak mau bangsa ini harus berkualitas, mandiri, beradab, dan berdaya saing tinggi. Untuk bisa mencapai itu, maka pendidikan adalah satu-satunya jurus selamat.

Bercermin dari negara seperti Jepang dan Malaysia, mereka menempatkan pendidikan sebagai fondasi membangun bangsa. Kita lihat, Jepang yang dulunya pada perang dunia II mengalami kehancuran akhirnya bisa bangkit menjadi macan Asia karena komitmennya membangun pendidikan. Atau Malaysia, negara tetangga, yang pada 1980-an belajar dari Indonesia kini lebih maju dari pada Indonesia. Bagaimana dengan kita?

Di dalam pembukaan UUD 1945, ditegaskan bahwa salah satu tujuan kemerdekaan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Supaya cerdas, maka negara menjamin hak seluruh warganya untuk mengecap pendidikan tanpa memandang bulu atau pun status.
Dan untuk membiayai semua itu maka negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional (Pasal 31 ayat 4 UUD 1945).

Kenyataannya, dari data Depdiknas 2009,  sekitar 2,2 juta anak yang berusia 7-15 tahun tak bisa mengecap pendidikan di negeri ini. Sekitar 5,5 juta orang tak bersekolah untuk usia 16-18 tahun, dan sekitar 20,7 juta orang tak bisa mengecap pendidikan tinggi untuk usia 19-25 tahun. Dengan demikian, negara telah lalai memberikan hak-hak dasar (pendidikan) bagi warganya.

Tingginya jumlah anak yang tidak bisa mengecap pendidikan ini pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan dan mahalnya biaya pendidikan. Meskipun menurut badan pusat statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2011 adalah sekitar 30,02 juta orang, namun jumlah orang yang rentan dengan kemiskinan jauh lebih banyak lagi.

Jika mengacu pada Bank Dunia yang menetapkan batas garis kemiskinan adalah penduduk yang berpenghasilan di bawah 2 dolar AS per hari atau sekitar Rp 20.000, maka separuh penduduk Indonesia terbelenggu dalam kemiskinan. Mereka inilah yang kesulitan dalam mengecap pendidikan di tengah-tengah biaya yang semakin mahal.

Bagaimana tidak, sekolah-sekolah seakan-akan telah berubah menjadi lembaga penagih utang. Berbagai kutipan-kutipan dibebankan kepada masyarakat. Mulai dari iuran bulanan, uang masuk, uang pembangunan, uang buku, uang seragam, uang praktik, dan kutipan lainnya. Kutipan-kutipan ini biasanya menjadi-jadi menjelang tahun ajaran baru.

Di sisi lain, terjadi kastanisasi dan diskriminasi pendidikan. Dimana hadir sekolah-sekolah elite seperti sekolah bertaraf internasional (SBI) dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) sebagai kasta istimewa dengan biaya pendidikan yang sangat mahal. Secara otomatis, orang miskin tak akan bisa menanggung biaya sebesar ini.

Dengan mengatasnamakan demi kualitas dan mencerdaskan bangsa, pemerintah memberi dukungan penuh terhadap RSBI dan SBI. Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang mengatur bahwa pemerintah ataupun pemerintah daerah dapat menyelenggarakan satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, dijadikan sebagai kran pembuka RSBI dan SBI.

Namun dalam praktiknya, kehadiran sekolah kasta atas ini menghadirkan persoalan baru, yakni: menutup ruang bagi si miskin karena biaya pendidikannya  tinggi, penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar berpotensi menghilangkan jati diri bangsa, dan membuka ruang bagi pemilik modal asing untuk memasarkan jasanya dalam pendidikan Indonesia.

Lembaga pendidikan tinggi lebih parah lagi. Hal ini ditandai dengan adanya upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam lembaga pendidikan tinggi khususnya pergurun tinggi negeri (PTN) yang dibungkus dalam otonomi pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan diserahkan pada pasar.

Proses otonomi pendidikan di lembaga pendidikan tinggi dimulai dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan. Dilanjutkan lagi dengan PP Nomor 152-155 Tahun 2000 tentang pembentukan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) yakni Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut Teknik Bandung (ITB), Univeritas Airlangga (Unair), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Sumatera Utara (USU).

Dalam menyelenggarakan pendidikan, ketujuh PT BHMN ini mencari dana dengan mendirikan badan usaha, kerja sama dengan pemilik modal, membuka jalur penerimaan mahasisa dengan pungutan mahal, menaikkan uang kuliah, dan komersialisasi fasilitas kampus. Otonomi pendidikan ini kemudian diikuti oleh PTN lainnya dengan dasar Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang disahkan pada 17 Desember 2008.

Meskipun pada akhirnya UU ini dicabut pada 31 Maret 2010 lalu oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun semangat otonomi pendidikan tetap berlanjut hingga sekarang. Bahkan kini Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) dikhawatirkan tetap melanjutkan roh UU BHP.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa arah pembangunan pendidikan kita tidak jelas atau bertentangan dengan semangat konstitusi. Ketika pendidikan diserahkan pada pasar dengan logika laba, maka arah pendidikan berubah menjadi demi kepentingan pasar, dan yang miskin akan tergilas oleh pasar.

Anggaran pendidikan selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya, tetapi biaya pendidikan justru semakin mahal. Tahun 2012 ini saja anggaran pendidikan sebesar Rp. 64,35 triliun. Saya pikir jika anggaran itu digunakan secara tepat guna, tepat sasaran, dan tepat waktu, maka anak Indonesia bisa mengecapkan pendidikan minimal 12 tahun. Persoalannya di lapangan, anggaran ini sering “disunat” dari pusat hingga ke sekolah-sekolah, dan penggunaannya tidak tepat sasaran.

Kita prihatin di saat anggaran pendidikan mengalami kenaikan, tetapi masih banyak sekolah-sekolah di daerah pinggiran dan daerah pedalaman yang kurang mendapat perhatian. Di daerah-daerah terpencil, angka kekurangan guru mencapai 60 persen. Di daerah perbatasan, pembangunan pendidikan belum menjadi fondasi membangun (nasionalisme) masyarakat.

Menyelamatkan Indonesia
Untuk menyelamatkan Indonesia, pendidikan yang membebaskan merupakan jalan satu-satunya. Agar bangsa ini bisa menjadi bangsa berkualitas, mandiri, bermartabat, dan berdaya saing tinggi, maka arah penyelenggaraan pendidikan harus berorientasi pada kepentingan bangsa. Harapan Ki Hadjar Dewantara agar pendidikan bisa menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia merdeka, harus dilanjutkan. Supaya Indonesia merdeka dari belenggu penjajahan, korupsi, kekerasan, kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan ketidakberdayaan.

Oleh sebab itu, pemerintah (pusat dan daerah) dan semua pihak hendaknya kembali pada semangat awal kemerdekaan yang tertuang dalam konstitusi. Pendidikan adalah alat untuk menjawab persoalan bangsa. Pendidikan merupakan media pembebasan untuk memanusiakan manusia. Dan semua warga negara Indonesia berhak mengecap pendidikan yang bermutu dan membebaskan. Kiranya semangat ini bisa dituangkan dalam kebijakan pendidikan yang jelas, terarah, dan strategis demi kepentingan bangsa. (*)

Penulis adalah alumni ilmu sejarah USU, dan aktif di Komunitas Payung Intelektual

Oleh:Jhon Rivel Purba

Meskipun era reformasi sudah berjalan hampir 14 tahun, namun perahu bangsa Indonesia tetap terombang-ambing di atas gelombang persoalan. Mulai dari persoalan korupsi, kemiskinan, pengangguran, tindak kekerasan, kerusakan lingkungan, dan ketergantungan pada asing.

Sesungguhnya persoalan itu semakin berkembang biak ketika negara tidak memiliki visi yang jelas, pemimpin yang tegas, dan masyarakat yang cerdas. Sehingga bangsa ini dikendalikan oleh arus globalisasi.

Perlu ditekankan, hanya Indonesia-lah yang bisa menyelamatkan dirinya. Bukan Amerika Serikat, Jepang, China, Singapura, atau bangsa mana pun. Agar Indonesia bisa menyelamatkan dirinya, maka mau tak mau bangsa ini harus berkualitas, mandiri, beradab, dan berdaya saing tinggi. Untuk bisa mencapai itu, maka pendidikan adalah satu-satunya jurus selamat.

Bercermin dari negara seperti Jepang dan Malaysia, mereka menempatkan pendidikan sebagai fondasi membangun bangsa. Kita lihat, Jepang yang dulunya pada perang dunia II mengalami kehancuran akhirnya bisa bangkit menjadi macan Asia karena komitmennya membangun pendidikan. Atau Malaysia, negara tetangga, yang pada 1980-an belajar dari Indonesia kini lebih maju dari pada Indonesia. Bagaimana dengan kita?

Di dalam pembukaan UUD 1945, ditegaskan bahwa salah satu tujuan kemerdekaan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Supaya cerdas, maka negara menjamin hak seluruh warganya untuk mengecap pendidikan tanpa memandang bulu atau pun status.
Dan untuk membiayai semua itu maka negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional (Pasal 31 ayat 4 UUD 1945).

Kenyataannya, dari data Depdiknas 2009,  sekitar 2,2 juta anak yang berusia 7-15 tahun tak bisa mengecap pendidikan di negeri ini. Sekitar 5,5 juta orang tak bersekolah untuk usia 16-18 tahun, dan sekitar 20,7 juta orang tak bisa mengecap pendidikan tinggi untuk usia 19-25 tahun. Dengan demikian, negara telah lalai memberikan hak-hak dasar (pendidikan) bagi warganya.

Tingginya jumlah anak yang tidak bisa mengecap pendidikan ini pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan dan mahalnya biaya pendidikan. Meskipun menurut badan pusat statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2011 adalah sekitar 30,02 juta orang, namun jumlah orang yang rentan dengan kemiskinan jauh lebih banyak lagi.

Jika mengacu pada Bank Dunia yang menetapkan batas garis kemiskinan adalah penduduk yang berpenghasilan di bawah 2 dolar AS per hari atau sekitar Rp 20.000, maka separuh penduduk Indonesia terbelenggu dalam kemiskinan. Mereka inilah yang kesulitan dalam mengecap pendidikan di tengah-tengah biaya yang semakin mahal.

Bagaimana tidak, sekolah-sekolah seakan-akan telah berubah menjadi lembaga penagih utang. Berbagai kutipan-kutipan dibebankan kepada masyarakat. Mulai dari iuran bulanan, uang masuk, uang pembangunan, uang buku, uang seragam, uang praktik, dan kutipan lainnya. Kutipan-kutipan ini biasanya menjadi-jadi menjelang tahun ajaran baru.

Di sisi lain, terjadi kastanisasi dan diskriminasi pendidikan. Dimana hadir sekolah-sekolah elite seperti sekolah bertaraf internasional (SBI) dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) sebagai kasta istimewa dengan biaya pendidikan yang sangat mahal. Secara otomatis, orang miskin tak akan bisa menanggung biaya sebesar ini.

Dengan mengatasnamakan demi kualitas dan mencerdaskan bangsa, pemerintah memberi dukungan penuh terhadap RSBI dan SBI. Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang mengatur bahwa pemerintah ataupun pemerintah daerah dapat menyelenggarakan satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, dijadikan sebagai kran pembuka RSBI dan SBI.

Namun dalam praktiknya, kehadiran sekolah kasta atas ini menghadirkan persoalan baru, yakni: menutup ruang bagi si miskin karena biaya pendidikannya  tinggi, penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar berpotensi menghilangkan jati diri bangsa, dan membuka ruang bagi pemilik modal asing untuk memasarkan jasanya dalam pendidikan Indonesia.

Lembaga pendidikan tinggi lebih parah lagi. Hal ini ditandai dengan adanya upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam lembaga pendidikan tinggi khususnya pergurun tinggi negeri (PTN) yang dibungkus dalam otonomi pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan diserahkan pada pasar.

Proses otonomi pendidikan di lembaga pendidikan tinggi dimulai dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan. Dilanjutkan lagi dengan PP Nomor 152-155 Tahun 2000 tentang pembentukan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) yakni Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut Teknik Bandung (ITB), Univeritas Airlangga (Unair), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Sumatera Utara (USU).

Dalam menyelenggarakan pendidikan, ketujuh PT BHMN ini mencari dana dengan mendirikan badan usaha, kerja sama dengan pemilik modal, membuka jalur penerimaan mahasisa dengan pungutan mahal, menaikkan uang kuliah, dan komersialisasi fasilitas kampus. Otonomi pendidikan ini kemudian diikuti oleh PTN lainnya dengan dasar Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang disahkan pada 17 Desember 2008.

Meskipun pada akhirnya UU ini dicabut pada 31 Maret 2010 lalu oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun semangat otonomi pendidikan tetap berlanjut hingga sekarang. Bahkan kini Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) dikhawatirkan tetap melanjutkan roh UU BHP.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa arah pembangunan pendidikan kita tidak jelas atau bertentangan dengan semangat konstitusi. Ketika pendidikan diserahkan pada pasar dengan logika laba, maka arah pendidikan berubah menjadi demi kepentingan pasar, dan yang miskin akan tergilas oleh pasar.

Anggaran pendidikan selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya, tetapi biaya pendidikan justru semakin mahal. Tahun 2012 ini saja anggaran pendidikan sebesar Rp. 64,35 triliun. Saya pikir jika anggaran itu digunakan secara tepat guna, tepat sasaran, dan tepat waktu, maka anak Indonesia bisa mengecapkan pendidikan minimal 12 tahun. Persoalannya di lapangan, anggaran ini sering “disunat” dari pusat hingga ke sekolah-sekolah, dan penggunaannya tidak tepat sasaran.

Kita prihatin di saat anggaran pendidikan mengalami kenaikan, tetapi masih banyak sekolah-sekolah di daerah pinggiran dan daerah pedalaman yang kurang mendapat perhatian. Di daerah-daerah terpencil, angka kekurangan guru mencapai 60 persen. Di daerah perbatasan, pembangunan pendidikan belum menjadi fondasi membangun (nasionalisme) masyarakat.

Menyelamatkan Indonesia
Untuk menyelamatkan Indonesia, pendidikan yang membebaskan merupakan jalan satu-satunya. Agar bangsa ini bisa menjadi bangsa berkualitas, mandiri, bermartabat, dan berdaya saing tinggi, maka arah penyelenggaraan pendidikan harus berorientasi pada kepentingan bangsa. Harapan Ki Hadjar Dewantara agar pendidikan bisa menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia merdeka, harus dilanjutkan. Supaya Indonesia merdeka dari belenggu penjajahan, korupsi, kekerasan, kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan ketidakberdayaan.

Oleh sebab itu, pemerintah (pusat dan daerah) dan semua pihak hendaknya kembali pada semangat awal kemerdekaan yang tertuang dalam konstitusi. Pendidikan adalah alat untuk menjawab persoalan bangsa. Pendidikan merupakan media pembebasan untuk memanusiakan manusia. Dan semua warga negara Indonesia berhak mengecap pendidikan yang bermutu dan membebaskan. Kiranya semangat ini bisa dituangkan dalam kebijakan pendidikan yang jelas, terarah, dan strategis demi kepentingan bangsa. (*)

Penulis adalah alumni ilmu sejarah USU, dan aktif di Komunitas Payung Intelektual

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/