24 C
Medan
Wednesday, December 4, 2024
spot_img

Evaluasi Anggaran 20% untuk Peningkatan Mutu Pendidikan Nasional

Telah lama anggaran untuk pendidikan 20% dari APBN dikucurkan sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tetapi belum banyak berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidkan Indonesia. Dalam hal ini pemerintah memang sudah memperhatikan kualitas pendidikan nasional dengan harapan pengembangan kualitas pendidikan nasional. Apa yang terjadi wajah pendidikan kita saat ini? Tidak ada korelasi antara anggaran yang banyak kepada peningkatan mutu.

Oleh: Benni Sinaga

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, – sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kita amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses

Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.

Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Walaupun pemerintah sudah membuat sertifikasi guru tetapi  tidak mengarah kepada keprofesionalan cendrung mengarah kepada materi atau peningkatan gaji dan bahkan kalau boleh jujur banyak juga kecurangan di saat sertifikasi dilakukan. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.

Mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebenarnya.

Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat.

Kritis Pendidikan

Hal-hal yang lain yang perlu kita perhatikan adalah bahwa sebenarnya anggaran yang di buat pemerintah untuk pendidikan sangat banyak dimana 20% dari APBN padahal kita tahu Pendapatan nasional kita pertahun kisaran 700-1200 triliun taruhlah 800 triliun Pendapatan nasional/tahun berarti sekitar 200 triliun untuk biaya pendidikan kita tetapi kok tidak ada korelasinya kepada peningkatan mutu pendidikan, bahkan uni Eropa memberikan bantuan hibah Rp 2,4 triliun untuk mendukung pencapaian target-target pendidikan (Kompas 25 Mei 2010). Sungguh misteri terdapat dalam pendidikan kita ini ibarat misteri gunung merapi. Guru berpotensi besar untuk mengetahui dan mengkritisi hal ini. Dana-dana yang di kucurkan harus kita lihat misalnya dana Bos 4 triliun pertahun, sertifikasi, biaya pennyelenggaraan UN 500 M pertahun padahal curang juga. Melihat semua ini saya mengajak Guru-guru Indonesia diam di tindas  atau bangkit melawan mari berjuang saatnya kita kritis mari kita pandu bangsa ini melalui pendidikan. Kita serukan suara kenabian dan kebenaran akan pengertian dan pemahaman kita. Karena pengertian akan membawa hikmah.(*)

Penulis Adalah Dosen STIE IBMI Medan, aktif di CC_ Medan (CC_ Medan) Aktivis Pendidikan Anggota KPP ( Komite Peduli Pendidikan)

Telah lama anggaran untuk pendidikan 20% dari APBN dikucurkan sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tetapi belum banyak berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidkan Indonesia. Dalam hal ini pemerintah memang sudah memperhatikan kualitas pendidikan nasional dengan harapan pengembangan kualitas pendidikan nasional. Apa yang terjadi wajah pendidikan kita saat ini? Tidak ada korelasi antara anggaran yang banyak kepada peningkatan mutu.

Oleh: Benni Sinaga

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, – sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kita amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses

Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.

Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Walaupun pemerintah sudah membuat sertifikasi guru tetapi  tidak mengarah kepada keprofesionalan cendrung mengarah kepada materi atau peningkatan gaji dan bahkan kalau boleh jujur banyak juga kecurangan di saat sertifikasi dilakukan. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.

Mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebenarnya.

Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat.

Kritis Pendidikan

Hal-hal yang lain yang perlu kita perhatikan adalah bahwa sebenarnya anggaran yang di buat pemerintah untuk pendidikan sangat banyak dimana 20% dari APBN padahal kita tahu Pendapatan nasional kita pertahun kisaran 700-1200 triliun taruhlah 800 triliun Pendapatan nasional/tahun berarti sekitar 200 triliun untuk biaya pendidikan kita tetapi kok tidak ada korelasinya kepada peningkatan mutu pendidikan, bahkan uni Eropa memberikan bantuan hibah Rp 2,4 triliun untuk mendukung pencapaian target-target pendidikan (Kompas 25 Mei 2010). Sungguh misteri terdapat dalam pendidikan kita ini ibarat misteri gunung merapi. Guru berpotensi besar untuk mengetahui dan mengkritisi hal ini. Dana-dana yang di kucurkan harus kita lihat misalnya dana Bos 4 triliun pertahun, sertifikasi, biaya pennyelenggaraan UN 500 M pertahun padahal curang juga. Melihat semua ini saya mengajak Guru-guru Indonesia diam di tindas  atau bangkit melawan mari berjuang saatnya kita kritis mari kita pandu bangsa ini melalui pendidikan. Kita serukan suara kenabian dan kebenaran akan pengertian dan pemahaman kita. Karena pengertian akan membawa hikmah.(*)

Penulis Adalah Dosen STIE IBMI Medan, aktif di CC_ Medan (CC_ Medan) Aktivis Pendidikan Anggota KPP ( Komite Peduli Pendidikan)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/