Oleh: Rida K Liamsi
Catatan Redaksi
Komisi II DPD RI, 13 September lalu menyelenggarakan seminar uji shahih Draft Undang-Undang BUMD yang diprakarsai lembaga senat tersebut, di Pekanbaru untuk mewakili wilayah barat. Sementara seminar yang sama sebelumnya sudah dilakukan di Manado untuk mewakili wilayah timur, dan di Jogjakarta untuk wilayah tengah. Tulisan ini disampaikan sebagai sumbang saran untuk seminar tersebut.
***
BADAN Usaha Milik Negara (BUMN) sekarang ini memberi kontribusi sekitar 40 persen terhadap PDRB nasional. Karena itu, kemandirian ekonomi Indonesia cukup kuat. Telah terbukti beberapa kali bisa menyelematkan Indonesia dari terpaan krisis ekonomi dunia. Posisi dan peran demikian juga dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Indonesia.
Asalkan diberi peluang dan diproteksi agar dapat peran maksimal. Saat ini kontribusi BUMD terhadap PDRB nasional baru sekitar 0,5 persen saja. Perkembangan BUMD masih sangat berat. Dari ribu-an BUMD yang ada, hanya sekitar 50 BUMD saja yang sehat dan berkembang, dan kebanyakan dari kelompok keuangan seperti perbankan. Kalau saja BUMD-BUMD itu bisa memberi kontribusi 10 persen saja terhadap PDRB nasional, alangkah kuatnya perekonomian nasional.
Keadaan dan posisi BUMD yang demikian kecil itu, tentu antara lain disebabkan masih kurangnya perhatian negara, dalam hal ini pemerintah di daerah terhadap posisi, kondisi, dan dukungan politis terhadap BUMD-BUMD agar sesuai dengan tujuan dan fungsi pendiriannya di era otonomi sekarang ini. Undang-undang yang memihak bagi pemberdayaan ekonomi daerah dan semangat ekonomi kerakyatan.
UU No 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang pernah dibuat pada zaman Orde Lama, pada dasarnya sudah mengakomodasi beberapa hal yang mendasar tentang fungsi dan tugas perusahaan daerah, namun banyak pasal dalam UU ini tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan ekonomi saat ini, khususnya dengan keberadaan otonomi daerah. Karena itu UU ini telah dicabut pada tahun 1996, namun belum ada UU yang baru sebagai penggantinya.
Rencana Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk mengusulkan rencana BUMD sebagai usul inisiatif, merupakan langkah yang baik dan strategis, meskipun beberapa tahun lalu pihak DPR RI juga pernah merancang dan menyosialisasikan kan draf UU BUMD versi mereka, namun sampai saat ini belum terwujud.
Draf UU BUMD yang baru versi DPD RI ini, meskipun sudah diperbaiki kekurangan dan sudah banyak mengakomodasi sisi strategis keberadaan BUMD, tetapi masih ada pasal-pasal yang memerlukan penegasaan dan penajaman agar BUMD benar-benar menjadi kekuatan ekonomi daerah dan kepentingan nasional.
Tidak hanya sekadar UU yang mengatur hal-hal yang bersifat mengawasi dan bahkan membatasi gerak BUMD sebagai lembaga bisnis. UU BUMD yang baru ini haruslah UU yang memihak, baik terhadap sistem ekonomi kerakyatan yang diterapkan di Indonesia, juga terhadap BUMD sebagai salah satu tulang punggung ekonomi daerah sebagai implementasi dari UU Otonomi Daerah yang sudah berjalan sejak 2000.
Ada beberapa hal yang sebaiknya dipertimbangkan sebagai semangat dan strategi dalam penyusunan UU BUMD tersebut. Pertama, UU BUMD yang baru tidak boleh menghilangkan semangat ekonomi kerakyatan yang berteraskan UUD 1945, di mana pemerintah dengan kekuasannya harus memberi perlindungan dan dukungan politik terhadap perekonomian nasional, terlebih ekonomi di daerah, dengan tetap menerapkan prinsip ekonomi pasar. Ekonomi jalan tengah ini untuk menghindari BUMD-BUMD dari penerapan prinsip pasar yang serakah.
Semangat UU seperti ini seharusnya ditetapkan dalam satu pasal saja agar arah perkembangan BUMD itu sejalan dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional. UU No 5 tahun 1965 yang sudah dicabut itu, misalnya, menyebutkan tentang sistem ekonomi sosialis yang menjadi sistem ekonomi nasional sebagai semangat UU itu. Prinsip dan sistem perekonomian inilah sebenarnya yang menjadi bagian paling mendasar dalam rencana revisi UU BUMD ini: dari sosialisme ke ekonomi kerakyatan.
Kedua, UU BUMD yang baru seharusnya menegaskan secara jelas tujuan pendirian BUMD itu adalah sebagai wujud pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan dan menjadikan BUMD sebagai salah satu tulang punggung ekonomi daerah. Pasal 3 draf UU BUMD tentang tujuan pendirian BUMD, misalnya, kurang tegas dan kurang tajam, dan kurang setrategis dalam menjabarkan fungsi dan tujuan BUMD tersebut.
Bahkan terkesan memposisikan BUMD sebagai lembaga ekonomi yang kurang strategis. Tujuan mendirikan BUMD antara lain hanya sebagai “penyumbang” pada perkembangan usaha dan ekonomi daerah menunjukkan tujuan BUMD itu hanya menjadi institusi pelengkap dan asal ada. Tidak ada penegasan bahwa BUMD itu wajib menjadi penggerak dan tulang punggung ekonomi daerah yang wujudnya nanti adalah kontribusinya terhadap PDRB nasional.
Ketiga, UU BUMD yang baru tidak boleh mematikan semangat kemandirian daerah yang sudah diwujudkan dalam bentuk pendirian BUMD-BUMD yang sudah ada karena BUMD-BUMD itu didirikan sebagian besar sudah dengan tujuan yang jelas untuk membangun kemandirian daerah dan memberdayakan secara maksimal potensi daerah. Perda-Perda yang ditetapkan DPRD-DPRD telah bersandar dan mengacu secara prinsip pada UU Perseroan Terbatas (PT) No 40/2007 yang sudah cukup akomodatif dengan ekonomi masar dan dipagari dengan semangat nasionalisme.
Keempat, UU BUMD yang baru seharusnya secara tegas menetapkan bahwa secara bertahap pemerintah daerah harus memberi kesempatan kepada BUMD-BUMD untuk menguasai minimal 30 persen akses pada aset, modal, dan potensi ekonomi daerah dalam bentuk hak-hak istimewa, agar peran BUMD segera terwujud dan menjadi strategi pembangunan daerah. Dan seharusnya juga ada satu pasal khusus yang mengatur dan mengarahkan kepentingan strategis ini.
Kelima, UU BUMD yang baru itu sebaiknya menegaskan bentuk badan hukum BUMD itu, baik yang tujuannya untuk kepentingan pelayanan umum (public service) maupun meningkatkan pendapatan daerah (profit oriented), seharusnya berbadan hukum PT agar prinsip-prinsip pengelolaannya tetap bersemangat bisnis, profesional, dan kompetitif.
Badan hukum BUMD yang selama ini ada seperti Perusahaan Daerah (PD), Perusahaan Umum (Perum), BLU, dll, sangat sulit dikembangkan sebagai lembaga bisnis, karena campur tangan pemerintah daerah (dalam hal ini kepala daerah dan DPRD-nya) terlalu besar dan kerab membangun dinding birokrasi yang menghambat kemandirian dan fleksibilitas perusahaan daerah.
Selain itu, BUMD yang berbentuk Perum dll, kurang menarik minat mitra usaha swasta untuk membangun kerja sama, dan banyak kerja sama yang dilakukan akhirnya berakhir di mesa sengketa. Hakikat pendirian perusahaan apapupun tujuannya, termasuk public service, tujuan akhirnya tetaplah untuk meraih laba/profit, mandiri, dan membebaskan diri dari ketergantungan pada APBD.
Meskipun dalam draf tersebut Perum boleh diubah bentuk badan hukumnya menjadi PT, tetapi tetap memerlukan waktu dan haruslah yang sehat secara usaha. Artinya, masih tetap akan lama terus “menyusu” pada APBD.
Keenam, UU BUMD yang baru seharusnya memberi peluang sebuah BUMD untuk berkembang sebagai holding company, baik holding untuk kepentingan operasional maupun holding untuk dalam pengendalian modal dan laba agar strategi pembangunan ekonomi daerah dapat dikendalikan secara strategis oleh pemegang saham utamanya dan memiliki sumber modal yang memadai dan memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat.
Di samping secara legal akan lebih mudah karena cukup satu atau dua Perda saja, dan fungsi pengawasan dari legislatifnya lebih fokus dan terukur.
Ketujuh, UU BUMD yang baru seharusnya memaknai pengertian perusahaan daerah itu adalah perusahaan yang didirikan oleh daerah provinsi, kabupaten, maupun secara bersama-sama. Sementara kerja sama dengan pihak pelaku ekonomi lainnya seperti koperasi dan swasta, sebaiknya dilakukan pada anak-anak perusahaan yang didirikan perusahaan holding agar strategi, kebijakan, dan tujuan keberadan BUMD itu dapat diarahkan sesuai dengan kebijakan ekonomi daerah.
Di samping kelemahan BUMD yang memiliki modal, keahlian, dan jaringan bisnis yang terbatas tetap dapat diatasi melalui kemitraan, di mana pemerintah daerah melalui BUMD induk tidak selalu harus menjadi pemegang saham mayoritas dan memberi kesempatan mitra swasta untuk berperan lebih besar.
Kedelapan, UU BUMD yang baru seharusnya tetap menegaskan bahwa peyertaan modal pemerintah daerah dapat bersumber tidak hanya dari APBD, kapitalisasi cadangan equitas, tetapi juga dalam bentuk setoran aset yang nilainya ditetapkan berdasarkan apraisal independen dan mendapat persetujuan DPRD.
Pengertian “sumber lain-lain” dalam poin C ayat 3 pasal 5 draf UU BUMD, menyebabkan strategi pemberdayaan aset daerah yang idle, kewenangan pemberian izin dll, yang menjadi hak pemerintah daerah tidak secara tegas difungsikan dan menjadi kekuatan modal BUMD-nya untuk berkembang.
Kesembilan, UU BUMD yang baru sebaiknya menegaskan kepengurusan BUMD hendaklah sejalan dengan semangat UU No 40 tahun 1977 tentang PT yang ditetapkan berdasarkan asas kepercayaan, tanggung jawab, dan prestasi kerja, dan tidak berdasarkan kesimpulan naif bahwa direksinya harus berusia maksimum 56 tahun, gara-gara takut pegawai negeri yang sudah pensiun ditempatkan sebagai direksi, atau berdasarkan kekuasaan mutlak pemerintah daerah sebagai pemegang saham mayoritas, sehingga orang yang dipilih menjadi direksi tidak kualifaid dan profesional.
Fungsi dewan komisaris yang bertanggung jawab penuh atas nama pemegang saham untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja perusahaan dan direksinya, haruslah juga profesional dan bukan jabatan politis. Ini agar keputusan dan persetujuan yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan dan dapat mengurangi hambatan birokrasi.
Karena itu dewan komisaris itu seharusnya minimal dua orang, dan seorang di antaranya adalah komisaris independen. Sedangkan direksi, untuk perusahaan yang baru didirikan dengan aset dan modal kecil, cukup satu orang, kecuali ada UU sektoral lain yang mengharuskan lebih, seperti UU tentang perusahaan keuangan.
Kesepuluh, UU BUMD yang baru seharusnya menetapkan masa jabatan pengurus BUMD itu 5 tahun, karena itulah siklus bisnis yang lazim, apalagi direksi diwajibkan membuat bisplan (rencana bisnis) 5 tahun, sehingga dewan komisaris dan direksi benar-benar bertanggung jawab terhadap rencana kerjanya dan berdasarkan kinerja itulah yang bersangkutan dapat dicalonkan kembali sebagai dekom atau direksi.
Kesebelas, UU BUMD yang baru menetapkan bahwa BUMDdidirikan berdasarkan Perda yang menetapkan bahwa modal pendiriannya berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Tetapi dalam mengelola usahanya baik UU BUMD maupun Perda seharusnya memberi hak-hak yang lebih besar kepada pemegang saham, dekom dan direksi untuk membuat keputusan pelepasan hak, penghapusan aset, penggabungan, pengembangan, dan lain-lain strategi usaha, terhadap aset perusahaan yang merupakan bagian harta yang sudah dipisahkan, kecuali terhadap penambahan modal dan pembubaran perusahaan.
BUMD bertanggung jawab penuh kepada pemegang sahamnya, dan DPRD sebagai lembaga pengawas menerima laporan perkembangan perusahaan dari pemegang saham. Meskipun UU No 40/2007 tentang PT sudah mengakomodasikannya, namun dalam praktik, terutama saat berhubungan pemeriksaan dan audit, aspek hukum demikian tetap diperlukan.
Demikianlah pokok-pokok pikiran ini disampaikan yang merupakan bagian dari pengalaman penulis mengelola BUMD serta mengamati perkembangan BUMD-BUMD lain, khususnya di Riau.***
Chairman Riau Pos Group dan Dirut Riau Investment Corporation (RIC).