Oleh: Hermawan Kartajaya
Berkeliling bersama Ibu Dubes Lucia dari KBRI di Bern waktu itu, Swiss adalah negara yang cantik secara alamiah sejak lahir. Pemandangannya elok, keindahan natural yang sulit ditandingi. Selain itu, karena dua negara tersebut termasuk negara yang sudah tinggi GDP per kapitanya, penduduknya sangat civilized. Semua turis diperlakukan dengan sopan dan terhormat walaupun semuanya mahal.
Di Tiongkok juga banyak keindahan alam yang bisa kita temui. Tapi, karena Tiongkok belum masuk negara kaya, kita masih bisa dengan mudah menemui orang meludah sembarangan. Juga untuk urusan antre. Orang masih demen main serobot dan tidak peduli terhadap turis yang mestinya diperlakukan sebagai tamu.
Amerika punya banyak tempat yang man-made seperti dunia hiburan di Las Vegas, Hollywood, dan Disneyland. Eropa secara umum memang penuh kebudayaan yang memesona, tapi tetap aja orang bilang Swiss yang paling cantik.
Persepsi itu langsung buyar begitu saya mendarat di Lapangan Terbang Timpu, ibu kota Bhutan. Saya pergi ke negeri itu untuk sebuah spiritual trip ke tempat-tempat yang lekat dengan Buddhism.
Karena itu, sebelumnya saya ke Tibet dulu, melihat istana Dalai Lama di Lhasa, walaupun sudah ditinggal ngungsi ke India. Setelah itu, saya pergi ke Nepal, tempat kelahiran Sidharta Gautama dan tempat terkenal untuk melakukan pendakian Pegunungan Himalaya. Baru setelah itu ke Bhutan, negara Buddhis.
Perjalanan khusus itu khusus untuk memperkuat konsep marketing dengan penekanan human spirit. Saya sendiri penasaran, kenapa buku Marketing 3.0 : From Product to Customer to Human Spirit bisa best seller di Korea, Jepang, dan Tiongkok. Apakah karena di negara-negara itu banyak umat Buddha?
Yang saya temukan: Di Tibet saya mengalami penurunan rasa suka terhadap pemerintah Tiongkok yang begitu menjaga ketat tempat-tempat suci orang Tibet. Baik di pasar, tempat keramaian, bahkan Istana Dalai Lama sekalipun. Di Nepal banyak tempat yang masih kotor, malah secara keseluruhan terkesan kumuh.
Di situ mereka selalu membanggakan harmoni hidup berdampingan. Banyak kuil Hindu dan Buddha yang berdekatan, mirip dengan Candi Borobudur bagi umat Buddha dan Prambanan yang Hindu. Bagi orang Nepal, Sidharta Gautama yang kelak jadi Buddha adalah reinkarnasi dari salah satu dewa Hindu.
Nepal baru terlihat indah ketika saya keliling puncak Himalaya dengan pesawat. Mirip Swiss dengan puncak-puncak es abadinya.
Nah, begitu mendarat di Timpu, saya langsung melihat sebuah negara yang hijau, menawarkan ketenteraman dan rasa damai. Di pegunungan hijau yang serasa mengepung kota-kota di Bhutan, rumah tradisional bersorak dengan cat warna-warni. Dengan dasar keseimbangan spirit alam, rumah-rumah itu tidak boleh lebih tinggi daripada pohon di sekitarnya. Malah sembilan puluh persen penduduknya masih mengenakan pakaian tradisional Bhutan.
Partai politik pun dibentuk supaya rakyat bisa belajar berdemokrasi. Internet yang dulu dilarang mulai diperbolehkan dalam kapasitas terbatas. Bhutan ingin membuka diri ke dunia secara step-by-step. Yang unik dan baru, raja tuanya memperkenalkan gross national happiness atau GNH sebagai pengganti gross domestic product (GDP).
Konsep GNH itu memang berasal dari Buddhism, tapi bersifat universal karena melibatkan konservasi alam dan kejujuran dari pejabat pemerintah serta rasa damai dan tertib di kalangan masyarakat. Saat negara-negara dengan GDP per kapita tinggi makin pusing dihajar krisis, para ahli ekonomi dari sana pun menengok Bhutan membicarakan GNH.
Tiap tahun Bhutan bahkan menyelenggarakan konferensi GNH yang dihadiri para profesor ekonomi dari Barat. Kebalikan dengan Nepal, orang Bhutan berwajah Tionghoa, tapi ekonominya banyak bergantung pada India. Untuk mendapatkan grassroots insight, saya pun rajin mengunjungi kuil dan festival budaya yang berlangsung di sana. Di situlah saya menemukan tiga hal yang mendasar: love, karma, and next life!
Bagaimana manusia harus berbuat baik dengan cinta kepada orang lain supaya dapat karma baik?
Dengan kepercayaan bahwa kehidupan berikutnya akan ter-upgrade terus, maka akan sampai akhirnya pada pintu Nirvana, hidup kekal dan bahagia di sana. Bhante Uttamo, teman saya yang bergelar mahatera, pernah mengatakan kepada saya, buat Buddhism, market share tidak penting.
Yang diutamakan adalah way of life kita sebagai manusia untuk selalu berbuat kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Marketing adalah urusan horizontal kepada orang lain. Kita butuh konsep horizontal marketing yang mendasarkan sikap ‘baik’ kepada orang lain.
Bagaimana pendapat Anda? (*)