25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bangga jadi Orang Kampung

MARKETING SERIES (93)

PADA 21 Oktober 2012 saya mendengarkan presentasi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Saya hadir dalam acara penutupan Temu Pusaka Indonesia di FK Unair yang diselenggarakan di Surabaya selama tiga hari.

Yang unik, tahun ini tema besarnya adalah Pusaka Saujana, yang antara lain tentang kampung. Ternyata, kampung-kampung Surabaya begitu hebat sekarang. Karena ada wali kota yang mau turun tangan terus ke mana-mana untuk mengajarkan bagaimana punya kampungn
yang bersih dan indah.

Saya bangga pernah tinggal di kampung. Kampung saya adalah Kapasari Gang 5, rumahnya nomor 1. Benar-benar kampung. Mobil dan motor tak boleh masuk. Ada saluran got di tengah. Kampung gang 5 itu dibagi menjadi dua bagian, terbelah oleh gang 1 yang bisa dilewati mobil dan motor.

Saya tinggal bersama papa, mama, dan adik perempuan saya di sebuah rumah kecil. Itu pun masih dikavling-kavling lagi dengan delapan orang yang indekos. Jadi, kami benar-benar hidup berdesakan di sebuah petak-petak kecil. Begitu kecilnya sehingga selalu kepanasan di dalam rumah. Jadi, harus belajar di luar rumah.

Papa hanya memerintah saya untuk jadi juara kelas karena kami miskin. Supaya masih ada harga diri dan masa depan. Tetapi, karena tidak pernah masuk kuliah, beliau hanya bisa mempertajam pensil saya. Itu dilakukan tiap malam, lalu ditata dengan rapi bersama karet penghapus di dalam kotak.
Rumah kami yang kecil itu masih harus bisa memuat dua sepeda onthel Gazelle. Satu punya papa, satu untuk saya.

Di sekolah, SMPK St Stanislaus maupun SMAK St Louis, terus terang saya minder waktu itu. Kurang bisa bergaul dan tidak masuk hitungan teman-teman yang punya social class lebih tinggi. Setiap ada pesta yang diadakan di resto dan dansa-dansi, saya pasti tidak diundang. Maklum, orang kampung.
Karena itulah, setiap pulang ke rumah, saya baru merasa somebody. Ketika di sekolah saya seolah nobody. Di kampung kami hidup rukun, aman, damai. Jaga malam bareng-bareng di gardu. Juga sering mengobrol bareng ganti-ganti tempat, termasuk di langgar kampung.

Tiap Hari Raya Imlek, tetangga muslim mengirim makanan kepada yang Tionghoa. Begitu sebaliknya, waktu Lebaran, yang Tionghoa kirim kue-kue kering. Makanan dan kuenya buatan sendiri dengan spirit kekeluargaan. Kampung kami sudah bersih dan aman pada waktu itu karena kami membersihkan dan menjaganya bersama.

Dalam bahasa sekarang disebut komunitas kopi darat yang ikatannya human spirit. Saya rasanya ingin memutar mesin waktu agar bisa hidup di kampung Kapasari, Surabaya, pada era sekarang. Surabaya yang bersih, aman, indah, dan makmur.

Dengan penyikapan yang horizontal, inklusif, dan sosial seperti sekarang ini, saya dan siapa pun harus bangga jadi orang kampung. Asal jangan kampungan! (*)

MARKETING SERIES (93)

PADA 21 Oktober 2012 saya mendengarkan presentasi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Saya hadir dalam acara penutupan Temu Pusaka Indonesia di FK Unair yang diselenggarakan di Surabaya selama tiga hari.

Yang unik, tahun ini tema besarnya adalah Pusaka Saujana, yang antara lain tentang kampung. Ternyata, kampung-kampung Surabaya begitu hebat sekarang. Karena ada wali kota yang mau turun tangan terus ke mana-mana untuk mengajarkan bagaimana punya kampungn
yang bersih dan indah.

Saya bangga pernah tinggal di kampung. Kampung saya adalah Kapasari Gang 5, rumahnya nomor 1. Benar-benar kampung. Mobil dan motor tak boleh masuk. Ada saluran got di tengah. Kampung gang 5 itu dibagi menjadi dua bagian, terbelah oleh gang 1 yang bisa dilewati mobil dan motor.

Saya tinggal bersama papa, mama, dan adik perempuan saya di sebuah rumah kecil. Itu pun masih dikavling-kavling lagi dengan delapan orang yang indekos. Jadi, kami benar-benar hidup berdesakan di sebuah petak-petak kecil. Begitu kecilnya sehingga selalu kepanasan di dalam rumah. Jadi, harus belajar di luar rumah.

Papa hanya memerintah saya untuk jadi juara kelas karena kami miskin. Supaya masih ada harga diri dan masa depan. Tetapi, karena tidak pernah masuk kuliah, beliau hanya bisa mempertajam pensil saya. Itu dilakukan tiap malam, lalu ditata dengan rapi bersama karet penghapus di dalam kotak.
Rumah kami yang kecil itu masih harus bisa memuat dua sepeda onthel Gazelle. Satu punya papa, satu untuk saya.

Di sekolah, SMPK St Stanislaus maupun SMAK St Louis, terus terang saya minder waktu itu. Kurang bisa bergaul dan tidak masuk hitungan teman-teman yang punya social class lebih tinggi. Setiap ada pesta yang diadakan di resto dan dansa-dansi, saya pasti tidak diundang. Maklum, orang kampung.
Karena itulah, setiap pulang ke rumah, saya baru merasa somebody. Ketika di sekolah saya seolah nobody. Di kampung kami hidup rukun, aman, damai. Jaga malam bareng-bareng di gardu. Juga sering mengobrol bareng ganti-ganti tempat, termasuk di langgar kampung.

Tiap Hari Raya Imlek, tetangga muslim mengirim makanan kepada yang Tionghoa. Begitu sebaliknya, waktu Lebaran, yang Tionghoa kirim kue-kue kering. Makanan dan kuenya buatan sendiri dengan spirit kekeluargaan. Kampung kami sudah bersih dan aman pada waktu itu karena kami membersihkan dan menjaganya bersama.

Dalam bahasa sekarang disebut komunitas kopi darat yang ikatannya human spirit. Saya rasanya ingin memutar mesin waktu agar bisa hidup di kampung Kapasari, Surabaya, pada era sekarang. Surabaya yang bersih, aman, indah, dan makmur.

Dengan penyikapan yang horizontal, inklusif, dan sosial seperti sekarang ini, saya dan siapa pun harus bangga jadi orang kampung. Asal jangan kampungan! (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/