31 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Di Mana Peran Negara untuk Konflik Rohingya?

Oleh: Supriadi Purba

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Pemerintah Indonesia menjembatani proses perdamaian dalam konflik dan tindak kekerasan terhadap Muslim Rohingya.

Indonesia pun dapat mengajak ASEAN untuk menghentikan kasus ini.”Kami berharap Pemerintah Indonesia memberi respon cepat terhadap kasus ini, melalui upaya bilateral diplomatis ke Myanmar atau melakukannya melalui ASEAN,”kata Koordinator KontraS Haris Azhar di Jakarta. Konflik sosial selalu meninggalkan bekas dan luka yang sangat dalam. Hal ini harus menjadi pelajaran bagi semua masyarakat Indonesia, apalagi pada masa lalu konflik sosial sudah pernah terjadi dan meninggalkan trauma yang sangat dalam. Korban yang meninggal, cacat adalah produk konflik sehingga harus diwaspadai dan sejatinya harus dihindari.

Apalagi di Indonesia potensi konflik sangat terbuka, khususnya kaitan dengan sntimen suku, ras, agama dan antar golongan (SARA). Oleh karenanya potensi bangsa ini dengan kekayaan keberagaman harus senantiasa di jaga dan harus selalu mengutamakan dialog dalam setia perkara.

Sengaja penulis sampaikan pernyataan diatas mengingat bangsa ini sudah pernah terjerat dengan peristiwa besar yang sangat mengerikan. Namun yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini adalah kaitan dengan konflik Rohingya yang sudah menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Ada sebuah bahasa media yang kemudian memunculkan kekhawatiran adalah persoalan konflik yang terjadi adalah buah persoalan antara Muslim rohingya yang merupakan minoritas di Myanmar dengan masyarakat Buddha yang merupakan masyarakat mayoritas.

Satu hal yang bisa diambil dari bahasa media yang sudah terlanjur adalah bahwa dibenturkan dengan adanya kontra antara kedua kepercayaan. Sementara ada persoalan yang lebih haris ditekankan adalah bahwa kenapa Myanmar tidak bisa menerima keberadaan suku rohingya?. Apakah karena suku Rohingya beragam Islam atau karena Suku Rohingya bukan merupakan warga Negara asli Myanmar?. Sehingga bisa diketahui akar persoalan yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa yang sangat memilukan ini.

Amnesty International bahkan menuduh pasukan keamanan Birma dan etnis Rakhine melakukan penyerangan, pemerkosaan dan pembunuhan.Selain itu, sumber Rohingya dari Myanmar mengatakan, ribuan pemuda bersembunyi karena suku Rohingnya segera ditangkap begitu terlihat. Ratusan remaja dan pria dewasa berada dalam tahanan.

Pasukan keamanan dan Rakhine menghalang-halangi aktivitas yang menghasilkan pemasukan di desa-desa Rohingya, ujar Faizullah. “Di banyak desa, umat Buddha berhenti menjual beras dan kebutuhan lainnya kepada suku Rohingya. Pasukan keamanan dan umat Buddha menuntut agar kami pergi dari Myanmar. Pilihannya adalah mati kelaparan dan terbunuh disini.”

Tentu dengan hasil laporan Amnesty tersebut bisa disimpulkan bahwa telah terjadi sebuah penghapusan etnis di Myanmar secara sistematis. Bagaimana kemudian dunia Internasional memandangnya, apakah cukup dengan memberikan respon mengutuk dan menentang. Bukankah dunia Internasional bisa memberikan sanksi terhadap Negara yang bersangkutan, tetapi kemudian yang muncul adalah bahwa Negara-negara ASEAN sendiri tidak bisa menerima kehadirian mereka seperti Thailand dan Bangladesh misalnya. Pertanyaanya kenapa?

Peran Negara dan Penyelamatan Rohingya

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama organisasi masyarakat sipil lainnya, sejauh ini telah melakukan komunikasi untuk pemantauan dan mengumpulkan informasi terkait dengan beragam dan rangkaian tindak kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap 800.000 muslim Rohingya di Myanmar (negara bagian Rhakine).

Disisi yang lain, KontraS juga mencatat sekitar 200. 000 Muslim Rohingya telah menjadi pengungsi di Bangladesh, sisanya gagal mendapatkan suaka politik ataupun perlindungan baik ke Bangladesh maupun negara tujuan lainnya, karena mendapat penolakan. KontraS mencatat, situasi kekerasan yang memanas akhir-akhir ini ke Muslim Rohingya diawali dari peristiwa tindak kekerasan dan perkosaan terhadap seorang perempuan yang beragama Budha, pada akhir Mei 2012. Pada saat itu, pelaku diduga berasal dari Muslim Rohingya.

Selanjutnya, pada 2 Juni 2012, 10 orang penumpang bus yang diduga kuat dari muslim Rohingya di bunuh. Peristiwai ini diduga merupakan pembalasan atas peristiwa yang terjadi sebelumnya. Akibat peristiwa tersebut, meletus konflik dalam skala yang lebih besar antara Muslim Rohingya dan masyarakat Budha, di negara bagian Rhakine . Sejak 2 Juni 2012, eskalasi konflik meningkat drastis. KontraS menemukan indikasi bahwa konflik ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan Pemerintah Myanmar dalam berurusan dengan Muslim Rohingya.

Pemerintah Myanmar melakukan diskriminasi yang sangat sistematis terhadap Rohingya, khususnya dibawah Undang-Undang Tahun 1982 tentang kewarganegaraan yang menolak kewarganegaraan Muslim Rohingya dan pembiaran tanpa adanya perlindungan dan kepastian hukum. Beragam laporan dan pemberitaan dari berbagai sumber yang selama ini memberi perhatian terhadap isu ini, secara garis besar menyatakan bahwa penjaga perbatasan pemerintah Myanmar diduga kuat terlibat dalam sejumlah tindak kekerasan, berupa; pelecehan, penyiksaan dan tindakan kekerasan yang terus berulang.
Untuk merespon persoalan tersebut diatas, Presiden Myanmar, Thein Sein, belum lama ini menyatakan kepada media bahwa “Burma akan bertanggungjawab untuk persoalan Rohingya, namun Thein Shein menegaskan bahwa “sama sekali tidak mungkin untuk mengakui penyerahan persoalan Rohingya kepada UNHCR. Selanjutnya Thein Sein justru menunjukan kesediaannya jika didapati negara ketiga yang bersedia mengambil etnik Rohingya sebagai warga negara adalah solusi yang masuk akal.” Kami kembali menegaskan bahwa pernyataan dari Presiden Thein Sein adalah salah dan ini menunjukan diagnosis persoalan yang keliru dari pemerintah Myanmar.

Seharusnya, Pemerintah Myanmar mengambil langkah-langkah strategis untuk membangun proses dialog damai, langkah-langkah ini harus diambil sebagai bukti bahwa Myanmar sudah menerima perubahan dan sekaligus menghormati instrument Hak Asasi Manusia. Disisi yang lain, kami khawatir bahwa kesalahan perlakuan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Myanmar akan memperluas konflik.

Pemerintah Myanmar harus menghentikan konflik ini dan melakukan pendekatan damai untuk menghentikan diskriminasi. Kami juga memandang penting ASEAN dan khususnya pemerintah Indonesia dapat menjembatani proses penyelesaian damai terhadap kasus ini. Akibat dari serangkaian konflik dan tindak kekerasan terhadap muslim Rohingya, telah meningkatkan intensitas jumlah pengungsi dan Internally displaced people (IDPs).

Mereka menghadapi situasi yang tidak menentu dan beragam ancaman baik dari dalam maupun luar negeri; mengingat upaya mereka untuk mendapatkan suaka ataupun perlindungan politik tidak mendapatkan respon yang baik dari negara tujuan. Semestinya, Myanmar, Bangladesh dan negara ketiga lainnya dalam kasus ini, harus menghormati dan menempatkan Konvensi Internasional untuk pengungsi tahun 1951, sebagai acuan utama untuk berurusan dengan muslim Rohingya. Secara tegas pasal 33 menyebutkan tentang larangan untuk memulangkan paksa pengungsi yang nyata-nyata menghadapi ancaman pembunuhan, kekerasan, penyiksaan dan tindakan kejam lainnya (www.kontras.com).

Penulis adalah Koordinator Solidarity For Human rights (SA-HAM) dan Aktif
di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara

Oleh: Supriadi Purba

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Pemerintah Indonesia menjembatani proses perdamaian dalam konflik dan tindak kekerasan terhadap Muslim Rohingya.

Indonesia pun dapat mengajak ASEAN untuk menghentikan kasus ini.”Kami berharap Pemerintah Indonesia memberi respon cepat terhadap kasus ini, melalui upaya bilateral diplomatis ke Myanmar atau melakukannya melalui ASEAN,”kata Koordinator KontraS Haris Azhar di Jakarta. Konflik sosial selalu meninggalkan bekas dan luka yang sangat dalam. Hal ini harus menjadi pelajaran bagi semua masyarakat Indonesia, apalagi pada masa lalu konflik sosial sudah pernah terjadi dan meninggalkan trauma yang sangat dalam. Korban yang meninggal, cacat adalah produk konflik sehingga harus diwaspadai dan sejatinya harus dihindari.

Apalagi di Indonesia potensi konflik sangat terbuka, khususnya kaitan dengan sntimen suku, ras, agama dan antar golongan (SARA). Oleh karenanya potensi bangsa ini dengan kekayaan keberagaman harus senantiasa di jaga dan harus selalu mengutamakan dialog dalam setia perkara.

Sengaja penulis sampaikan pernyataan diatas mengingat bangsa ini sudah pernah terjerat dengan peristiwa besar yang sangat mengerikan. Namun yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini adalah kaitan dengan konflik Rohingya yang sudah menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Ada sebuah bahasa media yang kemudian memunculkan kekhawatiran adalah persoalan konflik yang terjadi adalah buah persoalan antara Muslim rohingya yang merupakan minoritas di Myanmar dengan masyarakat Buddha yang merupakan masyarakat mayoritas.

Satu hal yang bisa diambil dari bahasa media yang sudah terlanjur adalah bahwa dibenturkan dengan adanya kontra antara kedua kepercayaan. Sementara ada persoalan yang lebih haris ditekankan adalah bahwa kenapa Myanmar tidak bisa menerima keberadaan suku rohingya?. Apakah karena suku Rohingya beragam Islam atau karena Suku Rohingya bukan merupakan warga Negara asli Myanmar?. Sehingga bisa diketahui akar persoalan yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa yang sangat memilukan ini.

Amnesty International bahkan menuduh pasukan keamanan Birma dan etnis Rakhine melakukan penyerangan, pemerkosaan dan pembunuhan.Selain itu, sumber Rohingya dari Myanmar mengatakan, ribuan pemuda bersembunyi karena suku Rohingnya segera ditangkap begitu terlihat. Ratusan remaja dan pria dewasa berada dalam tahanan.

Pasukan keamanan dan Rakhine menghalang-halangi aktivitas yang menghasilkan pemasukan di desa-desa Rohingya, ujar Faizullah. “Di banyak desa, umat Buddha berhenti menjual beras dan kebutuhan lainnya kepada suku Rohingya. Pasukan keamanan dan umat Buddha menuntut agar kami pergi dari Myanmar. Pilihannya adalah mati kelaparan dan terbunuh disini.”

Tentu dengan hasil laporan Amnesty tersebut bisa disimpulkan bahwa telah terjadi sebuah penghapusan etnis di Myanmar secara sistematis. Bagaimana kemudian dunia Internasional memandangnya, apakah cukup dengan memberikan respon mengutuk dan menentang. Bukankah dunia Internasional bisa memberikan sanksi terhadap Negara yang bersangkutan, tetapi kemudian yang muncul adalah bahwa Negara-negara ASEAN sendiri tidak bisa menerima kehadirian mereka seperti Thailand dan Bangladesh misalnya. Pertanyaanya kenapa?

Peran Negara dan Penyelamatan Rohingya

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama organisasi masyarakat sipil lainnya, sejauh ini telah melakukan komunikasi untuk pemantauan dan mengumpulkan informasi terkait dengan beragam dan rangkaian tindak kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap 800.000 muslim Rohingya di Myanmar (negara bagian Rhakine).

Disisi yang lain, KontraS juga mencatat sekitar 200. 000 Muslim Rohingya telah menjadi pengungsi di Bangladesh, sisanya gagal mendapatkan suaka politik ataupun perlindungan baik ke Bangladesh maupun negara tujuan lainnya, karena mendapat penolakan. KontraS mencatat, situasi kekerasan yang memanas akhir-akhir ini ke Muslim Rohingya diawali dari peristiwa tindak kekerasan dan perkosaan terhadap seorang perempuan yang beragama Budha, pada akhir Mei 2012. Pada saat itu, pelaku diduga berasal dari Muslim Rohingya.

Selanjutnya, pada 2 Juni 2012, 10 orang penumpang bus yang diduga kuat dari muslim Rohingya di bunuh. Peristiwai ini diduga merupakan pembalasan atas peristiwa yang terjadi sebelumnya. Akibat peristiwa tersebut, meletus konflik dalam skala yang lebih besar antara Muslim Rohingya dan masyarakat Budha, di negara bagian Rhakine . Sejak 2 Juni 2012, eskalasi konflik meningkat drastis. KontraS menemukan indikasi bahwa konflik ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan Pemerintah Myanmar dalam berurusan dengan Muslim Rohingya.

Pemerintah Myanmar melakukan diskriminasi yang sangat sistematis terhadap Rohingya, khususnya dibawah Undang-Undang Tahun 1982 tentang kewarganegaraan yang menolak kewarganegaraan Muslim Rohingya dan pembiaran tanpa adanya perlindungan dan kepastian hukum. Beragam laporan dan pemberitaan dari berbagai sumber yang selama ini memberi perhatian terhadap isu ini, secara garis besar menyatakan bahwa penjaga perbatasan pemerintah Myanmar diduga kuat terlibat dalam sejumlah tindak kekerasan, berupa; pelecehan, penyiksaan dan tindakan kekerasan yang terus berulang.
Untuk merespon persoalan tersebut diatas, Presiden Myanmar, Thein Sein, belum lama ini menyatakan kepada media bahwa “Burma akan bertanggungjawab untuk persoalan Rohingya, namun Thein Shein menegaskan bahwa “sama sekali tidak mungkin untuk mengakui penyerahan persoalan Rohingya kepada UNHCR. Selanjutnya Thein Sein justru menunjukan kesediaannya jika didapati negara ketiga yang bersedia mengambil etnik Rohingya sebagai warga negara adalah solusi yang masuk akal.” Kami kembali menegaskan bahwa pernyataan dari Presiden Thein Sein adalah salah dan ini menunjukan diagnosis persoalan yang keliru dari pemerintah Myanmar.

Seharusnya, Pemerintah Myanmar mengambil langkah-langkah strategis untuk membangun proses dialog damai, langkah-langkah ini harus diambil sebagai bukti bahwa Myanmar sudah menerima perubahan dan sekaligus menghormati instrument Hak Asasi Manusia. Disisi yang lain, kami khawatir bahwa kesalahan perlakuan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Myanmar akan memperluas konflik.

Pemerintah Myanmar harus menghentikan konflik ini dan melakukan pendekatan damai untuk menghentikan diskriminasi. Kami juga memandang penting ASEAN dan khususnya pemerintah Indonesia dapat menjembatani proses penyelesaian damai terhadap kasus ini. Akibat dari serangkaian konflik dan tindak kekerasan terhadap muslim Rohingya, telah meningkatkan intensitas jumlah pengungsi dan Internally displaced people (IDPs).

Mereka menghadapi situasi yang tidak menentu dan beragam ancaman baik dari dalam maupun luar negeri; mengingat upaya mereka untuk mendapatkan suaka ataupun perlindungan politik tidak mendapatkan respon yang baik dari negara tujuan. Semestinya, Myanmar, Bangladesh dan negara ketiga lainnya dalam kasus ini, harus menghormati dan menempatkan Konvensi Internasional untuk pengungsi tahun 1951, sebagai acuan utama untuk berurusan dengan muslim Rohingya. Secara tegas pasal 33 menyebutkan tentang larangan untuk memulangkan paksa pengungsi yang nyata-nyata menghadapi ancaman pembunuhan, kekerasan, penyiksaan dan tindakan kejam lainnya (www.kontras.com).

Penulis adalah Koordinator Solidarity For Human rights (SA-HAM) dan Aktif
di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/