Pengembangan kurikulum 2013 dengan harapan mampu merubah karakter peserta didik, namun membiarkan industri dunia hiburan memberikan nilai-nilai yang tidak baik seperti memfitnah, adu domba, menghina bahkan sampai melecehkan agama tertentu, sama halnya dengan menyalakan senter ditengah gemerlap cahaya,sehingga cahaya senter itu tetap kelihatan namun redup dan tidak memberikan manfaat apapun karena tak menyentuh akar masalah kerusakan moral bangsa.
Oleh: M.Abrar Parinduri, MA
Sejak reformasi bergulir pada tahun 1998 lebih kurang 14 tahun lamanya, seakan memberikan harapan baru bagi terciptanya iklim demokrasi yang baik di Negara ini. Tidak hanya dunia Demokrasi, dunia pendidikan pun seolah tak mau ketinggalan untuk berbenah diri. Jika di zaman Orde Baru dunia pendidikan seolah terpasung ruang geraknya dengan hegemoni kekuasaan yang ditimbulkan pada waktu itu, kini mereka (pendidikan) mencoba untuk melepas belenggu tersebut dan bangkit mengejar ketertinggalan untuk membawa cita-cita dan harapan masyarakat.
Pendidikan adalah salah satu faktor strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Saya kira kita semua sepakat bahwa tidak ada satupun orang/ Pejabat/ Kepala Negara di belahan dunia manapun yang mengatakan bahwa pendidikan itu bukan sesuatu yang penting, semua mereka pasti mengatakan bahwa pendidikan adalah sesuatu hal yang sangat penting. Akan tetapi ketika mereka mengatakan itu hal penting, tinggal kita lah yang menilai pada akhirnya sejauh mana keberpihakan mereka terhadap dunia pendidikan yang katanya “penting” tersebut.
Kendatipun pendidikan tidak dapat dipandang sebagai satu-satunya instrument hebat bagi peningkatan kualitas hidup manusia, akan tetapi rasanya sulit untuk membantah sumbangan pendidikan bagi manusia dan kemanusiaan. Salah satu peristiwa hebat itu seperti diutarakan Prof Tilaar diantaranya adalah, tiga orang pemenang hadiah nobel untuk bidang ekonomi mengakui pentingnya pendidikan bagi kemajuan manusia. Pada dasa warsa 70-an, Theodore W. Schultz memperoleh hadiah nobel bidang ekonomi karena jasanya dalam memberikan pandangan bahwa pendidikan merupakan suatu investasi bagi pengembangan sumber daya manusia. Pertengahan dekade 90-an, Gary S. Becker meraih hadiah nobel karena mampu menunjukkan kaitan yang erat antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Pada dasa warsa 90-an, Armatya Sen memperoleh hadiah nobel karena membuktikan betapa investasi pendidikan merupakan sarana dalam penuntasan masalah kemiskinan dan pertumbuhan demokrasi.
Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Paulo Freire bahwa pendidikan seharusnya adalah sebagai sebuah proses humanisasi, atau yang dalam kosa kata bahasa kita sering disebut dengan pemanusiaan. Untuk memahami makna pemanusiaan itu memang tidak sederhana, sehingga diperlukan kajian yang lebih mendalam dilengkapi dengan indikator pencapaian yang diinginkan namun tetap mengacu pada kondisi kearifan lokal yang ada baik yang sengaja diciptakan maupun yang tidak sengaja tercipta. Saya katakan demikian, karena boleh jadi dalam sebuah Negara pasti akan ada kepentingan-kepentingan dari pihak luar yang coba untuk mengintervensi sebuah Negara tersebut. Banyak cara yang bisa mereka laakukan untuk menghancurkan sebuah Negara dan satu diantaranya adalah melalui jalur pendidikan.
Seharusnya pemerintah menyadari bahwa fungsi yang paling esensial dari pendidikan adalah melakukan penyadaran terhadap manusia sebagai subyek didik mengenai kedudukannya dan peranannya dalam kehidupan ini. Kata penyadaran yang dimaksud disini mengandung makna dan implikasi yang mendasar karena akan bersentuhan dengan aspek yang paling dalam dari kehidupan manusia, yaitu dinamika kejiwaan dan kerohanian. Dua aspek inilah yang dapat menjadi pendorong manusia dalam membangun kehidupan yang berkebudayaan dan berperadaban.
Membiarkan Ruang Kosong yang Menganga
Setelah Paulo Freire melakukan penyadaran kepada masyarakat kemudian ia bergerak mencari tahu apa persoalan yang paling membutuhkan penyelesaian masalah secepatnya sehingga masyarakat menjadi manusia yang memiliki nilai-nilai pendidikan, tidak hanya menjadi objek dari kepentingan penguasa pada waktu itu tetapi mampu menjadi subjek perubahan, maka secara perlahan ia memulai programnya dengan melakukan kampanye buta aksara dengan memberikan pendidikan baca tulis kepada masyarakat disana.
Persoalan dunia pendidikan yang terjadi hari ini sesungguhnya bukan terletak kurikulum belaka, akan tetapi lebih mengarah pada kondisi kultural yang terjadi di tengah-tengah masyarakat berupa kebebasan tanpa batas yang dilakukan industri media melalui acara hiburan yang lebih cenderung menularkan nilai-nilai negatif dan tidak layak untuk dipertontonkan ditengah-tengah kondisi masyarakat yang masih tergagap-gagap menghadapi kehidupannya.
Merubah kurikulum dengan harapan mampu merubah karakter peserta didik, namun membiarkan industri dunia hiburan memberikan nilai-nilai yang tidak baik seperti memfitnah, adu domba, menghina bahkan sampai melecehkan agama tertentu, sama halnya dengan menyalakan senter ditengah gemerlapan cahaya, cahaya senter itu tetap kelihatan namun redup dan tidak memberikan manfaat apapun. Pernyataan ini bukan tanpa alasan karena memang Muhammad Nuh sendiri menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya Pengembangan Kurikulum 2013 ini akan bisa dilihat hasilnya 3 sampai dengan 6 tahun yang akan datang. Jadi kita bisa membayangkan, apabila serangan kerusakan moral terhadap generasi muda kita datang bertubi-tubi melalui industri hiburan lewat sinetron dan acara-acara lain yang tidak mendidik maka apakah layak kita mengatakan bahwa Kurikulum 2013 memang tidak dirancang untuk lebih cepat menangani masalah-masalah itu. Lantas apakah kita harus menunggu 3 tahun yang akan datang untuk melihat bagaimana hasilnya, sementara serangan kerusakan moral bisa datang kapan saja tidak hanya hitungan hari tetapi juga dalam hitungan detik.
Jika Mendikbud terus membiarkan hal ini terjadi dalam artian tetap bersikukuh untuk melakukan pengembangan kurikulum 2013 namun disisi lain tetap membiarkan industri hiburan di media televisi menularkan nilai-nilai negatif berupa adu domba, cacian, hinaan dan pelecehan akan sama halnya membiarkan ruang kosong yang menganga antara pengembangan kurikulum dengan kejahatan media hiburan yang notabenenya lebih banyak diminati pada anak-anak usia sekolah. Seharusnya ruang kosong itu diisi untuk mencari jawaban secepatnya atas penyelesaian masalah yang ditimbulkan oleh media hiburan.
Saya tidak tahu, apakah program Pengembangan Kurikulum 2013 ini sengaja diciptakan oleh Muhammad Nuh untuk mengelabui masyarakat supaya ia tidak dianggap gagal dalam menangani masalah kerusakan moral yang ditimbulkan oleh industri media hiburan? Maka pengembangan Kurikulum 2013 yang ia lakukan agar masyarakat memiliki kesimpulan baru bahwa kegagalan pendidikan bukan berasal dari kejahatan media hiburan akan tetapi pada kurikulum itu sendiri. Maka melalui tulisan ini saya mengajak kita semua mari memahami masalah yang sebenarnya terjadi dalam dunia pendidikan kita, sampai matipun jika kita terus-menerus menggonta-ganti Kurikulum sementara kejahatan yang ditimbulkan oleh industri hiburan dibiarkan begitu saja, maka selama itu pula kerusakan moral generasi muda tidak akan pernah bisa diselesaikan.
Penulis: Dosen IAIN Sumatera Utara dan Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta