26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Rapuhnya Magnet Koalisi

Kendati pemerintahan di bawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memformat wajah koalisi sedemikian rupa dalam rangka mendukung setiap kebijakannya, namun fakta menunjukkan bahwa koalisi yang dibangun justru tidak lebih dari sebuah koalisi rapuh. Dalam berbagai perhelatan politik dalam negeri, khususnya pada tahap-tahap akhir penentuan kebijakan yang akan dijalankan pemerintah, tidak jarang terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan legislative, bahkan di antara sesama anggota legislative sendiri.

Oleh:
Janpatar Simamora SH MH

Perbedaan pendapat itulah yang kemudian sering menggiring proses politik di Senayan harus diakhiri dengan cara voting. Pengambilan keputusan melalui jalan muasyawarah selalu saja mengalami jalan buntu karena masing-masing parpol berada dalam ranah kepentingan yang berbeda-beda. Dalam situasi yang demikian, maka tidak jarang pula proses pengambilan keputusan di Senayan menjadi bertele-tele dan bahkan terkesan sengaja diperumit oleh sejumlah kalangan. Maka tidak heran public merasa muak dengan suguhan lakon politik para legislator yang pada akhirnya justru menyepakati hak-hal yang tidak sejalan dengan kehendak rakyat banyak.

Ironisnya, proses pengambilan keputusan di DPR menjadi sulit diprediksi kendati sudah dibangun format koalisi pendukung pemerintah. Semestinya, partai koalisi seia sekata dalam mendukung setiap kebijakan yang diambil pemerintah. Namun kenyataan justru berkata lain. Tidak jarang terjadi bahwa sesama partai koalisi justru saling berseberangan pandangan dan kemudian menyeret proses paripurna di DPR menjadi kian rumit. Sebagai konsekuensinya, maka efektivitas kinerja anggota dewan yang terhormat itu menjadi tidak terlihat secara nyata.

Setidaknya kondisi dimaksud cukup terekam dalam sidang paripurna DPR terkait dengan pembahasan RUU APBN Perubahan 2012. Dalam pembahasan itu, cukup terlihat dengan jelas bagaimana lakon buruk sejumlah partai koalisi. Kalangan parpol koalisi seolah menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang diusulkan pemerintah, namun sesungguhnya bahwa sejumlah parpol koalisi justru memberikan ruang yang cukup lebar bagi pemerintah guna menaikkan harga BBM.

Lihat saja misalnya Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa yang menyatakan menolak kenaikan harga BBM yang disampaikan pada saat pemandangan fraksi rapat pleno DPR pada Jumat, 30 Maret 2012 lalu. Namun kemudian, sikap yang berseberangan justru ditunjukkan pada saat yang sama.

Ternyata sejumlah partai itu kemudian menyatakan kesediannya untuk merundingkan klausul tambahan yang dituangkan dalam Pasal 7 ayat 6a RUU APBN Perubahan 2012. Klausul ini sendiri memberikan ruang bagi pemerintah untuk melakukan diskresi dalam rangka menaikkan atau menurunkan harga BBM bila di kemudian hari terjadi fluktuasi harga Indonesian Crude Price (ICP).

Bahkan, kemudian Partai Keadilan Sejahtera menjadi satu-satunya parpol koalisi yang dengan tegas menyatakan sikap untuk menolak kenaikan harga BBM tanpa dibarengi dengan ayat tambahan dalam pasal 7 dimaksud. Dengan pandangan semacam itu, maka PKS kali ini benar-benar memasuki ruang lingkup pandangan parpol oposisi sebagaimana yang dilakoni oleh PDI Perjuangan, Gerindra dan Hanura selama ini.

Inilah kemudian yang menjadi bahan perdebatan saat ini, khususnya bagi sejumlah parpol koalisi yang masih setia mendukung setiap kebijakan pemerintah. Bahkan kemudian berkembang wacana untuk segera melakukan reshuffle kabinet dengan mendepak para menteri yang berasal dari PKS. Sementara sampai saat ini, PKS masih memiliki 3 menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, yaitu Tifatul Sembiring yang menduduki jabatan sebagai Menkominfo, Salim Segaf Al-Jufri yang menduduki jabatan Menteri Sosial dan Suswono yang merupakan Menteri Pertanian.

Bukan yang Pertama

Sebenarnya, wajah ganda parpol koalisi bukan hanya kali ini terjadi di tanah air. Lihat saja misalnya bagaimana usulan hak angket mafia pajak akhirnya kandas ditengah jalan. Usulan yang sejak awal cukup menyita simpati dan perhatian public ini layu bahkan gugur sebelum berkembang. Semangat awal pembentukannya yang begitu berapi-api ternyata tidak mampu membuahkan hasil setelah mayoritas anggota dewan yang menghadiri rapat paripurna DPR pada 22 Februari 2011 lalu menolak untuk menggolkan usulan pembentukan pansus hak angket perpajakan. Dari 530 orang wakil rakyat yang meramaikan voting penentuan nasib hak angket mafia pajak itu, 264 orang diantaranya memutuskan untuk menerima, selebihnya (266 orang) menyatakan untuk menolak.

Dalam penentuan akhir yang berujung pada keguguran hak angket pajak, tercatat sejumlah fenomena peralihan suara sejumlah politisi parpol. Peralihan suara terbesar terjadi pada Partai Golkar dan PKS dimana kedua parpol itu adalah merupakan bagian dari lingkaran koalisi yang selama ini digadang-gadang dalam rangka mengawal eksistensi pemerintahan SBY-Boediono.

Sebagaimana diketahui bahwa kedua parpol tersebut memutuskan untuk mendukung pembentukan hak angket mafia pajak. Sementara di sisi lain, sejumlah parpol koalisi, khususnya Partai Demokrat justru berpandangan bahwa pembentukan pansus hak angket mafia pajak tidaklah urgen. Sehingga pembentukannyapun tidak layak untuk didukung dan diteruskan.

Sementara di sisi lain, Partai Gerakan Indonesia Raya yang selama ini kerap menempatkan diri sebagai oposisi bagi pemerintahan SBY justru memberikan dukungan suara secara penuh terhadap penolakan hak angket mafia pajak. Setidaknya inilah fenomena yang terjadi pada saat proses penentuan hak angket mafia pajak dalam rapat paripurna DPR 22 Februari 2011 lalu.

Kemudian dalam kasus bank Century, kedua parpol juga melakukan hal yang sama. Golkar dan PKS ketika itu berseberangan dengan parpol koalisi dalam memandang persoalan kasus bank Century.

Bahkan ketika itu, perombakan kabinet juga sudah sempat menjadi isu yang cukup panas. Kini, isu perombakan kabinet pun kembali menyeruak ke permukaan seiring dengan sikap PKS yang berseberangan dengan pemerintah dan parpol koalisi dalam menyikapi kebijakan terhadap rencana kenaikan BBM yang sempat diusung pemerintah.

Terlepas dari isu perombakan kabinet yang diusung kalangan tertentu, khususnya sejumlah elit Demokrat, namun satu hal yang patut dicatat bahwa format koalisi saat ini benar-benar merupakan koalisi yang sangat rapuh dan patut untuk dikaji ulang. Magnet koalisi telah terbukti tidak cukup kuat untuk mendukung setiap kebijakan pemerintah. Oleh karenanya, bila pemerintah masih mengharapkan format koalisi yang mumpuni, maka sudah saatnya dilakukan pengkajian dan format ulang koalisi yang lebih relevan dan efektif.(*)

Penulis adalah Wakil Direktur Laboratorium Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.

Kendati pemerintahan di bawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memformat wajah koalisi sedemikian rupa dalam rangka mendukung setiap kebijakannya, namun fakta menunjukkan bahwa koalisi yang dibangun justru tidak lebih dari sebuah koalisi rapuh. Dalam berbagai perhelatan politik dalam negeri, khususnya pada tahap-tahap akhir penentuan kebijakan yang akan dijalankan pemerintah, tidak jarang terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan legislative, bahkan di antara sesama anggota legislative sendiri.

Oleh:
Janpatar Simamora SH MH

Perbedaan pendapat itulah yang kemudian sering menggiring proses politik di Senayan harus diakhiri dengan cara voting. Pengambilan keputusan melalui jalan muasyawarah selalu saja mengalami jalan buntu karena masing-masing parpol berada dalam ranah kepentingan yang berbeda-beda. Dalam situasi yang demikian, maka tidak jarang pula proses pengambilan keputusan di Senayan menjadi bertele-tele dan bahkan terkesan sengaja diperumit oleh sejumlah kalangan. Maka tidak heran public merasa muak dengan suguhan lakon politik para legislator yang pada akhirnya justru menyepakati hak-hal yang tidak sejalan dengan kehendak rakyat banyak.

Ironisnya, proses pengambilan keputusan di DPR menjadi sulit diprediksi kendati sudah dibangun format koalisi pendukung pemerintah. Semestinya, partai koalisi seia sekata dalam mendukung setiap kebijakan yang diambil pemerintah. Namun kenyataan justru berkata lain. Tidak jarang terjadi bahwa sesama partai koalisi justru saling berseberangan pandangan dan kemudian menyeret proses paripurna di DPR menjadi kian rumit. Sebagai konsekuensinya, maka efektivitas kinerja anggota dewan yang terhormat itu menjadi tidak terlihat secara nyata.

Setidaknya kondisi dimaksud cukup terekam dalam sidang paripurna DPR terkait dengan pembahasan RUU APBN Perubahan 2012. Dalam pembahasan itu, cukup terlihat dengan jelas bagaimana lakon buruk sejumlah partai koalisi. Kalangan parpol koalisi seolah menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang diusulkan pemerintah, namun sesungguhnya bahwa sejumlah parpol koalisi justru memberikan ruang yang cukup lebar bagi pemerintah guna menaikkan harga BBM.

Lihat saja misalnya Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa yang menyatakan menolak kenaikan harga BBM yang disampaikan pada saat pemandangan fraksi rapat pleno DPR pada Jumat, 30 Maret 2012 lalu. Namun kemudian, sikap yang berseberangan justru ditunjukkan pada saat yang sama.

Ternyata sejumlah partai itu kemudian menyatakan kesediannya untuk merundingkan klausul tambahan yang dituangkan dalam Pasal 7 ayat 6a RUU APBN Perubahan 2012. Klausul ini sendiri memberikan ruang bagi pemerintah untuk melakukan diskresi dalam rangka menaikkan atau menurunkan harga BBM bila di kemudian hari terjadi fluktuasi harga Indonesian Crude Price (ICP).

Bahkan, kemudian Partai Keadilan Sejahtera menjadi satu-satunya parpol koalisi yang dengan tegas menyatakan sikap untuk menolak kenaikan harga BBM tanpa dibarengi dengan ayat tambahan dalam pasal 7 dimaksud. Dengan pandangan semacam itu, maka PKS kali ini benar-benar memasuki ruang lingkup pandangan parpol oposisi sebagaimana yang dilakoni oleh PDI Perjuangan, Gerindra dan Hanura selama ini.

Inilah kemudian yang menjadi bahan perdebatan saat ini, khususnya bagi sejumlah parpol koalisi yang masih setia mendukung setiap kebijakan pemerintah. Bahkan kemudian berkembang wacana untuk segera melakukan reshuffle kabinet dengan mendepak para menteri yang berasal dari PKS. Sementara sampai saat ini, PKS masih memiliki 3 menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, yaitu Tifatul Sembiring yang menduduki jabatan sebagai Menkominfo, Salim Segaf Al-Jufri yang menduduki jabatan Menteri Sosial dan Suswono yang merupakan Menteri Pertanian.

Bukan yang Pertama

Sebenarnya, wajah ganda parpol koalisi bukan hanya kali ini terjadi di tanah air. Lihat saja misalnya bagaimana usulan hak angket mafia pajak akhirnya kandas ditengah jalan. Usulan yang sejak awal cukup menyita simpati dan perhatian public ini layu bahkan gugur sebelum berkembang. Semangat awal pembentukannya yang begitu berapi-api ternyata tidak mampu membuahkan hasil setelah mayoritas anggota dewan yang menghadiri rapat paripurna DPR pada 22 Februari 2011 lalu menolak untuk menggolkan usulan pembentukan pansus hak angket perpajakan. Dari 530 orang wakil rakyat yang meramaikan voting penentuan nasib hak angket mafia pajak itu, 264 orang diantaranya memutuskan untuk menerima, selebihnya (266 orang) menyatakan untuk menolak.

Dalam penentuan akhir yang berujung pada keguguran hak angket pajak, tercatat sejumlah fenomena peralihan suara sejumlah politisi parpol. Peralihan suara terbesar terjadi pada Partai Golkar dan PKS dimana kedua parpol itu adalah merupakan bagian dari lingkaran koalisi yang selama ini digadang-gadang dalam rangka mengawal eksistensi pemerintahan SBY-Boediono.

Sebagaimana diketahui bahwa kedua parpol tersebut memutuskan untuk mendukung pembentukan hak angket mafia pajak. Sementara di sisi lain, sejumlah parpol koalisi, khususnya Partai Demokrat justru berpandangan bahwa pembentukan pansus hak angket mafia pajak tidaklah urgen. Sehingga pembentukannyapun tidak layak untuk didukung dan diteruskan.

Sementara di sisi lain, Partai Gerakan Indonesia Raya yang selama ini kerap menempatkan diri sebagai oposisi bagi pemerintahan SBY justru memberikan dukungan suara secara penuh terhadap penolakan hak angket mafia pajak. Setidaknya inilah fenomena yang terjadi pada saat proses penentuan hak angket mafia pajak dalam rapat paripurna DPR 22 Februari 2011 lalu.

Kemudian dalam kasus bank Century, kedua parpol juga melakukan hal yang sama. Golkar dan PKS ketika itu berseberangan dengan parpol koalisi dalam memandang persoalan kasus bank Century.

Bahkan ketika itu, perombakan kabinet juga sudah sempat menjadi isu yang cukup panas. Kini, isu perombakan kabinet pun kembali menyeruak ke permukaan seiring dengan sikap PKS yang berseberangan dengan pemerintah dan parpol koalisi dalam menyikapi kebijakan terhadap rencana kenaikan BBM yang sempat diusung pemerintah.

Terlepas dari isu perombakan kabinet yang diusung kalangan tertentu, khususnya sejumlah elit Demokrat, namun satu hal yang patut dicatat bahwa format koalisi saat ini benar-benar merupakan koalisi yang sangat rapuh dan patut untuk dikaji ulang. Magnet koalisi telah terbukti tidak cukup kuat untuk mendukung setiap kebijakan pemerintah. Oleh karenanya, bila pemerintah masih mengharapkan format koalisi yang mumpuni, maka sudah saatnya dilakukan pengkajian dan format ulang koalisi yang lebih relevan dan efektif.(*)

Penulis adalah Wakil Direktur Laboratorium Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/