Oleh:Budi Hatees
Dia yang memakan nangka, orang lain ingin dibuat ikut bergetah. Kalimat itu dari pepatah lama yang diubah. Ini menjadi semacam diktum pada hari ini, dipakai masyarakat untuk merepresentasikan sosok Muhammad Nazaruddin.
Tersangka kasus dugaan korupsi dana pembangunan wisma atlet SEA Games itu, yang dikesankan berani dan seakan-akan ingin menjadi martir atas buruknya proses penegakan hukum di negeri ini, kini lebih tampak sebagai anggota kelompok yang tak bisa mendisiplinkan diri dan tak cakap merawat lidah.
Ia lebih mirip manusia zaman reformasi yang menderita euphoria untuk mengekspresikan diri, yang menganggap segala ucapannya sebagai manifestasi dari kemerdekaan berbicara karena dilindungi undang-undang dan Konvensi HAM PBB. Tapi lupa bahwa kekuasaan yang dilawannya memiliki cara yang berbeda pula dalam mengekspresikan diri.
Kekuasaan memiliki tangan tersembunyi di mana-mana, lebih mirip gurita dengan tentakel-tentakel yang tak terlihat, yang meraup dan mengkooptasi segala sesuatu tetapi seolah-olah tidak pernah ikut terlibat di dalamnya.
Kekuasaan semacam itu adalah kekuasaan dari orang-orang yang paham betul bahwa publisitas yang ditawarkan budaya media merupakan saluran besar untuk memasok informasi dan membuat Nazaruddin merasa di atas angin. Politisi Partai Demokrat itu merasa partai yang membesarkan namanya tak akan berkutik menghadapi dirinya. Ketika ia dalam pelarian, berkali-kali ia tunjukkan perlawanannya. Ia pun merasa tak akan ada yang berani melawannya. Perasaan seperti itu melenakan, kemudian membuatnya latah mendahului kekuasaan Tuhan.
Tapi, Nazaruddin tersentak manakala bekas anak buahnya, yang juga jadi tersangka dalam kasus yang sama, malah ikut mendeskriditkannya. Kuasa hukum Muhammad Nazaruddin, Rufinus Hutauruk mengatakan, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Wakil Direktur Keuangan PT Permai Group Yulianis direkayasa.
Berdasarkan kajian ilmiah tim pengacara, bukti rekayasa terlihat dari isi BAP yang menyudutkan Nazaruddin dengan menyebut mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu sebagai pemilik Permai Group dan juga pemeriksaan Yulianis yang dilakukan penyidik KPK di luar kantor KPK.
Bagi publik media, rangkaian informasi berkelanjutan terkait proses persidangan kasus korupsi wisma atlet SEA Games ini, semakin menjauh dari ending. Tafsir publik yang seragam dan sempat meyakini bahwa Muhamamd Nazaruddin akan menjadi martir, ternyata semakin menjauh dari apa yang mereka harapkan.
Sinetron berita itu sudah seperti sinetron yang ditayangkan stasiun-stasiun televisi, yang mendadak menghadirkan karakter-karakter baru untuk mengalihkan perhatian public dari persoalan yang dibawa karakter utama. Pesan yang sampai kepada public pemirsa bertambah banyak, berputar-putar tanpa arah yang jelas, berusaha menusuk ujung jarum epidermis komunikasi, tetapi justru sampai pada pemirsa sebagai pesan yang sudah terdistorsi.
Budaya media massa kita yang mencitrakan Nazaruddin sebagai sosok berani dan melawan partai politik pemegang kekuasaan negara, kini dicitrakan sebagai sosok pesakitan yang sakit hati, yang merasa dikhianati, yang tak terima jika dikorbankan sendirian. Nazaruddin menjadi sosok pelaku kejahatan yang ingin diakui bahwa kejahatan yang dilakukannya hanya bisa terjadi dalam sebuah ruang yang penuh konspirasi. Di dalam ruang konspirasi itu, ada otak yang menjadi penggerak, sedangkan Nazaruddin adalah salah satu tangan yang digerakkan.
Menariknya, para pekerja media tak pernah merasa terpanggil untuk menjadikan informasi yang diberikan Nazaruddin sebagai informasi awal dalam melakukan investigasi konprehensif. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu kerjanya di lingkungan sumber berita yang berpotensi mengubah segala sesuatunya sehingga Nazaruddin menjadi sosok “orang yang memakan nangka dan ingin orang lain ikut bergetah”.
Bagi publik pemirsa, Nazaruddin bukan lagi menjadi sosok yang perlu didukung karena keberaniannya, tetapi menjadi karakter yang sudah sangat umum dialami para pelaku tindak kejahatan.
Public sesungguhnya ingin agar Nazaruddin tidak hanya menjadi pengungkit batu, tetapi juga ikut memanen udang yang ada di bawah batu.
Kenyataannya, Nazaruddin hanya seorang pengungkit batu, sedangkan udang di bawah batu itu dinikmati orang lain yang memang bekerja keras untuk merontokkan citra Partai Demokrat. Sosok Nazaruddin tak lebih dari pengkhianat institusi yang telah membesarkannya, seperti mengulangi riwayat Komisaris Jenderal Susno Duaji yang dinilai merusak citra institusi Polri.
Tidak heran ketika Partai Demokrat menggelar pertemuan, media langsung menafsirkan bakal ada pembicaraan tentang penggantian Ketua Umum Anas Urbaningrum. Namanya banyak dicatut Nazaruddin sebagai “orang di belakang layar” sehingga membuat citra Partai Demokrat menjadi jatuh di mata publik.
Nyatanya, Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat Andi Mallarangeng usai pertemuan di kediaman pribadi Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas Indah, Selasa (24/1) malam, mengatakan dewan pembina hanya menyampaikan pandangan kepada SBY tentang berbagai langkah ke depan yang harus diambil oleh Partai Demokrat.
Keinginan masyarakat agar Nazaruddin melawan atau agar Anas Urbaningrum dipecat adalah harapan yang berhasil dibangun oleh media. Media memainkan salah satu fungsinya sebagai perumus realitas (definer of reality). Tiap hari media massa menayangkan sosok Nazaruddin yang melawan, berani dan condong nekad. Pernyataan-pernyataannya kontroversial seputar keterlibatan elite Partai Demokrat dan KPK senantiasa disiarulangkan oleh media massa dalam semangat memainkan fungsi media framming untuk memproduksi dan mereproduksi fakta seputar diri Nazaruddin.
Media framming bisa dilihat dalam perspektif konstruksionis. Berbeda dengan perspektif positivistik yang melihat suatu peristiwa sebagai fakta yang diberitakan apa adanya, perspektif konstruksionis melihat peristiwa sebagai fakta yang bisa diolah dan dikonstruksikan sesuai kepentingan media yang memberitakannya. Dalam kasus Nazaruddin jelas bahwa media berkepentingan baik bisnis korporasi media maupun kepentingan politik individu pengelola media.
Media massa mengkonstruksi realitas diri Nazaruddin. Maka, fakta tentang Nazaruddin bukan lagi hasil rangkaian realitas, melainkan representasi hasil seleksi dan konstruksi yang menjadi bagian pembentuk realitas. Secara perlahan, perlawanan Nazaruddin menyebabkan citra Partai Demokrat dan KPK pun menurun. Tentu, bukan tanpa alasan media massa memilih startegi seperti ini dalam menyiarkan informasi.
Masyarakat kita yang sedang hidup dalam budaya televise (televisualized). Mereka memiliki ketergantungan untuk mengonsumsi simbol-simbol dan gaya hidup yang diperkenalkan televise. Kondisi ini terjadi karena televisi sebagai media berhasil melakukan konstruksi realitas sosial.
Televisi menggiring masyarakat untuk menjadi pemirsa isi sajian media, yang pada dasarnya ditentukan oleh para para pengelola yang menguasai media penyiaran tersebut.
Isi sajian televisi selalu berproses dan mengalami perubahan sejalan kepentingan para pelaku yang terlibat di dalamnya.
Ketika pengelola menyajikan sosok Nazaruddin yang berani, melawan, nekad dan siap menjadi martir, bukan mustahil bahwa sesungguhnya mereka mengendalikan public pemirsa agar mepraktikkan perilaku sosial tertentu. Karena berita televisi, kemudian lahir kelompok yang berdaya kritis tinggi terhadap pemegang kekuasaan pemerintah Negara.
Terbentuk opini public yang negatif terhadap pemerintah, muncul sentimen, dan akhirnya masyarakat bersolider dan bersatu membentuk strtuktur untuk mengkritisi buruknya kemampuan pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Media massa telah mempengaruhi publik untuk memosisikan Nazaruddin sebagai entitas yang layak diharapkan membongkar borok di negeri ini. Solidaritas publik bertambah kuat karena mereka hidup di era yang menurut pakar komunikasi sosiolog Spanyol, Manuel Castells, disebut “galaksi internet”.
Galaksi internet ditandai kuatnya kesalingterhubungan (interconnectedness) publik dalam waktu kilat, tanpa batas ruang dan waktu. Sosok Nazaruddin yang dikonstruksi media mengundang public untuk mengintersepsi apa saja, lalu bersimpati, dan kemudian menggalang kekuatan melalui jejaring sosial.
Pemirsa yang satu dengan pemirsa lainnya langsung berinteraksi untuk membicarakan perihal Nazaruddin. Dalam hal ini yang menjadi korban adalah masyarakat. Informasi public yang mereka dapatkan tak lebih dari produksi pengetahuan yang disiarkan pengelola media untuk merengut keuntungan sebesar-besarnya, yang kebenarannya bisa diragukan.(*)
Penulis adalah Praktisi Komunikasi
bekerja pada Matakata Institute