25.2 C
Medan
Saturday, June 22, 2024

Batak di Mata Penulis Sejarah Asing Itu Seram

Pengamat Sejarah, Nikolas Simajuntak:

Dari sejumlah penelitian yang ia lakukan, pengamat sejarah Nikolas Simajuntak menilai bahwa identitas Batak pada dasarnya bukan diciptakan oleh musafir barat. Namun mereka menuliskan tentang batak, setelah mendengar dari etnis lain di luar batak.

Hal ini diungkapkan Nikolas kepada koran ini, sebab dari sejumlah buku disebutkan bahwa pada jaman masuknya Inggris dan Eropa ke tanah Nusantara, mereka tidak bisa masuk ke dalam wilayah suku Batak. “Jadi ini yang disebut pendapat orientalis. Artinya orang barat melihat timur, selalu melihat yang jeleknya,”ungkapnya kemudian.

Apalagi orang Batak ketika itu menurutnya kemudian, dikenal sebagai suku yang seakan kanibalisme. “Mereka mendengar kalau kanibalisme itu begitu seram, sehingga mereka tulis dan menganggapnya jelek. Karena di Eropa pada masa itu sudah tidak ada lagi kanibalisme. Batak itu sendiri konotasinya jelek. Artinya suku yang ganas dan suka perang.”Padahal menurut Nikolas kemudian, para penulis Eropa ketika itu, tidak memahami bahwa kanibalisme merupakan hukum acara untuk menghukum orang dan musuh. “Dahulu kalau terjadi sebuah sengketa, maka diselesaikan dengan pertarungan. Lalu hukumnya siapa yang kalah, dia salah. Nah karena orang Batak dulu masih menganut paham animisme, maka ketika musuh kalah, maka harus dihabisi bukan hanya fisiknya saja, tapi juga rohnya harus dihabisi.”

Makanya setelah mati ungkap Nikolas, bagian-bagian tertentu dari musuh, dimakan. Hal ini sebagaimana keyakinan ketika itu, untuk membinasakan roh dari musuh tersebut. “Nah ini yang tidak dipahami para penulis tersebut.” Selain itu hal yang tidak diketahui banyak penulis Eropa ketika itu, dalam hukum batak juga menurut Nikolas, sebenarnya tidak seluruhnya pihak yang kalah akan dibunuh. Namun ada juga ketika seseorang minta ampun, maka ia menjadi budak dari yang menang. Atau diusir dari kampung tersebut. “Tapi yang lebih keras, memang dia dihukum mati atau dipancung. seperti di Timur Tengah.”

Nikolas sendiri menemukan fakta sejarah ini, saat ia meneliti yang kemudian melahirkan buku “Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum” tahun 2009 lalu. Dalam buku tersebut ada bagian tentang sejarah hukum acara di Indonesia. “Jadi saya meneliti bagaimana hukum acara terjadi di suku-suku primitif. Kebetulan saya mencoba mencari sejarah hukum kita ini, supaya kita jangan impor-impor melulu.”

Saat ini sendiri, peninggalan budaya kanibalisme dalam adat batak menurut Nikolas kemudian, masih dapat dilihat. Salah satunya dalam adat pangolihon boru (mengawinkan anak perempuan). “Kenapa pinahan (ternak) yang mangolu (hidup) yang dijadikan adat. Inilah tuhor, karena ketika borunya diambil, rohnya ikut hilang dari tengah keluarga tersebut. Makanya kalau diikuti adat-adat, jambar-jambar, itu berasal dari adat perang semua. Karena dulu mengambil perempuan, harus perang.” Menariknya dibalik penyebutan sejarah bahwa batak berkonotasi jelek, Nikolas justru bersyukur. Sebab dengan demikian orang batak menjadi sadar dan introspeksi diri, hingga dapat berubah seperti sekarang ini. Dimana orang batak dapat berperan begitu luarbiasa di seluruh dunia.(gir)

Pengamat Sejarah, Nikolas Simajuntak:

Dari sejumlah penelitian yang ia lakukan, pengamat sejarah Nikolas Simajuntak menilai bahwa identitas Batak pada dasarnya bukan diciptakan oleh musafir barat. Namun mereka menuliskan tentang batak, setelah mendengar dari etnis lain di luar batak.

Hal ini diungkapkan Nikolas kepada koran ini, sebab dari sejumlah buku disebutkan bahwa pada jaman masuknya Inggris dan Eropa ke tanah Nusantara, mereka tidak bisa masuk ke dalam wilayah suku Batak. “Jadi ini yang disebut pendapat orientalis. Artinya orang barat melihat timur, selalu melihat yang jeleknya,”ungkapnya kemudian.

Apalagi orang Batak ketika itu menurutnya kemudian, dikenal sebagai suku yang seakan kanibalisme. “Mereka mendengar kalau kanibalisme itu begitu seram, sehingga mereka tulis dan menganggapnya jelek. Karena di Eropa pada masa itu sudah tidak ada lagi kanibalisme. Batak itu sendiri konotasinya jelek. Artinya suku yang ganas dan suka perang.”Padahal menurut Nikolas kemudian, para penulis Eropa ketika itu, tidak memahami bahwa kanibalisme merupakan hukum acara untuk menghukum orang dan musuh. “Dahulu kalau terjadi sebuah sengketa, maka diselesaikan dengan pertarungan. Lalu hukumnya siapa yang kalah, dia salah. Nah karena orang Batak dulu masih menganut paham animisme, maka ketika musuh kalah, maka harus dihabisi bukan hanya fisiknya saja, tapi juga rohnya harus dihabisi.”

Makanya setelah mati ungkap Nikolas, bagian-bagian tertentu dari musuh, dimakan. Hal ini sebagaimana keyakinan ketika itu, untuk membinasakan roh dari musuh tersebut. “Nah ini yang tidak dipahami para penulis tersebut.” Selain itu hal yang tidak diketahui banyak penulis Eropa ketika itu, dalam hukum batak juga menurut Nikolas, sebenarnya tidak seluruhnya pihak yang kalah akan dibunuh. Namun ada juga ketika seseorang minta ampun, maka ia menjadi budak dari yang menang. Atau diusir dari kampung tersebut. “Tapi yang lebih keras, memang dia dihukum mati atau dipancung. seperti di Timur Tengah.”

Nikolas sendiri menemukan fakta sejarah ini, saat ia meneliti yang kemudian melahirkan buku “Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum” tahun 2009 lalu. Dalam buku tersebut ada bagian tentang sejarah hukum acara di Indonesia. “Jadi saya meneliti bagaimana hukum acara terjadi di suku-suku primitif. Kebetulan saya mencoba mencari sejarah hukum kita ini, supaya kita jangan impor-impor melulu.”

Saat ini sendiri, peninggalan budaya kanibalisme dalam adat batak menurut Nikolas kemudian, masih dapat dilihat. Salah satunya dalam adat pangolihon boru (mengawinkan anak perempuan). “Kenapa pinahan (ternak) yang mangolu (hidup) yang dijadikan adat. Inilah tuhor, karena ketika borunya diambil, rohnya ikut hilang dari tengah keluarga tersebut. Makanya kalau diikuti adat-adat, jambar-jambar, itu berasal dari adat perang semua. Karena dulu mengambil perempuan, harus perang.” Menariknya dibalik penyebutan sejarah bahwa batak berkonotasi jelek, Nikolas justru bersyukur. Sebab dengan demikian orang batak menjadi sadar dan introspeksi diri, hingga dapat berubah seperti sekarang ini. Dimana orang batak dapat berperan begitu luarbiasa di seluruh dunia.(gir)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/