26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Politik Pendidikan Nasional Masih Rapuh

Benni Sinaga

Politik pendidikan nasional jelas sudah digariskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, faktanya saat ini politik pendidikan nasional kita telah sengaja dibelokkan sehingga arah pendidikan semakin kabur dan tidak terarah, karena keberpihakan pemerintah kepada pemodal, bukan kepada rakyat.

Salah satu indikasi pokoknya  yakni dengan  adanya  pelepasan tanggungjawab pemerintah terhadap pendidikan. Hal ini terbukti dengan diserahkannya pendidikan kepada pasar, terjadi komersialisasi pendidikan.

Padahal, konstitusi sudah jelas-jelas mengamanatkan bahwa pemerintah bertanggungjawab memberikan pendidikan yang bermutu kepada semua warga negara tanpa terkecuali. Ketika pendidikan diserahkan kepada pasar, timbullah berbagai penyakit bangsa yang berdampak buruk pada masyarakat miskin negeri ini.

Pertama, komersialisasi pendidikan mengakibatkan biaya pendidikan melambung tinggi. Tak ada lagi pendidikan gratis bagi rakyat. Tentu yang paling dikorbankan adalah orang miskin. Orang miskin akan semakin sulit mendapatkan akses pendidikan. Padahal separuh dari jumlah penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.

Maka tidak heran lagi jika kesenjangan pun semakin melebar. Bukan hanya antara daerah pinggiran (pedesaan) dengan perkotaan, atau antara Indonesia Barat dengan Timur, tetapi termasuk pembagian sekolah berdasarkan standar.

Ada sekolah standar internasional, nasional, dan pinggiran. Darmaningtiyas mengistilahkan ini kastanisasi sekolah. Perbedaan itu menyangkut fasilitas pendidikan, kualitas pendidik, dan perhatian dari pemerintah.

Sebagaimana disebutkan di atas, hingga saat ini sedang berlangsung privatisasi besar-besaran di tubuh pendidikan, gejolak yang muncul adalah ketidakadilan penganggaran pendidikan, minimnya kesempatan bagi kelompok-kelompok rentan, minoritas, kelompok yang berada dalam kondisi sulit seperti kemiskinan, konflik dan kelompok masyarakat adat untuk mendapatkan pendidikan dan rendahnya partisipasi pendidik (guru) dalam tata kelola pendidikan.

Undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003  menjadi  corong legalisasi penyebab terjadinya disorientasi pendidikan. Hal ini jelas terlihat dari beberapa pasal yang dijadikan sebagai landasan secara sepihak, baik oleh pemerintah dari pusat hingga daerah maupun institusi pendidikan (perguruan tinggi, sekolah menengah atas, menengah pertama dan sekolah dasar). Baik yang berstatus negeri maupun swasta.

Secara nyata rakyat merasakan  betapa anarkinya kebijakan pendidikan dari pusat sampai daerah, khususnya menjelang tahun ajaran baru 2011/2012. Parahnya, mahalnya biaya pendidikan tidak hanya berlaku  pada satu jenjang pendidikan saja.

Dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi pun sudah berlaku. Seolah tidak ada lagi kontrol yang tegas dari pihak-pihak yang mengaku peduli terhadap masa depan anak bangsa. Ini ibarat penomena gunung es yang tidak transparan.

Bagaimana tidak, beberapa perguruan tinggi telah menerapkan berbagai jalur pendidikan disertai dengan variasi biaya semester, uang pangkal dan pungutan lainnya yang berlipat ganda dari kelas regular.

Sekolah menengah pertama dan menengah atas juga tidak luput. Pembukaan kelas-kelas berbiaya sangat tinggi semakin marak contohnya pembukaan kelas unggulan. Sekolah Bertaraf Internasional dirintis pada 100 sekolah SMP, SMA/SMK di seluruh Indonesia. Kelas internasional yang kurikulumnya, sepenuhnya merujuk ke Cambridge atau International Baccalaureate pembayarannya sangat  mahal.

Sebagai contoh, SMA Negeri Jakarta 70 yang membuka kelas internasional beberapa tahun lalu, dan menjadi sekolah unggulan, uang masuk yang dikenakan mencapai Rp 31 juta. Tahun pertama dan tahun kedua, masing-masing Rp 25 juta, belum termasuk uang semester yang dibayar enam bulan sekali. Selain mahal dan mendapat subsidi dari pemerintah sebesar Rp 500 juta, pengelolaan keuangannya tidak transparan.

Dimana hanya pengelolanya dan kepala sekolah yang tahu. Selain itu, tiap tahun pengelola kelas internasional harus membayar dalam jumlah yang besar ke Cambridge. Tahun 2009 yang lalu, para siswa baru kelas reguler SMA 70 harus membayar Rp11 juta, ditambah Rp450.000 per bulan, dan kelas akselerasi Rp1 juta per bulan.

Dengan pembayaran sebesar itu, banyak orang tua siswa yang mengeluh dan merasa berat, apa lagi kalau diberlakukan sekolah bertaraf internasional yang syaratnya harus mandiri keuangan dan kurikulum. (kompas.com 25/4/2010).

Semua masalah di atas haruslah  direspon oleh pihak-pihak terutama pihak pendidik, pelajar/mahasiswa dan rakyat termarjinal lainnya. Sehingga mengetahui kondisi objektifnya. Respon ini juga hendaknya diikuti dengan langkah advokasi  terhadap korban ketidakadilan pendidikan.

Langkah  monitoring  juga hendaknya terus dilakukan oleh elemen rakyat untuk menuntut tanggung jawab negara dalam memenuhi pendidikan yang adil.
Pendidikan adalah suatu upaya sadar dan terencana untuk memperlengkapi seseorang atau sekelompok orang guna membebaskan atau membimbing seseorang atau kelompok orang tersebut dari satu tahapan hidup ke tahapan hidup lainnya yang lebih baik.

Membicarakan pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari situasi di lapangan, termasuk tantangan global, dan sistem pendidikan yang sesuai dengan situasi dan tantangan tersebut.

Kenyataannya, pendidikan di Indonesia saat ini sudah melenceng jauh dari  visi pendidikan nasional. Adapun visi pendidikan nasional adalah untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) bermutu, berkarakter (cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual), mandiri, kreatif, dan kritis, serta peduli pada persoalan hidup di sekitarnya. Reformasi Pendidikan Nasional menjadi solusi yang tepat untuk memperbaiki pendidikan Nasional bangsa ini.
Dalam hal ini, kita sedang menghadapi persoalan besar dengan hilangnya roh pendidikan itu sendiri. Secara tidak langsung, sistem pendidikan nasional saat ini sedang menciptakan segregasi sosial atau pengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi dan agama.
Anggaran yang 20 persen dari APBN untuk biaya pendidikan tidak menjamin kepada peningkatan mutu pendidikan nasional secara menyeluruh, tetapi hanyalah menyuburkan pragmatisme dan menjadi ladang subur korupsi di bidang pendidikan, dana Biaya Operasional sekolah yang belum direalisasikan dan pencairannya yang mandek. Artinya, pendidikan hanya menjadi sebuah bagian industri padat modal.
Hal ini dapat dilihat dari promosi besar pendidikan berbasis IT, sertifikasi ISO, menjamurnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), slogan World Class University, dan lain-lain.
Ada pun maksud pemerintah untuk membantu masyarakat miskin untuk kuliah di perguruan tinggi, sering tak terealisasi dengan baik. Memang, niat pada awalnya sungguh mulia, tetapi waktulah yang akan mengujinya.
Niat pemerintah memang baik, tetapi fakta dilapangam berbicara lain. Antara harapan dan kenyataan soal perbaikan pendidikan terdapat jurang yang begitu lebar. Semua itu membentuk watak pendidikan menjadi seperti korporasi.
Ditambah bentuk fisik sekolah banyak yang rusak, tidak beratap, kurang bangku, perpustakaan yang tidak standar, dan laboratorium yang belum lengkap peralatannya yang membatasi kepada kreativitas siswa dan mahasiswa, apalagi kebijakan UN yang didengung-dengungkan pemerintah yang mengarah pada pembodohan kolektif, memaksa guru dan murid-murid berbuat curang atas kebijakan tersebut. Dengan Ujian Nasional (UN), nasib anak ditentukan dengan angka (kognitif) bukan kepada kualitas atau isi. UN mengerdilkan hakekat dan tujuan pendidikan nasional.

Penulis adalah Dosen STIE IBMI Medan

Peran guru hilang saat kebijakan UN dicetuskan, tugas guru seharusnya adalah pemberdayaan (empowerment) bukan sebagai penaklukan dan penjinakan.
UN membuat Martabat dan wibawa guru hilang. Hak guru dirampas, padahal tidak dapat dipungkiri bahwa guru berperan besar terhadap pembentukan kepribadian anak. Gurulah yang lebih piawai membantu siswa mengasah diri anak didiknya serta menemukan jati dirinya sebagai manusia seutuhnya.
Kompleksitas permasalahan pendidikan Indonesia yang sangat memprihatinkan itu membuktikan bahwa negara telah gagal dalam mewujudkan tujuannya sesuai dengan apa yang termaktub dalam pasal 31 UUD tahun 1945, yang menyatakan semua warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang baik.
Menyikapi permasalahan yang begitu banyak butuh reformasi pendidikan secara keseluruhan. Dan reformasi pendidikan menjadi jawaban untuk  membawa perubahan pendidikan nasional ke arah yang lebih baik. (*)

Penulis adalah Dosen STIE IBMI Medan

Benni Sinaga

Politik pendidikan nasional jelas sudah digariskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, faktanya saat ini politik pendidikan nasional kita telah sengaja dibelokkan sehingga arah pendidikan semakin kabur dan tidak terarah, karena keberpihakan pemerintah kepada pemodal, bukan kepada rakyat.

Salah satu indikasi pokoknya  yakni dengan  adanya  pelepasan tanggungjawab pemerintah terhadap pendidikan. Hal ini terbukti dengan diserahkannya pendidikan kepada pasar, terjadi komersialisasi pendidikan.

Padahal, konstitusi sudah jelas-jelas mengamanatkan bahwa pemerintah bertanggungjawab memberikan pendidikan yang bermutu kepada semua warga negara tanpa terkecuali. Ketika pendidikan diserahkan kepada pasar, timbullah berbagai penyakit bangsa yang berdampak buruk pada masyarakat miskin negeri ini.

Pertama, komersialisasi pendidikan mengakibatkan biaya pendidikan melambung tinggi. Tak ada lagi pendidikan gratis bagi rakyat. Tentu yang paling dikorbankan adalah orang miskin. Orang miskin akan semakin sulit mendapatkan akses pendidikan. Padahal separuh dari jumlah penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.

Maka tidak heran lagi jika kesenjangan pun semakin melebar. Bukan hanya antara daerah pinggiran (pedesaan) dengan perkotaan, atau antara Indonesia Barat dengan Timur, tetapi termasuk pembagian sekolah berdasarkan standar.

Ada sekolah standar internasional, nasional, dan pinggiran. Darmaningtiyas mengistilahkan ini kastanisasi sekolah. Perbedaan itu menyangkut fasilitas pendidikan, kualitas pendidik, dan perhatian dari pemerintah.

Sebagaimana disebutkan di atas, hingga saat ini sedang berlangsung privatisasi besar-besaran di tubuh pendidikan, gejolak yang muncul adalah ketidakadilan penganggaran pendidikan, minimnya kesempatan bagi kelompok-kelompok rentan, minoritas, kelompok yang berada dalam kondisi sulit seperti kemiskinan, konflik dan kelompok masyarakat adat untuk mendapatkan pendidikan dan rendahnya partisipasi pendidik (guru) dalam tata kelola pendidikan.

Undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003  menjadi  corong legalisasi penyebab terjadinya disorientasi pendidikan. Hal ini jelas terlihat dari beberapa pasal yang dijadikan sebagai landasan secara sepihak, baik oleh pemerintah dari pusat hingga daerah maupun institusi pendidikan (perguruan tinggi, sekolah menengah atas, menengah pertama dan sekolah dasar). Baik yang berstatus negeri maupun swasta.

Secara nyata rakyat merasakan  betapa anarkinya kebijakan pendidikan dari pusat sampai daerah, khususnya menjelang tahun ajaran baru 2011/2012. Parahnya, mahalnya biaya pendidikan tidak hanya berlaku  pada satu jenjang pendidikan saja.

Dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi pun sudah berlaku. Seolah tidak ada lagi kontrol yang tegas dari pihak-pihak yang mengaku peduli terhadap masa depan anak bangsa. Ini ibarat penomena gunung es yang tidak transparan.

Bagaimana tidak, beberapa perguruan tinggi telah menerapkan berbagai jalur pendidikan disertai dengan variasi biaya semester, uang pangkal dan pungutan lainnya yang berlipat ganda dari kelas regular.

Sekolah menengah pertama dan menengah atas juga tidak luput. Pembukaan kelas-kelas berbiaya sangat tinggi semakin marak contohnya pembukaan kelas unggulan. Sekolah Bertaraf Internasional dirintis pada 100 sekolah SMP, SMA/SMK di seluruh Indonesia. Kelas internasional yang kurikulumnya, sepenuhnya merujuk ke Cambridge atau International Baccalaureate pembayarannya sangat  mahal.

Sebagai contoh, SMA Negeri Jakarta 70 yang membuka kelas internasional beberapa tahun lalu, dan menjadi sekolah unggulan, uang masuk yang dikenakan mencapai Rp 31 juta. Tahun pertama dan tahun kedua, masing-masing Rp 25 juta, belum termasuk uang semester yang dibayar enam bulan sekali. Selain mahal dan mendapat subsidi dari pemerintah sebesar Rp 500 juta, pengelolaan keuangannya tidak transparan.

Dimana hanya pengelolanya dan kepala sekolah yang tahu. Selain itu, tiap tahun pengelola kelas internasional harus membayar dalam jumlah yang besar ke Cambridge. Tahun 2009 yang lalu, para siswa baru kelas reguler SMA 70 harus membayar Rp11 juta, ditambah Rp450.000 per bulan, dan kelas akselerasi Rp1 juta per bulan.

Dengan pembayaran sebesar itu, banyak orang tua siswa yang mengeluh dan merasa berat, apa lagi kalau diberlakukan sekolah bertaraf internasional yang syaratnya harus mandiri keuangan dan kurikulum. (kompas.com 25/4/2010).

Semua masalah di atas haruslah  direspon oleh pihak-pihak terutama pihak pendidik, pelajar/mahasiswa dan rakyat termarjinal lainnya. Sehingga mengetahui kondisi objektifnya. Respon ini juga hendaknya diikuti dengan langkah advokasi  terhadap korban ketidakadilan pendidikan.

Langkah  monitoring  juga hendaknya terus dilakukan oleh elemen rakyat untuk menuntut tanggung jawab negara dalam memenuhi pendidikan yang adil.
Pendidikan adalah suatu upaya sadar dan terencana untuk memperlengkapi seseorang atau sekelompok orang guna membebaskan atau membimbing seseorang atau kelompok orang tersebut dari satu tahapan hidup ke tahapan hidup lainnya yang lebih baik.

Membicarakan pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari situasi di lapangan, termasuk tantangan global, dan sistem pendidikan yang sesuai dengan situasi dan tantangan tersebut.

Kenyataannya, pendidikan di Indonesia saat ini sudah melenceng jauh dari  visi pendidikan nasional. Adapun visi pendidikan nasional adalah untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) bermutu, berkarakter (cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual), mandiri, kreatif, dan kritis, serta peduli pada persoalan hidup di sekitarnya. Reformasi Pendidikan Nasional menjadi solusi yang tepat untuk memperbaiki pendidikan Nasional bangsa ini.
Dalam hal ini, kita sedang menghadapi persoalan besar dengan hilangnya roh pendidikan itu sendiri. Secara tidak langsung, sistem pendidikan nasional saat ini sedang menciptakan segregasi sosial atau pengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi dan agama.
Anggaran yang 20 persen dari APBN untuk biaya pendidikan tidak menjamin kepada peningkatan mutu pendidikan nasional secara menyeluruh, tetapi hanyalah menyuburkan pragmatisme dan menjadi ladang subur korupsi di bidang pendidikan, dana Biaya Operasional sekolah yang belum direalisasikan dan pencairannya yang mandek. Artinya, pendidikan hanya menjadi sebuah bagian industri padat modal.
Hal ini dapat dilihat dari promosi besar pendidikan berbasis IT, sertifikasi ISO, menjamurnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), slogan World Class University, dan lain-lain.
Ada pun maksud pemerintah untuk membantu masyarakat miskin untuk kuliah di perguruan tinggi, sering tak terealisasi dengan baik. Memang, niat pada awalnya sungguh mulia, tetapi waktulah yang akan mengujinya.
Niat pemerintah memang baik, tetapi fakta dilapangam berbicara lain. Antara harapan dan kenyataan soal perbaikan pendidikan terdapat jurang yang begitu lebar. Semua itu membentuk watak pendidikan menjadi seperti korporasi.
Ditambah bentuk fisik sekolah banyak yang rusak, tidak beratap, kurang bangku, perpustakaan yang tidak standar, dan laboratorium yang belum lengkap peralatannya yang membatasi kepada kreativitas siswa dan mahasiswa, apalagi kebijakan UN yang didengung-dengungkan pemerintah yang mengarah pada pembodohan kolektif, memaksa guru dan murid-murid berbuat curang atas kebijakan tersebut. Dengan Ujian Nasional (UN), nasib anak ditentukan dengan angka (kognitif) bukan kepada kualitas atau isi. UN mengerdilkan hakekat dan tujuan pendidikan nasional.

Penulis adalah Dosen STIE IBMI Medan

Peran guru hilang saat kebijakan UN dicetuskan, tugas guru seharusnya adalah pemberdayaan (empowerment) bukan sebagai penaklukan dan penjinakan.
UN membuat Martabat dan wibawa guru hilang. Hak guru dirampas, padahal tidak dapat dipungkiri bahwa guru berperan besar terhadap pembentukan kepribadian anak. Gurulah yang lebih piawai membantu siswa mengasah diri anak didiknya serta menemukan jati dirinya sebagai manusia seutuhnya.
Kompleksitas permasalahan pendidikan Indonesia yang sangat memprihatinkan itu membuktikan bahwa negara telah gagal dalam mewujudkan tujuannya sesuai dengan apa yang termaktub dalam pasal 31 UUD tahun 1945, yang menyatakan semua warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang baik.
Menyikapi permasalahan yang begitu banyak butuh reformasi pendidikan secara keseluruhan. Dan reformasi pendidikan menjadi jawaban untuk  membawa perubahan pendidikan nasional ke arah yang lebih baik. (*)

Penulis adalah Dosen STIE IBMI Medan

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/