25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

DPR Salah Asuhan

Oleh:
Januari Sihotang

Betapa miris hati kita melihat keberadaan DPR saat ini. Perilaku anggota DPR begitu jauh dari ekspektasi publik. Hal ini membuat kita harus bertanya kembali, seberapa ideal demokrasi yang diimplementasikan bangsa ini? Harus diakui, setelah dilantik pertengahan 2009 lalu, publik sempat menaruh harapan besar kepada wakil-wakil rakyat di Senayan.

Beragam faktor menjadi alasan. Pertama, dari segi tingkat pendidikan, komposisi anggota DPR saat ini merupakan yang terbaik dari sebelumnya. Sebagian besar DPR bergelar sarjana, banyak lulusan magister dan doktor bahkan bergelar profesor.

Kedua, di tengah meruncingnya perdebatan menyoal dikotomi pemimpin muda dan pemimpin tua, anggota DPR periode 2009-2014 pun hadir dengan rata-rata usia paling muda dalam sejarah republik. Bahkan beberapa di antaranya ada yang masih berusia 23 tahun. Usia normal lulusan S-1 saat ini.
Ketiga, tak berapa lama setelah dilantik, harapan publik membubung tinggi tatkala melihat niat dan kerja keras anggota DPR dalam membongkar berbagai praktik korupsi di negeri ini, seperti kasus Century. Pembongkaran aib Century ini patut diacungi jempol sebab kasus bailout Bank Century melibatkan para elit dalam lingkaran kekuasaan. Puncaknya, sidang paripurna DPR memutuskan benar telah terjadi berbagai pelanggaran hukum dalam proses bailout Bank Century dan mempersilakan penegak hukum memprosesnya lebih lanjut.

Ternyata  proses hukum kasus Century begitu senyap, tidak segaduh sidang Pansus dan paripurna di DPR. Proses penegakan hukum berjalan di tempat. Penyebabnya  gampang ditebak, proses yang sedang berjalan minim dukungan politik. Kasus Century entah berakhir di mana, tidak semua orang tahu.
Redupnya pembicaraan  kasus Century, seiring pula meredupnya citra dan harapan kepada DPR. Perlahan namun pasti, mulailah tercium aroma praktik politik transaksional antarelit politik yang seakan mengukuhkan bahwa aksi politisi Senayan selama ini hanya sandiwara yang didalangi berbagai faktor kepentingan, baik individu, partai dan kelompok. Kendati beberapa kali kemudian DPR menggagasi hak angket terhadap berbagai kebijakan pemerintah, semisal kasus mafia pajak, namun rasa skeptis dan apatis masyarakat terhadap wakil rakyat keburu menguat.

Tindak-tanduk keseharian anggota DPR pun semakin membuat rasa simpati publik tergerus. Kendati kerap menjadi bulan-bulanan masyarakat, baik melalui aksi demonstrasi maupun berbagai pemberitaan di media massa, namun DPR tak acuh. Justru perilaku ironis dan ketidakberpihakan pada rakyat menjadi keseharian anggota DPR. Kinerja legislasi mandul, fungsi pengawasan sekadar formalitas, manipulasi anggaran terjdi mulai dari hulu (Badan Anggaran) hingga hilir,  anggota yang sering korupsi waktu (bolos), kasus video porno dan berbagai perbuatan tak terpuji lainnya.

Hari-hari DPR juga disibukkan dengan pemborosan uang negara. Dengan gamblang kita saksikan bagaimana para wakil rakyat menghambur-hamburkan uang negara dengan alasan studi banding, dana aspirasi dan pembangunan rumah aspirasi. Begitu juga dengan rencana pembangunan gedung DPR dengan taksasi dana mencapai 1,2 triliun rupiah. Pembangunan ruang rapat banggar, perbaikan toilet dan parkir motor, pengadaan pengharum ruangan hingga obat kuat yang menghabiskan anggaran hingga puluhan miliar rupiah.

Tindakan-tindakan ini semakin mengokohkan monumen ketidakpercayaan publik terhadap DPR. Anehnya, anggota DPR terkesan tuli terhadap kuatnya suara rakyat yang menolak program-program tersebut. Mereka justru sibuk mencari alasan pembenar, menghindar dan melempar kesalahan. Seharusnya DPR bercermin pada anggota BPUPKI dan PPKI pada masa kemerdekaan dulu. Dalam keadaan darurat, bukan hanya dari segi fasilitas seperti gedung, namun juga kondisi tertekan oleh penjajah saat itu, mereka justru mampu melahirkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai karya yang begitu fenomenal, monumental dan mampu menuntun dan menjiwai bangsa ini hingga sekarang.

Penulis menjadi teringat pada pernyataan pembuka Joseph E Nye Jr (1997), dalam buku ‘The Decline of Confidence in Governance’ yang mengatakan, ‘Why People Don’t Trust Government?’ Jawabannya tentu beragam, namun intinya tak jauh dari perilaku kekuasaan yang memunggungi kehidupan publik. Hal inilah yang menjadi alasan utama kemerosotan kepercayaan publik terhadap pemerintah, termasuk DPR.

DPR seharusnya paham bahwa kekuasaan yang tersekap dalam kelalaian politik untuk memenuhi keinginan warga negara akan dengan sendirinya menerima antipati politik publik. Oleh karena itu, kekuasaan seharusnya dilaksanakan sebagai amanah, dibangun di atas kerelaan, baik yang ada pada rakyat maupun para pekerja politik. Rakyat telah merelakan sebagian hak-hak sosial politiknya untuk diurus para wakilnya di DPR. Sebaliknya, mereka yang menerima hak-hak sosial politik publik mesti memiliki kerelaan politik untuk mengurus kehidupan rakyat dengan sebaik-baiknya. Kerelaan itu tidak bisa semata-mata penghias spanduk dan orasi kampanye.

Kepercayaan publik kepada DPR akan pulih tergantung seberapa mampu DPR memperjuangkan kepentingan publik. Kedudukan sebagai anggota DPR sudah seharusnya dimaknai sebagai pengabdian, bukan lowongan pekerjaan. Oleh karena itu, mereka harus rela melayani publik dengan keberpihakan yang jelas kepada rakyat. Jika demikian, maka  anggota DPR akan mampu menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat yang dicintai konstituennya, bukan anggota DPR yang salah asuhan karena kehilangan budaya dan jati diri akibat gelimang kekuasaan. (*)

Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum USU Medan.; mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM.

Oleh:
Januari Sihotang

Betapa miris hati kita melihat keberadaan DPR saat ini. Perilaku anggota DPR begitu jauh dari ekspektasi publik. Hal ini membuat kita harus bertanya kembali, seberapa ideal demokrasi yang diimplementasikan bangsa ini? Harus diakui, setelah dilantik pertengahan 2009 lalu, publik sempat menaruh harapan besar kepada wakil-wakil rakyat di Senayan.

Beragam faktor menjadi alasan. Pertama, dari segi tingkat pendidikan, komposisi anggota DPR saat ini merupakan yang terbaik dari sebelumnya. Sebagian besar DPR bergelar sarjana, banyak lulusan magister dan doktor bahkan bergelar profesor.

Kedua, di tengah meruncingnya perdebatan menyoal dikotomi pemimpin muda dan pemimpin tua, anggota DPR periode 2009-2014 pun hadir dengan rata-rata usia paling muda dalam sejarah republik. Bahkan beberapa di antaranya ada yang masih berusia 23 tahun. Usia normal lulusan S-1 saat ini.
Ketiga, tak berapa lama setelah dilantik, harapan publik membubung tinggi tatkala melihat niat dan kerja keras anggota DPR dalam membongkar berbagai praktik korupsi di negeri ini, seperti kasus Century. Pembongkaran aib Century ini patut diacungi jempol sebab kasus bailout Bank Century melibatkan para elit dalam lingkaran kekuasaan. Puncaknya, sidang paripurna DPR memutuskan benar telah terjadi berbagai pelanggaran hukum dalam proses bailout Bank Century dan mempersilakan penegak hukum memprosesnya lebih lanjut.

Ternyata  proses hukum kasus Century begitu senyap, tidak segaduh sidang Pansus dan paripurna di DPR. Proses penegakan hukum berjalan di tempat. Penyebabnya  gampang ditebak, proses yang sedang berjalan minim dukungan politik. Kasus Century entah berakhir di mana, tidak semua orang tahu.
Redupnya pembicaraan  kasus Century, seiring pula meredupnya citra dan harapan kepada DPR. Perlahan namun pasti, mulailah tercium aroma praktik politik transaksional antarelit politik yang seakan mengukuhkan bahwa aksi politisi Senayan selama ini hanya sandiwara yang didalangi berbagai faktor kepentingan, baik individu, partai dan kelompok. Kendati beberapa kali kemudian DPR menggagasi hak angket terhadap berbagai kebijakan pemerintah, semisal kasus mafia pajak, namun rasa skeptis dan apatis masyarakat terhadap wakil rakyat keburu menguat.

Tindak-tanduk keseharian anggota DPR pun semakin membuat rasa simpati publik tergerus. Kendati kerap menjadi bulan-bulanan masyarakat, baik melalui aksi demonstrasi maupun berbagai pemberitaan di media massa, namun DPR tak acuh. Justru perilaku ironis dan ketidakberpihakan pada rakyat menjadi keseharian anggota DPR. Kinerja legislasi mandul, fungsi pengawasan sekadar formalitas, manipulasi anggaran terjdi mulai dari hulu (Badan Anggaran) hingga hilir,  anggota yang sering korupsi waktu (bolos), kasus video porno dan berbagai perbuatan tak terpuji lainnya.

Hari-hari DPR juga disibukkan dengan pemborosan uang negara. Dengan gamblang kita saksikan bagaimana para wakil rakyat menghambur-hamburkan uang negara dengan alasan studi banding, dana aspirasi dan pembangunan rumah aspirasi. Begitu juga dengan rencana pembangunan gedung DPR dengan taksasi dana mencapai 1,2 triliun rupiah. Pembangunan ruang rapat banggar, perbaikan toilet dan parkir motor, pengadaan pengharum ruangan hingga obat kuat yang menghabiskan anggaran hingga puluhan miliar rupiah.

Tindakan-tindakan ini semakin mengokohkan monumen ketidakpercayaan publik terhadap DPR. Anehnya, anggota DPR terkesan tuli terhadap kuatnya suara rakyat yang menolak program-program tersebut. Mereka justru sibuk mencari alasan pembenar, menghindar dan melempar kesalahan. Seharusnya DPR bercermin pada anggota BPUPKI dan PPKI pada masa kemerdekaan dulu. Dalam keadaan darurat, bukan hanya dari segi fasilitas seperti gedung, namun juga kondisi tertekan oleh penjajah saat itu, mereka justru mampu melahirkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai karya yang begitu fenomenal, monumental dan mampu menuntun dan menjiwai bangsa ini hingga sekarang.

Penulis menjadi teringat pada pernyataan pembuka Joseph E Nye Jr (1997), dalam buku ‘The Decline of Confidence in Governance’ yang mengatakan, ‘Why People Don’t Trust Government?’ Jawabannya tentu beragam, namun intinya tak jauh dari perilaku kekuasaan yang memunggungi kehidupan publik. Hal inilah yang menjadi alasan utama kemerosotan kepercayaan publik terhadap pemerintah, termasuk DPR.

DPR seharusnya paham bahwa kekuasaan yang tersekap dalam kelalaian politik untuk memenuhi keinginan warga negara akan dengan sendirinya menerima antipati politik publik. Oleh karena itu, kekuasaan seharusnya dilaksanakan sebagai amanah, dibangun di atas kerelaan, baik yang ada pada rakyat maupun para pekerja politik. Rakyat telah merelakan sebagian hak-hak sosial politiknya untuk diurus para wakilnya di DPR. Sebaliknya, mereka yang menerima hak-hak sosial politik publik mesti memiliki kerelaan politik untuk mengurus kehidupan rakyat dengan sebaik-baiknya. Kerelaan itu tidak bisa semata-mata penghias spanduk dan orasi kampanye.

Kepercayaan publik kepada DPR akan pulih tergantung seberapa mampu DPR memperjuangkan kepentingan publik. Kedudukan sebagai anggota DPR sudah seharusnya dimaknai sebagai pengabdian, bukan lowongan pekerjaan. Oleh karena itu, mereka harus rela melayani publik dengan keberpihakan yang jelas kepada rakyat. Jika demikian, maka  anggota DPR akan mampu menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat yang dicintai konstituennya, bukan anggota DPR yang salah asuhan karena kehilangan budaya dan jati diri akibat gelimang kekuasaan. (*)

Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum USU Medan.; mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/