26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Menjaring Figur Pilgubsu yang Merakyat

Oleh: Roy Naldy Simaremare

Tidak lama lagi warga Sumut akan mengadakan Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) pada tahun 2013. Para calon pun sudah bermunculan kepermukaan kita untuk menyatakan diri akan menjadi pemimpin Sumut mulai 2013-2018. Beberapa calon saat ini  sudah mencoba untuk menampilkan jurus yang jitu agar dapat memikat hati warga Sumut.

Segala janji-janji pastinya akan menghujani pikiran rakyat. Yang mana melalui itu, dapat meyakinkan warga Sumut akan memilihnya. Masyarakat harus jeli melihat sosok calon Pilgubsu. Dan dewasa untuk memilih pemimpin Sumut, sehingga Provinsi Sumut di pimpin oleh orang yang bertanggung jawab, jujur, loyalitas, merakyat terlebih lagi pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Segala strategi digunakan agar rakyat terpukau melihatnya. Mulai dari pemasangan spanduk, mencari tim sukses, sampai kepada tahap pengunjungan masyarakat desa. Masyarakat juga harus berkomitmen untuk tidak menerima embel-embel “uang” di dalam pemilihan Pilgubsu pada tahun 2013 nanti. Karena tidak menutup kemungkinan juga, money politik terjadi di tengah hiruk pikuk perpolitikan. Mari kita lihat sesuai dengan hati nurani serta melihat kualitas dari bakal calon, bukan karena pengaruh-pengaruh dari tim sukses dan partainya. Tapi, memang karena kecerdasan masyarakatlah menentukan Gubernur Sumut di tahun mendatang.

Melihat dinamika perpolitikan pada saat ini nampaknya sangat menjanjikan kepada rakyat Indonesia. Beribu janji yang dilontarkan agar melululantahkan hati rakyat. Mulai dari pemimpin Negara, Provinsi, Kecamatan, sampai ketingkat pedesaan. Semuanya pasti mempunyai jurus yang berbeda-beda. Bagaimana pun kita harus tetap menghargainya,  walaupun terkadang janji-janji itu tidak membumi. Apakah pemimpin kedepannya membawa perubahan baik, semua itu tergantung kedewasaan warga Sumut dalam menentukan pilihan..

Wajah Politik Kita

Sejatinya politik adalah sebuah tata kota/Negara yang memang tujuannya adalah untuk kesejahteraan rakyat. Keteraturan pada sebuah Negara merupakan langkah awal dan akhir untuk membawa rakyat kepada kemerdekaan sesungguhnya. Kalau perpolitikannya sehat dan terorganisir dengan baik, justru itu membawa angin segar kepada masyarakat Sumut. Meminjam bahasa Socrates, dalam buku Filsafat politik (Muhammad Azhar, 1996) mengatakan tujuan dari politik yang utama adalah keadilan (justice). Karena keadilan merupakan hal yang esensial bagi pemenuhan kecenderungan alamiah manusia. Menempatkan keadilan sebagai patokan politik tertinggi sama dengan memandang tujuan kehidupan politik sebagai aktualisasi bakat-bakat manusia.

Namun ironis, melihat suhu politik yang kian tak tau mengarah kemana ujungnya,  membuat masyarakat anti mendengar yang namanya politik. Banyak para kaum elite politik menggunakan “mesin partai” demi kesuksesan calonnya. Kalau di survei kepada masyarakat kota sampai ke pelosok desa, pembicaraan politik bukanlah suatu hal yang “baik” untuk diperbincangkan. Pembicaraan politik biarlah berlalu dan hanya milik kalangan elite saja.

Tetapi kepada masyarakat miskin bukan suatu hal yang patut dipikirkan. Karena tidak mempunyai dampak kepada kelas bawah. Juga, banyak pandangan, berpolitik pada saat ini sudah kotor. Berpolitik bukanlah lagi bertujuan untuk keadilan tetapi hanya membuat ketidakadilan dan membuat masyarakat terbeban atas kebijakan-kebijakan dari delegasi parati politik. Secara kontras kita bisa melihat pelaku korupsi yang memang rata-rata dari partai politik. Perlakuan kaum elite politik kebanyakkan ketika sudah sampai pada sebuah jabatan yang diinginkannya, akhirya memotivasi dirinya sendiri untuk terlibat dalam praktik korupsi. Jabatan di birokrasi Negara seakan-akan menjadi “lumbung untuk mencari uang”. Bukanlah menjadi sarana untuk melayani rakyat. Liat saja, seringkali partai-partai elite terjerat dalam praktik korupsi. Mungkin kita punya jawaban tersendiri dalam menyikapinya.
Pada umumnya kegiatan perpolitikan di Indonesia sudah menjadi “barang mewah.” Karena kalau kita telusuri, bahwa setiap pemimpin politik atau Negara biasanya dari kalangan elite saja. Sangat jarang kita dapatkan politisi dari kelas bawah menjadi pemimpin di dalam birokrasi Republik Indonesia. Apakah setiap pemimpin politik harus mempunyai “segudang uang,” agar dapat menjadi kandidat pemimpin kedepannya? Siapa tau?

Politik yang hakekatnya baik tapi sekarang telah kotor karena pelaku korupsi.  Akibatnya, timbul wacana anti-politik. Realita yang memang bukan rahasia publik lagi adalah, politik praktis dan identitas. Politik praktis telah mencoreng esensi politik tersebut. Secara substansinya politik adalah baik dan memang kita harus ikut mendukungnya. Juga masyarakat yang baik tidak anti politik. Tanpa politik disebuah negara, pastilah akan runyam ataupun semberaut. Justru karena politik yang sehatlah kita dapat sejahtera dan tertata rapi. Pertanyaan yang substansial adalah apakah politik yang dilakukan untuk melayani rakyat atau melayani partai?

Hampir semua partai punya jaringan kepentingan di struktur-struktur eksekutif birokrasi. Kementrian-kementrian departemental di tingkat eksekutif tidak imun pula dari jaringan kekuasaan korup partai-partai. Begitu pula di BUMN dan BUMD. Pun dipemerintahan-pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Politisi-politisi yang tak bertanggung jawab telah membuat citra politik di Indonesia nista. Sehingga banyak stigma buruk kepada para politisi sekarang. Ironisnya, karena perbuatan pelaku politik praktis, berimbaskan kepada politikus yang memang benar-benar ingin melayani rakyat dengan hati yang murni. Politik praktis hanyalah membuat moralitas bangsa bermental “mie instan.” Juga, sikap masyarakat jerah ikut berpartisipasi dalam kegiatan perpolitikan bangsa. Hal itu juga membuat dunia birokrasi tidak profesionalisme dan matinya idealisme. Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan bukanlah harapan dari substansi politik.

Rakyat Sumut pasti sepakat ketika pemimpin Provinsi Sumut ini sikapnya merakyat. Pemimpin Sumut harus memahami kondisi kebudayaan yang ada di Sumut. Saya pikir, semua sepakat jika seorang pemimpin harus mengetahui konteks di mana ia memimpin. Sehingga dia mengetahui dimana yang harus ditransformasi. Apalagi di Provinsi Sumut ini banyak keberagaman. Seorang pemimpin Sumut nantinya, akan lebih lagi mempererat keberagaman Sumut. Bukan mengutamakan politik identitas. Artinya tidak mengedepankan golongan atau berpihak kepada siapa pun. Semua harus dibawa untuk menjadi lebih baik dan sejahtera. Kehadirannya haruslah mensejahterakan dan meningkatkan multi aspek dalam membangun Sumut. Pertanyaanya adalah, apakah pemimpin Sumut merakyat nantinya, mari kita tunggu pada tahun 2013.(*)

Penulis adalah Sekretaris Solidarity for Human Rights (SA-HAM) dan Pimred GMKI Cabang Medan

Oleh: Roy Naldy Simaremare

Tidak lama lagi warga Sumut akan mengadakan Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) pada tahun 2013. Para calon pun sudah bermunculan kepermukaan kita untuk menyatakan diri akan menjadi pemimpin Sumut mulai 2013-2018. Beberapa calon saat ini  sudah mencoba untuk menampilkan jurus yang jitu agar dapat memikat hati warga Sumut.

Segala janji-janji pastinya akan menghujani pikiran rakyat. Yang mana melalui itu, dapat meyakinkan warga Sumut akan memilihnya. Masyarakat harus jeli melihat sosok calon Pilgubsu. Dan dewasa untuk memilih pemimpin Sumut, sehingga Provinsi Sumut di pimpin oleh orang yang bertanggung jawab, jujur, loyalitas, merakyat terlebih lagi pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Segala strategi digunakan agar rakyat terpukau melihatnya. Mulai dari pemasangan spanduk, mencari tim sukses, sampai kepada tahap pengunjungan masyarakat desa. Masyarakat juga harus berkomitmen untuk tidak menerima embel-embel “uang” di dalam pemilihan Pilgubsu pada tahun 2013 nanti. Karena tidak menutup kemungkinan juga, money politik terjadi di tengah hiruk pikuk perpolitikan. Mari kita lihat sesuai dengan hati nurani serta melihat kualitas dari bakal calon, bukan karena pengaruh-pengaruh dari tim sukses dan partainya. Tapi, memang karena kecerdasan masyarakatlah menentukan Gubernur Sumut di tahun mendatang.

Melihat dinamika perpolitikan pada saat ini nampaknya sangat menjanjikan kepada rakyat Indonesia. Beribu janji yang dilontarkan agar melululantahkan hati rakyat. Mulai dari pemimpin Negara, Provinsi, Kecamatan, sampai ketingkat pedesaan. Semuanya pasti mempunyai jurus yang berbeda-beda. Bagaimana pun kita harus tetap menghargainya,  walaupun terkadang janji-janji itu tidak membumi. Apakah pemimpin kedepannya membawa perubahan baik, semua itu tergantung kedewasaan warga Sumut dalam menentukan pilihan..

Wajah Politik Kita

Sejatinya politik adalah sebuah tata kota/Negara yang memang tujuannya adalah untuk kesejahteraan rakyat. Keteraturan pada sebuah Negara merupakan langkah awal dan akhir untuk membawa rakyat kepada kemerdekaan sesungguhnya. Kalau perpolitikannya sehat dan terorganisir dengan baik, justru itu membawa angin segar kepada masyarakat Sumut. Meminjam bahasa Socrates, dalam buku Filsafat politik (Muhammad Azhar, 1996) mengatakan tujuan dari politik yang utama adalah keadilan (justice). Karena keadilan merupakan hal yang esensial bagi pemenuhan kecenderungan alamiah manusia. Menempatkan keadilan sebagai patokan politik tertinggi sama dengan memandang tujuan kehidupan politik sebagai aktualisasi bakat-bakat manusia.

Namun ironis, melihat suhu politik yang kian tak tau mengarah kemana ujungnya,  membuat masyarakat anti mendengar yang namanya politik. Banyak para kaum elite politik menggunakan “mesin partai” demi kesuksesan calonnya. Kalau di survei kepada masyarakat kota sampai ke pelosok desa, pembicaraan politik bukanlah suatu hal yang “baik” untuk diperbincangkan. Pembicaraan politik biarlah berlalu dan hanya milik kalangan elite saja.

Tetapi kepada masyarakat miskin bukan suatu hal yang patut dipikirkan. Karena tidak mempunyai dampak kepada kelas bawah. Juga, banyak pandangan, berpolitik pada saat ini sudah kotor. Berpolitik bukanlah lagi bertujuan untuk keadilan tetapi hanya membuat ketidakadilan dan membuat masyarakat terbeban atas kebijakan-kebijakan dari delegasi parati politik. Secara kontras kita bisa melihat pelaku korupsi yang memang rata-rata dari partai politik. Perlakuan kaum elite politik kebanyakkan ketika sudah sampai pada sebuah jabatan yang diinginkannya, akhirya memotivasi dirinya sendiri untuk terlibat dalam praktik korupsi. Jabatan di birokrasi Negara seakan-akan menjadi “lumbung untuk mencari uang”. Bukanlah menjadi sarana untuk melayani rakyat. Liat saja, seringkali partai-partai elite terjerat dalam praktik korupsi. Mungkin kita punya jawaban tersendiri dalam menyikapinya.
Pada umumnya kegiatan perpolitikan di Indonesia sudah menjadi “barang mewah.” Karena kalau kita telusuri, bahwa setiap pemimpin politik atau Negara biasanya dari kalangan elite saja. Sangat jarang kita dapatkan politisi dari kelas bawah menjadi pemimpin di dalam birokrasi Republik Indonesia. Apakah setiap pemimpin politik harus mempunyai “segudang uang,” agar dapat menjadi kandidat pemimpin kedepannya? Siapa tau?

Politik yang hakekatnya baik tapi sekarang telah kotor karena pelaku korupsi.  Akibatnya, timbul wacana anti-politik. Realita yang memang bukan rahasia publik lagi adalah, politik praktis dan identitas. Politik praktis telah mencoreng esensi politik tersebut. Secara substansinya politik adalah baik dan memang kita harus ikut mendukungnya. Juga masyarakat yang baik tidak anti politik. Tanpa politik disebuah negara, pastilah akan runyam ataupun semberaut. Justru karena politik yang sehatlah kita dapat sejahtera dan tertata rapi. Pertanyaan yang substansial adalah apakah politik yang dilakukan untuk melayani rakyat atau melayani partai?

Hampir semua partai punya jaringan kepentingan di struktur-struktur eksekutif birokrasi. Kementrian-kementrian departemental di tingkat eksekutif tidak imun pula dari jaringan kekuasaan korup partai-partai. Begitu pula di BUMN dan BUMD. Pun dipemerintahan-pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Politisi-politisi yang tak bertanggung jawab telah membuat citra politik di Indonesia nista. Sehingga banyak stigma buruk kepada para politisi sekarang. Ironisnya, karena perbuatan pelaku politik praktis, berimbaskan kepada politikus yang memang benar-benar ingin melayani rakyat dengan hati yang murni. Politik praktis hanyalah membuat moralitas bangsa bermental “mie instan.” Juga, sikap masyarakat jerah ikut berpartisipasi dalam kegiatan perpolitikan bangsa. Hal itu juga membuat dunia birokrasi tidak profesionalisme dan matinya idealisme. Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan bukanlah harapan dari substansi politik.

Rakyat Sumut pasti sepakat ketika pemimpin Provinsi Sumut ini sikapnya merakyat. Pemimpin Sumut harus memahami kondisi kebudayaan yang ada di Sumut. Saya pikir, semua sepakat jika seorang pemimpin harus mengetahui konteks di mana ia memimpin. Sehingga dia mengetahui dimana yang harus ditransformasi. Apalagi di Provinsi Sumut ini banyak keberagaman. Seorang pemimpin Sumut nantinya, akan lebih lagi mempererat keberagaman Sumut. Bukan mengutamakan politik identitas. Artinya tidak mengedepankan golongan atau berpihak kepada siapa pun. Semua harus dibawa untuk menjadi lebih baik dan sejahtera. Kehadirannya haruslah mensejahterakan dan meningkatkan multi aspek dalam membangun Sumut. Pertanyaanya adalah, apakah pemimpin Sumut merakyat nantinya, mari kita tunggu pada tahun 2013.(*)

Penulis adalah Sekretaris Solidarity for Human Rights (SA-HAM) dan Pimred GMKI Cabang Medan

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/