Oleh: Jones Gultom
Belakangan ini, kematian menjadi berita sehari-hari negeri ini. Pembantaian TKI, geng motor, tembak-menembak oleh aparat, maupun aksi-aksi bunuh diri merupakan peristiwa yang selalu terjadi setiap saat, tanpa pernah dicari tahu akar penyebabnya.
Kematian adalah puncak ritual manusia. Prosesi terhadapnya begitu diagungkan, bahkan lebih mulia dibanding kelahiran. Dengan kematian, seseorang menandai akhir perjalanan hidupnya, apakah berguna atau tidak. Pada akhirnya, kematian seseorang menjadi cermin bagi orang lain. Tak heran, jika di berbagai upacara kematian, biasanya dibacakan curriculum vitae orang yang meninggal itu.
Telah tercatat dalam sejarah, beragam kisah kematian yang menghidupkan itu. Misalnya, kematian Socrates yang membawa perubahan cara pandang sosial-agama di masa Yunani Kuno.
Yang paling dramatis tentu saja kematian Isa di kayu salib. Kematian-Nya bahkan menjadi awal babakan baru peradaban dunia. Ia tidak hanya membebaskan tapi juga memperbaharui iman para pengikut ajaran-Nya. Melalui kematian-Nya orang-orang tersadarkan, betapa iman mesti diperjuangkan demi kebersamaan.
Kematian yang menghidupkan adalah kematian yang direnungkan. Tanpa perenungan itu, tidak mungkin buah pemikiran Socrates mendengung sampai sekarang ini. Sebaliknya, kematian seseorang tidak akan berguna bagi orang lain, jika tak direnungkan. Perenungan inilah yang nantinya membuahkan kesadaran bagi manusia akan kemanusiaannya. Singkatnya, kematian yang menghidupkan hanya akan terjadi pada orang-orang yang mau memakanai kematian itu sendiri.
Kematian yang Dipolitisir
Ironisnya, di Indonesia, pengingkaran terhadap kematian justru dilakukan oleh pemerintahnya sendiri. Banyak kasus kematian yang sengaja tak dituntaskan bahkan dipolitisir. Seperti kematian aktivis HAM Munir dan beberapa mahasiswa Trisakti pasca reformasi lalu. Juga peristiwa yang terjadi Bima dan Mesuji beberapa waktu lalu. Pemerintah malah menutup-nutupi peristiwa itu.
Politisasi pun dilakukan. Pemerintah seakan tak menyadari, dengan berlaku seperti itu, ia bukan hanya telah bertindak kejahatan, tapi juga menyimpan bom waktu di “saku bajunya” sendiri. Begitu juga dengan kematian beberapa TKI baru-baru ini yang diduga korban praktik penjualan organ. Padahal ketika kematian sudah tak lagi dihargai, saat itulah manusia kehilangan kemanusiaannya.
Lihatlah kasus Sondang Hutagalung yang membakar dirinya di depan istana, beberapa wakttu lalu. Sondang adalah sebuah ironi yang kemudian memilih kematian karena sudah tak percaya lagi dengan harapan yang dijanjikan kehidupan.
Kematian yang menghidupkan diperlihatkan dengan begitu teguh oleh Pencari Keadilan, Indra Azwan.
Indra yang menuntut kasus kematian anaknya, Rifki Andika, 19 tahun lalu akibat penabarakan yang dilakukan oleh oknum polisi, Joko Sumatri, turun langsung “menjemput bola keadilan” itu. Baginya yang terpenting bukan soal ganti rugi, tapi itikad baik pemerintah untuk mengungkap kasus itu. Yang diperjuangkan Indra bukan lagi soal kematian anaknya, namun usaha ia untuk mengajarkan pemerintah dan masyarakat agar menghargai kematian yang dialami siapa dan bagaimanapun.
Harga Sebuah Kematian
Tak ada yang menarik dari sebuah kematian, kalau bukan karena beragam cerita di baliknya. Tidak heran, jika kisah-kisah kematian selalu enak untuk didengar. Bahkan sejak kecil, masyarakat Indonesia sudah disuguhi hal-hal semacam itu. Simaklah dongeng-dongeng yang akrab kita dengar, biasa berakhir dengan kematian sang tokoh protagonis.
Mengutip Novelis Agatha Christhy, kematian tak ubahnya “the daily history”; rutinitas dalam sebuah rumah tangga. Ungkapan yang sama dengan satir disebutkan Marquis de Sade, dalam romannya yang berjudul “Justine ou les Maheurs de la Vertu,”. Ia menyebut kematian tak lain adalah puncak kompetisi dan sebuah kewajaran. Menurut Sade kematian oleh kejahatan adalah wajar dan merupakan bagian penting untuk bertahan hidup.
Fenomena inilah yang sedang terjadi di Indonesia. Begitu gampang orang membunuh sesamanya, bahkan terhadap keluarga sendiri. Anak membunuh bapak. Ibu yang mencekik mati anak yang dilahirkannya sendiri merupakan realita kehidupan saat ini. Masyarakat bangsa ini tengah mengalami krisis kemanusiaannya sendiri. Nyawa begitu tak berharga sehingga tanpa merasa berdosa, bisa dihilangkan begitu saja. Mengapa masyarakat sampai kehilangan sakralitas tubuhnya itu?
Menurut saya, hal itu disebabkan banyak faktor. Pertama, dikarenakan kematian psikologis. Saat ini masyarakat telah sampai pada titik jenuh untuk hidup. Pesimisme ini memunculkan kecenderungan untuk mengakhiri hidup atau diakhiri.
Sehingga dengan sedikit saja celah, seseorang punya alasan untuk membunuh atau dibunuh. Biasanya, kondisi seperti ini subur di kelompok masyarakat grass root yang selalu hidup dalam tekanan, khususnya ekonomi. Bukankah kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran?
Kedua, politisasi yang selalu dilakukan pemerintah. Pengalaman menunjukkan, berkali-kali pemerintah mempolitisasi berbagai peristiwa yang menyangkut kematian. Maklum seringkali, justru pemerintah sendiri yang terlibat di dalam kasus.
Ketiga, kebiasaan pemerintah membohongi publik. Dalam banyak kasus, pemerintah sering berbohong, apalagi terkait dengan jumlah korban. Selalu ada usaha untuk menutup-nutupi, demi pencitraan dan kelanggengan kekuasaan. Pada akhirnya pengalaman-pengalaman itu tereduksi di alam bawah sadar masyarakat. Di saat yang sama, ketidakjujuran terhadap kematian itu, menyebabkan hilangnya nilai akan kematian itu sendiri. Bukankah Hillary Putnam (1926) pernah menyebut bahwa kematian sama sekali tidak berharga dalam masyarakat yang telah kehilangan kepeduliannya.
Keempat, tubuh yang tak lagi dihargai. Tidak hanya dalam kasus kematian, banyak fenomena yang menujukkan betapa masyarakat Indonesia kini tak lagi menghargai tubuhnya sendiri. Tubuh dijadikan produk komersial sekaligus ditempatkan di luar kisahnya sendiri. Tubuh menjadi terpisah dengan jiwa.
Tubuh sekedar ditempatkan sebagai benda keseharian yang akan berakhir, dengan sendirinya. Dengan begitu tubuh tak lagi memiliki nilai. Simaklah berbagai kasus bom bunuh diri yang berlangsung hingga saat ini. Seakan pelakunya merasa tak bersalah karena telah merelakan tubuhnya hancur-lebur.
Ia menganggap tubuhnya tak berguna sehingga dijadikan korban demi keselamatan jiwa. Padahal menurut penulis, tubuh dan jiwa adalah satu kesatuan yang tak mungkin dipisah-pisahkan. Sekiranya tubuh tak ada, dimanakah jiwa itu akan berumah? Mudah-mudahan Paskah ini menghidupkan kembali keutuhan kemanusiaan kita. (*)
(Penulis adalah pemerhati budaya)