25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Wakil Rakyat, Pejabat dan Nikah Siri

Dalam bahasa Arab, kata “wakil” memiliki arti tempat bersandar. Tidak salah jika muncul persepsi, jika sesorang ditimpa problem yang sangat berat, bertawakallah pada Allah. 

Oleh: Ahmad Amin

Kata tawakkal pada Allah berarti bersandar kepada-Nya, untuk mengadukan persoalan kita agar memperoleh pertolongan dan solusi. Hasbunallah wa ni’malwakil, Allah adalah sebaik-baik wakil, tempat bersandar dan mengadu. Demikian dinyatakan dalam Al-Qur’an.

Memang memiliki perbedaan konotasi ketika kata “wakil” dilekatkan pada Tuhan dan pada jabatan yang diemban manusia. Tuhan adalah sebaik-baik wakil (nimalwakil) atau tempat bersandar yang bersifat absolut mengatasi kekuatan dan kekuasaan hamba-Nya.

Namun begitu, ketika kata wakil disematkan  pada manusia tetap memiliki pesan yang sama. Bahwa siapapun yang menduduki wakil harus siap dan mampu menjadi tempat sandaran bagi yang diwakili. Jadi, wakil bukan sekadar “ban serep”, bukan “hiasan dan pelengkap birokrasi”.

Tradisi barat memaknai kata “wakil” sebagai sebuah representasi. Wakil rakyat berarti sebagai representasi rakyat. Sangat tidak masuk akal jika para wakil rakyat tidak memahami dan memperjuangkan nasib rakyat. Realita yang terjadi bahkan lebih naas lagi, tiap kali pemilu datang rakyat hanya dieksploitasi suaranya sebagai stimulan jalan calon wakil rakyat untuk memperoleh posisi yang strategis.

Yang lebih memprihatinkan adalah ketika negara ini melakukan seleksi anggota wakil rakyat, sampai pada pelantikan dan pelaksanaan tugas yang harus diemban dapat dikatakan masih mengabaikan prinsip kualitas dan moralitas.

Seorang wakil rakyat tidak boleh tidak harus memiliki kesiapan mental dan kapasitas profesional sebagai tempat sandaran dan pengaduan bagi rakyat. Yang terjadi saat ini justru mereka yang duduk di kursi-kursi DPR adalah pribadi yang belum siap menjadi sandaran rakyat. Mayoritas wakil rakyat yang ada saat ini memperoleh kedudukannya lewat perantara uang, bukan karena keunggulan dan integritasnya.

Fasilitas yang diterima wakil rakyat sungguh berbanding terbalik dangan kontribusi dan dedikasi yang mereka berikan untuk rakyat. Yang terjadi justru rakyat semakin dibuat geram oleh perilaku-perilaku wakil rakyat yang notabene adalah wakil untuknya. Kepercayaan terhadap wakil rakyat dari hari ke hari semakin pudar.

Bagaimana tidak membuat rakyat marah! Mereka dengan mudahnya melancong ke luar negeri dengan alasan studi banding, tentu hal tersebut menghabiskan dana yang tak sedikit. Belum lagi dengan proyek pengadaan kursi dan renovasi wc banggar DPR yang menghabiskan puluhan milyar rupiah.

Fenomena Nikah Siri

Nikah siri memang belum membudaya di Indonesia, sehingga pelakunya cenderung sembunyi-sembunyi. Maka tidak mengherankan, meskipun status pernikahan mereka sudah sah namun tidak diketahui oleh masyarakat.

Yang paling hangat diperbincangkan masyarakat saat ini adalah fenomena nikah kilat Bupati Garut Aceng Fikri. Mungkin itu adalah fenomena ke sekian kalinya yang terekspos media. Nikah siri seolah menjadi tradisi di kalangan pejabat dan wakil rakyat saat ini.

Mengapa begitu mudahnya perempuan mau diajak nikah siri oleh pejabat dan wakil rakyat? Faktor tuntutan hidup yang menjadi alasan utama. Dalam benak masyarakat pejabat mempunyai kasta tertinggi yang diyakini mampu mengangkat taraf kehidupan seseorang. Mentalitas materialistis begitu menghegemoni paradigma mayarakat di negeri ini.

Padahal jika dicermati nikah siri memiliki banyak kelemahan bagi pejabat. Nikah siri adalah nikah yang tidak dicatatkan. Hal ini sangat bertentangan dengan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa telah mengesahkan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan menggunakannya dengan UU No 7 Tahun 1984.

Di mana diatur mengenai salah satu bentuk kewajiban negara, yaitu menjamin pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara tidak melakukan suatu tindakan atau praktik diskriminasi terhadap perempuan (Pasal 2 huruf d). Dan ini pun tersiar dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur dalam UU ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Di samping itu, nikah siri juga mempunyai dampak. Posisi perempuan menjadi lemah di mata hukum yang pada akhirnya menghalangi pemenuhan HAM perempuan dan anak. Seperti suami ingin menikah lagi, penelantaran rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, masalah harta bersama, hak anak dll.

Dari kasus Bupati Garut tentu saja mengindikasikan ketidakpatuhan pejabat pemerintahan terhadap peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan HAM. Perilaku ini mencerminkan betapa masih mengakar pandangan yang mendiskriminasi perempuan, serta tidak memahami kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi HAM perempuan. Untuk itu perlu adanya sanksi terhadap perbuatan tersebut, baik sanksi administrasi maupun sanksi lain sesuai aturan hukum yang berlaku.

Biar bagaimanapun, istri merupakan bagian hidup dari suami. Tidak sepatutnya istri hanya dijadikan formalitas belaka. Apa gunanya memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat, akan tetapi tidak memberikan rasa terbaik bagi sang istri. Wallahu A’lam Bi Al-Shawab

Penulis: Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) IAIN Walisongo Semarang

Dalam bahasa Arab, kata “wakil” memiliki arti tempat bersandar. Tidak salah jika muncul persepsi, jika sesorang ditimpa problem yang sangat berat, bertawakallah pada Allah. 

Oleh: Ahmad Amin

Kata tawakkal pada Allah berarti bersandar kepada-Nya, untuk mengadukan persoalan kita agar memperoleh pertolongan dan solusi. Hasbunallah wa ni’malwakil, Allah adalah sebaik-baik wakil, tempat bersandar dan mengadu. Demikian dinyatakan dalam Al-Qur’an.

Memang memiliki perbedaan konotasi ketika kata “wakil” dilekatkan pada Tuhan dan pada jabatan yang diemban manusia. Tuhan adalah sebaik-baik wakil (nimalwakil) atau tempat bersandar yang bersifat absolut mengatasi kekuatan dan kekuasaan hamba-Nya.

Namun begitu, ketika kata wakil disematkan  pada manusia tetap memiliki pesan yang sama. Bahwa siapapun yang menduduki wakil harus siap dan mampu menjadi tempat sandaran bagi yang diwakili. Jadi, wakil bukan sekadar “ban serep”, bukan “hiasan dan pelengkap birokrasi”.

Tradisi barat memaknai kata “wakil” sebagai sebuah representasi. Wakil rakyat berarti sebagai representasi rakyat. Sangat tidak masuk akal jika para wakil rakyat tidak memahami dan memperjuangkan nasib rakyat. Realita yang terjadi bahkan lebih naas lagi, tiap kali pemilu datang rakyat hanya dieksploitasi suaranya sebagai stimulan jalan calon wakil rakyat untuk memperoleh posisi yang strategis.

Yang lebih memprihatinkan adalah ketika negara ini melakukan seleksi anggota wakil rakyat, sampai pada pelantikan dan pelaksanaan tugas yang harus diemban dapat dikatakan masih mengabaikan prinsip kualitas dan moralitas.

Seorang wakil rakyat tidak boleh tidak harus memiliki kesiapan mental dan kapasitas profesional sebagai tempat sandaran dan pengaduan bagi rakyat. Yang terjadi saat ini justru mereka yang duduk di kursi-kursi DPR adalah pribadi yang belum siap menjadi sandaran rakyat. Mayoritas wakil rakyat yang ada saat ini memperoleh kedudukannya lewat perantara uang, bukan karena keunggulan dan integritasnya.

Fasilitas yang diterima wakil rakyat sungguh berbanding terbalik dangan kontribusi dan dedikasi yang mereka berikan untuk rakyat. Yang terjadi justru rakyat semakin dibuat geram oleh perilaku-perilaku wakil rakyat yang notabene adalah wakil untuknya. Kepercayaan terhadap wakil rakyat dari hari ke hari semakin pudar.

Bagaimana tidak membuat rakyat marah! Mereka dengan mudahnya melancong ke luar negeri dengan alasan studi banding, tentu hal tersebut menghabiskan dana yang tak sedikit. Belum lagi dengan proyek pengadaan kursi dan renovasi wc banggar DPR yang menghabiskan puluhan milyar rupiah.

Fenomena Nikah Siri

Nikah siri memang belum membudaya di Indonesia, sehingga pelakunya cenderung sembunyi-sembunyi. Maka tidak mengherankan, meskipun status pernikahan mereka sudah sah namun tidak diketahui oleh masyarakat.

Yang paling hangat diperbincangkan masyarakat saat ini adalah fenomena nikah kilat Bupati Garut Aceng Fikri. Mungkin itu adalah fenomena ke sekian kalinya yang terekspos media. Nikah siri seolah menjadi tradisi di kalangan pejabat dan wakil rakyat saat ini.

Mengapa begitu mudahnya perempuan mau diajak nikah siri oleh pejabat dan wakil rakyat? Faktor tuntutan hidup yang menjadi alasan utama. Dalam benak masyarakat pejabat mempunyai kasta tertinggi yang diyakini mampu mengangkat taraf kehidupan seseorang. Mentalitas materialistis begitu menghegemoni paradigma mayarakat di negeri ini.

Padahal jika dicermati nikah siri memiliki banyak kelemahan bagi pejabat. Nikah siri adalah nikah yang tidak dicatatkan. Hal ini sangat bertentangan dengan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa telah mengesahkan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan menggunakannya dengan UU No 7 Tahun 1984.

Di mana diatur mengenai salah satu bentuk kewajiban negara, yaitu menjamin pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara tidak melakukan suatu tindakan atau praktik diskriminasi terhadap perempuan (Pasal 2 huruf d). Dan ini pun tersiar dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur dalam UU ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Di samping itu, nikah siri juga mempunyai dampak. Posisi perempuan menjadi lemah di mata hukum yang pada akhirnya menghalangi pemenuhan HAM perempuan dan anak. Seperti suami ingin menikah lagi, penelantaran rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, masalah harta bersama, hak anak dll.

Dari kasus Bupati Garut tentu saja mengindikasikan ketidakpatuhan pejabat pemerintahan terhadap peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan HAM. Perilaku ini mencerminkan betapa masih mengakar pandangan yang mendiskriminasi perempuan, serta tidak memahami kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi HAM perempuan. Untuk itu perlu adanya sanksi terhadap perbuatan tersebut, baik sanksi administrasi maupun sanksi lain sesuai aturan hukum yang berlaku.

Biar bagaimanapun, istri merupakan bagian hidup dari suami. Tidak sepatutnya istri hanya dijadikan formalitas belaka. Apa gunanya memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat, akan tetapi tidak memberikan rasa terbaik bagi sang istri. Wallahu A’lam Bi Al-Shawab

Penulis: Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) IAIN Walisongo Semarang

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/