30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Integritas KPU sebagai Pelaksana Pilgubsu

Maklumat dan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor. 22 dan 24 / DKPP-PKE-I/ 2012 tertanggal 14 Desember 2012 sebagaimana di kutip dalam surat kabar harian ini, berdasarkan laporan pengaduan Maruli Firman Lubis dan Burju M Sihombing  yaitu mantan KPU Kabupaten Tapanuli Tengah dan Humbang Hasundutan selaku Pengadu I dan Pengadu II sedangkan Teradu I, II, III, IV, dan V yaitu ketua dan anggota KPU Sumatera Utara (Sumut) yaitu Irham Buana Nasution, Turunan B. Gulo, Surya Perdana, Rajin Sitepu dan Nurlela Djoyaitu Ketua dan anggota KPU Sumut.

Oleh: Joko Riskiyono

Dalam maklumat Putusan DKPP pada hari Kamis, 13 Desember 2012 dipermaklumkan hal-hal sebagai berikut yang pada pokoknya memutuskan : (1). Menolak pengaduan/laporan pengadu untuk seluruhnya dan (2) Merehabilitasi nama baik para teradu selaku Ketua dan anggota KPU Sumatera Utara, tetapi perlu untuk diketahui bahwa Putusan DKPP ini di bahas dan diputuskan dalam rapat pleno DKPP pada Kamis, 13 Desember 2012 dengan keterangan terdapat dua anggota DKPP yang menempuh pendapat yang berbeda (dissenting opinion) atas putusan Pelanggaran Kode Etik (jpnn, 14/12).

Dalam Putusan DKPP yang menyatakan bahwa kelima komisioner KPU Sumut tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik, berdasarkan penilaian atas fakta-fakta dalam persidangan, setelah memeriksa keterangan dan jawaban pengadu, memeriksa keterangan dan jawaban Teradu, memeriksa bukti-bukti dokumen, dan keterangan saksi-saksi, bukti-bukti yang disampaikan DKPP menyimpulkan, pengaduan tidak terbukti sebagai penyelenggara Pemilu tidak profesional, tidak cermat, lalai, dan tidak setara dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai Ketua/anggota KPU Sumut (www.bawaslu.go.id, 13/12).
Menjadi pertanyaan hingga hari ini terdapat dua anggota DKPP yang menempuh pendapat berbeda, tetapi oleh juru bicara DKPP dikatakan karena ketentuan internal tidak perlu disebutkan hal tersebut menambah kecurigaan publik berkaitan dengan independensi dan transparansi DKPP selaku penyelenggara pemilu yang diberi mandat memeriksa pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu.

Adapun asas dari sebuah putusan terbuka untuk umum dan menjadi milik publik maka sebagaimana tuntutan dan kebutuhan dari prinsip transparansi adalah keterbukaan maka dipandang perlu untuk selanjutnya dicantumkannya pendapat yang berbeda dua orang anggota dalam lampiran Putusan DKPP.
Sebagai dasar menilai pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu sebagaimana dilaporkan mengacu kepada Peraturan KPU No. 31 Tahun 2008 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu bukan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP dikarenakan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU Sumut terjadi sebelum Peraturan Bersama dibentuk meski yang memeriksa dan menverifikasi pengaduan adalah DKPP bukan Dewan Kehormatan yang dibentuk oleh KPU.

Merujuk dari pertimbangan dan kesimpulan sebagai dasar Putusan, mengutip pernyataan anggota DKPP dari unsur Bawaslu Nelson Simanjuntak, berlandaskan putusan Dewan Kehormatan Provinsi yang sebelumnya telah berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan KPU Sumut tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik saat melakukan pemecatan terhadap mantan anggota KPU Tapanuli Tengah, Maruli Firman Lubis.

“Artinya, DKPP melindungi putusan dari Dewan Kehormatan Sumut yang sebelumnya menyatakan tidak terbukti, kasus ini yang dilaporkan Maruli ke PTUN, itu kan setelah sebelumnya Dewan Kehormatan memutuskan,”.

Publik menduga Putusan DKPP dalam rangka melindungi dan menyelamatkan KPU Sumut yang saat ini sedang berjalan program, tahapan, dan jadwal pemilihan gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) Tahun 2013 (jpnn, 14/12) Kekhawatiran apabila KPU Sumut terbukti melakukan pelanggaran kode etik dengan dijatuhi putasan oleh DKPP setidaknya ada tiga jenis sanksi yang dijatuhkan antara lain : 1. Teguran Tertulis, 2. Pemberhentian Sementara, dan 3. Pemberhentian Tetap.

Berakibat mengganggu jadwal dan tahapan Pilgubsu yang sudah berjalan apapun jenis sanksinya atau bisa jadi penyelenggaraan Pilgubsu diambil alih oleh KPU Pusat, dengan alasan terdapat krisis kepercayaan terhadap KPU Sumut apabila sampai dijatuhi sanksi oleh DKPP maka Maklumat dan Putusan yang diambil yaitu tidak terbukti disamping, “merehabilitasi nama baik Teradu I, II, III, IV dan V Ketua dan anggota KPU Sumut” artinya dapat dipahami untuk mengembalikan kepercayaan kelima orang komisioner selaku penanggungjawab pelaksanaan Pilgubsu yang tinggal dua bulan dapat berjalan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, (Luber) serta jujur dan adil (Jujur dan Adil) harus menjadi jawaban KPU Sumut.

Tuntutan penyelenggaraan Pilgubsu berjalan secara demokratis harus memenuhi setidaknya prinsip-prinsip Pemilu, menurut The Internasional IDEA setidaknya untuk menjamin legitimasi dan kredibilitas penyelenggara pemilu ada tujuh prinsip yang harus menjadi pedoman antara lain :

1. Independence (Independensi/ kemandirian) yaitu tanpa adanya benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun; 2. Impatiality (Berimbang/tidak memihak) yaitu netralitas harus tercermin dalam sikap dan kebijakan KPU terhadap stake holder terkait adalah peserta Piligubsu dan publik 3. Integrity (Integritas/terpercaya) yaitu kesesuaian antara tindakan dan perilaku penyelenggara Pilgubsu;  4. Transparency (Keterbukaan) adalah ketersediaan informasi yang akurat dan tepat waktu terkait dengan sebuah kebijakan publik serta proses pembentukannya; 5. Effisiency (Efisiensi) merupakan komponen penting dari semua kredibilitas Pilgubsu adalah waktu yang cukup persiapan dan melatij dan mempunyai tanggung jawab atas Pilgubsu; 6. Proffessionalism (profesionalisme) asas yang mengutamakan keahlian berlandaskan kode etik dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 7. Akuntability (Akuntabilitas) dalam bekerja dituntut disetiap tahap penyusunan program kegiatan dalam pelayanan publik pembiayaan, pelaksanaan  dan evaluasinya (IDEA, 2005:25)

Tujuh prinsip diatas harus menjadi pedoman bagi KPU Sumut untuk mewujudkan pelaksanaan Pilgubsu yang demokratis didukung oleh kredibilitas dan legitimasi yang kuat dibuktikan oleh kinerja kelima komisionernya untuk bertindak profesional dan mandiri, apabila terdapat konflik of interes (Konflik kepentingan) dengan menunjuk atau merekomendasi kantor hukum tertentu sebagai penasehat atau kuasa hukum KPU Sumut dan atau peserta Pilgubsu dimana Ketua KPU Sumut sebelumnya adalah Advokat mempunyai pengaruh di kantor hukum tersebut.

Kelak ditunjuk dalam menghadapi gugatan, pengaduan dan laporan dari peserta Pilgubsu atau sebaliknya, apabila terjadi Bawaslu, DKPP, peserta pasangan calon Pilgubsu dan publik tidak boleh tinggal diam dengan membiarkan konflik kepentingan terjadi dan cukup menjadi bukti terjadi dugaan pelanggaran kode etik untuk itu sangat diperlukan partisipasi pengawasan publik.

Penulis Pegiat Hukum Kenegeraan (Peneliti Laboratorium Hukum dan  Konstitusi FH USU Medan)

Maklumat dan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor. 22 dan 24 / DKPP-PKE-I/ 2012 tertanggal 14 Desember 2012 sebagaimana di kutip dalam surat kabar harian ini, berdasarkan laporan pengaduan Maruli Firman Lubis dan Burju M Sihombing  yaitu mantan KPU Kabupaten Tapanuli Tengah dan Humbang Hasundutan selaku Pengadu I dan Pengadu II sedangkan Teradu I, II, III, IV, dan V yaitu ketua dan anggota KPU Sumatera Utara (Sumut) yaitu Irham Buana Nasution, Turunan B. Gulo, Surya Perdana, Rajin Sitepu dan Nurlela Djoyaitu Ketua dan anggota KPU Sumut.

Oleh: Joko Riskiyono

Dalam maklumat Putusan DKPP pada hari Kamis, 13 Desember 2012 dipermaklumkan hal-hal sebagai berikut yang pada pokoknya memutuskan : (1). Menolak pengaduan/laporan pengadu untuk seluruhnya dan (2) Merehabilitasi nama baik para teradu selaku Ketua dan anggota KPU Sumatera Utara, tetapi perlu untuk diketahui bahwa Putusan DKPP ini di bahas dan diputuskan dalam rapat pleno DKPP pada Kamis, 13 Desember 2012 dengan keterangan terdapat dua anggota DKPP yang menempuh pendapat yang berbeda (dissenting opinion) atas putusan Pelanggaran Kode Etik (jpnn, 14/12).

Dalam Putusan DKPP yang menyatakan bahwa kelima komisioner KPU Sumut tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik, berdasarkan penilaian atas fakta-fakta dalam persidangan, setelah memeriksa keterangan dan jawaban pengadu, memeriksa keterangan dan jawaban Teradu, memeriksa bukti-bukti dokumen, dan keterangan saksi-saksi, bukti-bukti yang disampaikan DKPP menyimpulkan, pengaduan tidak terbukti sebagai penyelenggara Pemilu tidak profesional, tidak cermat, lalai, dan tidak setara dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai Ketua/anggota KPU Sumut (www.bawaslu.go.id, 13/12).
Menjadi pertanyaan hingga hari ini terdapat dua anggota DKPP yang menempuh pendapat berbeda, tetapi oleh juru bicara DKPP dikatakan karena ketentuan internal tidak perlu disebutkan hal tersebut menambah kecurigaan publik berkaitan dengan independensi dan transparansi DKPP selaku penyelenggara pemilu yang diberi mandat memeriksa pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu.

Adapun asas dari sebuah putusan terbuka untuk umum dan menjadi milik publik maka sebagaimana tuntutan dan kebutuhan dari prinsip transparansi adalah keterbukaan maka dipandang perlu untuk selanjutnya dicantumkannya pendapat yang berbeda dua orang anggota dalam lampiran Putusan DKPP.
Sebagai dasar menilai pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu sebagaimana dilaporkan mengacu kepada Peraturan KPU No. 31 Tahun 2008 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu bukan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP dikarenakan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU Sumut terjadi sebelum Peraturan Bersama dibentuk meski yang memeriksa dan menverifikasi pengaduan adalah DKPP bukan Dewan Kehormatan yang dibentuk oleh KPU.

Merujuk dari pertimbangan dan kesimpulan sebagai dasar Putusan, mengutip pernyataan anggota DKPP dari unsur Bawaslu Nelson Simanjuntak, berlandaskan putusan Dewan Kehormatan Provinsi yang sebelumnya telah berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan KPU Sumut tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik saat melakukan pemecatan terhadap mantan anggota KPU Tapanuli Tengah, Maruli Firman Lubis.

“Artinya, DKPP melindungi putusan dari Dewan Kehormatan Sumut yang sebelumnya menyatakan tidak terbukti, kasus ini yang dilaporkan Maruli ke PTUN, itu kan setelah sebelumnya Dewan Kehormatan memutuskan,”.

Publik menduga Putusan DKPP dalam rangka melindungi dan menyelamatkan KPU Sumut yang saat ini sedang berjalan program, tahapan, dan jadwal pemilihan gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) Tahun 2013 (jpnn, 14/12) Kekhawatiran apabila KPU Sumut terbukti melakukan pelanggaran kode etik dengan dijatuhi putasan oleh DKPP setidaknya ada tiga jenis sanksi yang dijatuhkan antara lain : 1. Teguran Tertulis, 2. Pemberhentian Sementara, dan 3. Pemberhentian Tetap.

Berakibat mengganggu jadwal dan tahapan Pilgubsu yang sudah berjalan apapun jenis sanksinya atau bisa jadi penyelenggaraan Pilgubsu diambil alih oleh KPU Pusat, dengan alasan terdapat krisis kepercayaan terhadap KPU Sumut apabila sampai dijatuhi sanksi oleh DKPP maka Maklumat dan Putusan yang diambil yaitu tidak terbukti disamping, “merehabilitasi nama baik Teradu I, II, III, IV dan V Ketua dan anggota KPU Sumut” artinya dapat dipahami untuk mengembalikan kepercayaan kelima orang komisioner selaku penanggungjawab pelaksanaan Pilgubsu yang tinggal dua bulan dapat berjalan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, (Luber) serta jujur dan adil (Jujur dan Adil) harus menjadi jawaban KPU Sumut.

Tuntutan penyelenggaraan Pilgubsu berjalan secara demokratis harus memenuhi setidaknya prinsip-prinsip Pemilu, menurut The Internasional IDEA setidaknya untuk menjamin legitimasi dan kredibilitas penyelenggara pemilu ada tujuh prinsip yang harus menjadi pedoman antara lain :

1. Independence (Independensi/ kemandirian) yaitu tanpa adanya benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun; 2. Impatiality (Berimbang/tidak memihak) yaitu netralitas harus tercermin dalam sikap dan kebijakan KPU terhadap stake holder terkait adalah peserta Piligubsu dan publik 3. Integrity (Integritas/terpercaya) yaitu kesesuaian antara tindakan dan perilaku penyelenggara Pilgubsu;  4. Transparency (Keterbukaan) adalah ketersediaan informasi yang akurat dan tepat waktu terkait dengan sebuah kebijakan publik serta proses pembentukannya; 5. Effisiency (Efisiensi) merupakan komponen penting dari semua kredibilitas Pilgubsu adalah waktu yang cukup persiapan dan melatij dan mempunyai tanggung jawab atas Pilgubsu; 6. Proffessionalism (profesionalisme) asas yang mengutamakan keahlian berlandaskan kode etik dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 7. Akuntability (Akuntabilitas) dalam bekerja dituntut disetiap tahap penyusunan program kegiatan dalam pelayanan publik pembiayaan, pelaksanaan  dan evaluasinya (IDEA, 2005:25)

Tujuh prinsip diatas harus menjadi pedoman bagi KPU Sumut untuk mewujudkan pelaksanaan Pilgubsu yang demokratis didukung oleh kredibilitas dan legitimasi yang kuat dibuktikan oleh kinerja kelima komisionernya untuk bertindak profesional dan mandiri, apabila terdapat konflik of interes (Konflik kepentingan) dengan menunjuk atau merekomendasi kantor hukum tertentu sebagai penasehat atau kuasa hukum KPU Sumut dan atau peserta Pilgubsu dimana Ketua KPU Sumut sebelumnya adalah Advokat mempunyai pengaruh di kantor hukum tersebut.

Kelak ditunjuk dalam menghadapi gugatan, pengaduan dan laporan dari peserta Pilgubsu atau sebaliknya, apabila terjadi Bawaslu, DKPP, peserta pasangan calon Pilgubsu dan publik tidak boleh tinggal diam dengan membiarkan konflik kepentingan terjadi dan cukup menjadi bukti terjadi dugaan pelanggaran kode etik untuk itu sangat diperlukan partisipasi pengawasan publik.

Penulis Pegiat Hukum Kenegeraan (Peneliti Laboratorium Hukum dan  Konstitusi FH USU Medan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/