29.3 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Sistem Pendidikan yang Berorientasi Pasar

Oleh: Jhon Rivel Purba

Pada awal abad ke-20 pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan politik etis di tanah jajahannya (Indonesia). Salah satu isi kebijakan politik etis itu adalah memberikan pendidikan (edukasi) kepada penduduk pribumi. Dalam praktiknya, pendidikan yang hanya bisa dikecap oleh segelintir masyarakat pribumi (kalangan priyayi) ini ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah demi kepentingan kolonial Belanda.

Meskipun Indonesia telah merdeka hampir 67 tahun, namun sistem pendidikan kita masih sama dengan sistem yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda satu abad yang lalu di Indonesia.  Di mana produk (pengecap) pendidikan diarahkan untuk bekerja di administrasi pemerintahan dan perusahaan  kapitalis.

Kita sangat menyayangkan ketika lulusan-lulusan perguruan tinggi berlomba-lomba menjadi pegawai negeri sipil (PNS), bekerja di perkebunan besar, pertambangan milik asing, dan perusahaan-perusahaan kapitalis. Sangat jarang lulusan perguruan tinggi yang siap berkarya dan mengabdi untuk kepentingan rakyat. Warisan sistem pendidikan kolonial yang terus diterapkan hingga kini hanya menghasilkan generasi-generasi pengagum kekuasaan, kekayaan (uang), dan kemapanan.

Sangat memprihatinkan ketika jumlah lulusan pendidikan tinggi semakin banyak, tetapi persoalan bangsa juga semakin kompleks. Bagaimana tidak, lulusan-lulusan perguruan tinggi tersebut  justru merusak bangsa, ketika mereka menjadi pemimpin yang korup, anasionalis, pelanggar hak asasi manusia (HAM),  penjual aset-aset negara, perusak lingkungan, agen-agen kepentingan asing, dan pembuat kebijakan anti-rakyat.

Mengapa mereka berbuat demikian? Bukankah koruptor kelas kakap adalah lulusan perguruan tinggi? Bukankah pemimpin yang membuat kebijakan anti-rakyat adalah lulusan perguruan tinggi? Jawabannya adalah karena sistem pendidikan kita telah membentuk manusia-manusia yang berorientasi pada uang. Sehingga demi uang, mereka tidak mendengar nurani dan derita rakyat.

Pada umumnya orang-orang mengambil jurusan kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, hukum, tujuan utamanya adalah kemudahan mendapatkan pekerjaan (uang). Ketika uang menjadi tujuan, maka tidak mengherankan ketika dokter-dokter kita sangat jarang mengabdi kepada orang miskin yang sakit. Lulusan jurusan teknik lebih “asyik” merancang dan membangun gedung-gedung pencakar langit daripada membangun jembatan atau produk teknologi untuk kepentingan rakyat.

Kemudian lulusan jurusan pertanian lebih nyaman bekerja di perkebunan asing daripada memberdayakan petani. Lulusan jurusan ekonomi berlomba-lomba menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan swasta asing dan nasional, sementara pengembangan ekonomi kerakyatan ditinggalkan. Demikian juga lulusan jurusan hukum yang mencari lahan “basah” misalnya menjadi kuasa hukum para koruptor, sementara pembelaan terhadap rakyat kecil sangat jarang.
Kita tidak perlu heran ketika pemimpin (kita) sendiri yang merusak bangsa ini. Lihatlah, kementerian pendidikan sendiri yang merusak pendidikan. Aparat dan penegak hukum yang justru melanggar hukum. Kementerian kehutanan yang ikut merusak hutan. Kementerian kelautan dan perikanan yang justru meminggirkan nelayan dan merusak laut. Kementerian agama yang mencoreng agama.

Itu semua karena sistem (pendidikan) yang dibangun di negeri ini adalah sistem yang mengabdi pada uang dan kekuasaan serta menjadi sekrup kapitalisme. Para pemimpin yang lahir dari sistem seperti ini pada gilirannya menjadi pengagum harta dan kekuasaan. Demi harta dan kekuasaan, dia rela menjadi perpanjangan tangan asing di negeri ini. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pun hanyalah “proyek” jangka pendek yang rapuh dan sarat dengan kepentingan sesaat. Bahkan kebijakan itu adalah untuk melayani selera pemilik modal.

Selain itu, sadar atau tidak, tidak sedikit warga negara di negeri ini yang justru menjadi “mata-mata” atau agen-agen kepentingan asing. Mereka bisa saja lewat mengecap pendidikan di negara lain atau melalui pendirian dan keaktifan NGO di tanah air. Mereka-mereka inilah yang melaporkan data-data penting di Indonesia kepada pihak asing. Ditambah lagi, lulusan-lulusan luar negeri inilah yang akan mempengaruhi kebijakan di negeri ini demi kepentingan pasar. Memang tidak semua demikian.

Hingga kini, sistem pendidikan pasar ini semakin berkembang. Kampus-kampus pun tidak ada bedanya lagi dengan pabrik. Pabrik yang mencetak produk, yakni “robot-robot” yang siap diserap pasar. “Robot-robot” inilah yang disiapkan menjadi buruh-buruh (kasar maupun halus). University for industry, itulah visi kampus sekarang.

Masuk akal ketika jurusan-jurusan yang berkembang adalah jurusan yang sangat diminati pasar (indstri), misalnya: jurusan kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, komputer dan hukum. Pandangan masyarakat yang mengganggap bahwa mereka yang belajar jurusan itu akan memiliki masa depan yang cerah, semakin memperkokoh sistem pendidikan pasar.

Masyarakat pun (sadar atau tidak) ikut terjebak dalam sistem ini. Mereka menginginkan anak-anaknya mengecap pendidikan dengan jurusan-jurusan yang diminati pasar. Pada umumnya mereka menginginkan anaknya bisa bekerja nantinya sebagai PNS, aparat berseragam, pengajar, dan karyawan di perusahaan besar. Memang wajar setiap orangtua mengharapkan masa depan anaknya agar cerah. Tetapi persoalannya adalah lagi-lagi berorientasi pada uang dan jabatan.
Kondisi masa lalu tentu berbeda dengan sekarang dan masa yang akan datang. Awal-awal kemerdekaan hingga era 1980-an memang masih banyak lowongan pekerjaan, sehingga lulusan perguruan tinggi relatif mudah mendapatkan pekerjaan yang “mapan”. Tetapi seiring membludaknya lulusan perguruan tinggi yang berorientasi pekerjaan, maka muncul persoalan besar karena lapangan pekerjaan makin sempit. Akhirnya semakin banyak penganggur terdidik. Era otonomi daerah yang membuka lapangan pekerjaan di birokrasi bukanlah solusi.

Jika sistem pendidikan kita tetap berorientasi ke pasar, maka bisa dipastikan akan hadir persoalan yang lebih besar. Pengangguran, kemiskinan, korupsi, upah yang murah, dan kekerasan akan menghiasi negeri ini. Karena semakin banyak lulusan perguruan tinggi di tengah-tengah sempitnya lapangan pekerjaan, maka semakin terbuka pintu kecurangan (suap) agar bisa mendapatkan pekerjaan.

Semakin banyak lulusan perguruan tinggi, maka semakin deras arus persaingan. Demi bertahan hidup, mereka akan siap menjadi buruh-buruh yang digaji dengan upah murah dan dengan jam kerja yang berat. Demi bertahan hidup, mereka akan mencari jalan bahkan menghalalkan segala cara misalnya dengan kejahatan dan menjadi agen-agen imperialis. Menjadi pemangsa bagi manusi lainnya. Sisanya, menjadi pengemis di negeri sendiri.
Oleh sebab itu, sistem pendidikan yang berorientasi pasar ini harus segera dihentikan. Kita harus menghadirkan pendidikan yang berkarakter dan mengabdi untuk kepentingan bangsa sesuai dengan konstitusi. Pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan manusia (humanisasi). Demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Penulis: adalah alumnus ilmu sejarah USU

Oleh: Jhon Rivel Purba

Pada awal abad ke-20 pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan politik etis di tanah jajahannya (Indonesia). Salah satu isi kebijakan politik etis itu adalah memberikan pendidikan (edukasi) kepada penduduk pribumi. Dalam praktiknya, pendidikan yang hanya bisa dikecap oleh segelintir masyarakat pribumi (kalangan priyayi) ini ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah demi kepentingan kolonial Belanda.

Meskipun Indonesia telah merdeka hampir 67 tahun, namun sistem pendidikan kita masih sama dengan sistem yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda satu abad yang lalu di Indonesia.  Di mana produk (pengecap) pendidikan diarahkan untuk bekerja di administrasi pemerintahan dan perusahaan  kapitalis.

Kita sangat menyayangkan ketika lulusan-lulusan perguruan tinggi berlomba-lomba menjadi pegawai negeri sipil (PNS), bekerja di perkebunan besar, pertambangan milik asing, dan perusahaan-perusahaan kapitalis. Sangat jarang lulusan perguruan tinggi yang siap berkarya dan mengabdi untuk kepentingan rakyat. Warisan sistem pendidikan kolonial yang terus diterapkan hingga kini hanya menghasilkan generasi-generasi pengagum kekuasaan, kekayaan (uang), dan kemapanan.

Sangat memprihatinkan ketika jumlah lulusan pendidikan tinggi semakin banyak, tetapi persoalan bangsa juga semakin kompleks. Bagaimana tidak, lulusan-lulusan perguruan tinggi tersebut  justru merusak bangsa, ketika mereka menjadi pemimpin yang korup, anasionalis, pelanggar hak asasi manusia (HAM),  penjual aset-aset negara, perusak lingkungan, agen-agen kepentingan asing, dan pembuat kebijakan anti-rakyat.

Mengapa mereka berbuat demikian? Bukankah koruptor kelas kakap adalah lulusan perguruan tinggi? Bukankah pemimpin yang membuat kebijakan anti-rakyat adalah lulusan perguruan tinggi? Jawabannya adalah karena sistem pendidikan kita telah membentuk manusia-manusia yang berorientasi pada uang. Sehingga demi uang, mereka tidak mendengar nurani dan derita rakyat.

Pada umumnya orang-orang mengambil jurusan kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, hukum, tujuan utamanya adalah kemudahan mendapatkan pekerjaan (uang). Ketika uang menjadi tujuan, maka tidak mengherankan ketika dokter-dokter kita sangat jarang mengabdi kepada orang miskin yang sakit. Lulusan jurusan teknik lebih “asyik” merancang dan membangun gedung-gedung pencakar langit daripada membangun jembatan atau produk teknologi untuk kepentingan rakyat.

Kemudian lulusan jurusan pertanian lebih nyaman bekerja di perkebunan asing daripada memberdayakan petani. Lulusan jurusan ekonomi berlomba-lomba menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan swasta asing dan nasional, sementara pengembangan ekonomi kerakyatan ditinggalkan. Demikian juga lulusan jurusan hukum yang mencari lahan “basah” misalnya menjadi kuasa hukum para koruptor, sementara pembelaan terhadap rakyat kecil sangat jarang.
Kita tidak perlu heran ketika pemimpin (kita) sendiri yang merusak bangsa ini. Lihatlah, kementerian pendidikan sendiri yang merusak pendidikan. Aparat dan penegak hukum yang justru melanggar hukum. Kementerian kehutanan yang ikut merusak hutan. Kementerian kelautan dan perikanan yang justru meminggirkan nelayan dan merusak laut. Kementerian agama yang mencoreng agama.

Itu semua karena sistem (pendidikan) yang dibangun di negeri ini adalah sistem yang mengabdi pada uang dan kekuasaan serta menjadi sekrup kapitalisme. Para pemimpin yang lahir dari sistem seperti ini pada gilirannya menjadi pengagum harta dan kekuasaan. Demi harta dan kekuasaan, dia rela menjadi perpanjangan tangan asing di negeri ini. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pun hanyalah “proyek” jangka pendek yang rapuh dan sarat dengan kepentingan sesaat. Bahkan kebijakan itu adalah untuk melayani selera pemilik modal.

Selain itu, sadar atau tidak, tidak sedikit warga negara di negeri ini yang justru menjadi “mata-mata” atau agen-agen kepentingan asing. Mereka bisa saja lewat mengecap pendidikan di negara lain atau melalui pendirian dan keaktifan NGO di tanah air. Mereka-mereka inilah yang melaporkan data-data penting di Indonesia kepada pihak asing. Ditambah lagi, lulusan-lulusan luar negeri inilah yang akan mempengaruhi kebijakan di negeri ini demi kepentingan pasar. Memang tidak semua demikian.

Hingga kini, sistem pendidikan pasar ini semakin berkembang. Kampus-kampus pun tidak ada bedanya lagi dengan pabrik. Pabrik yang mencetak produk, yakni “robot-robot” yang siap diserap pasar. “Robot-robot” inilah yang disiapkan menjadi buruh-buruh (kasar maupun halus). University for industry, itulah visi kampus sekarang.

Masuk akal ketika jurusan-jurusan yang berkembang adalah jurusan yang sangat diminati pasar (indstri), misalnya: jurusan kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, komputer dan hukum. Pandangan masyarakat yang mengganggap bahwa mereka yang belajar jurusan itu akan memiliki masa depan yang cerah, semakin memperkokoh sistem pendidikan pasar.

Masyarakat pun (sadar atau tidak) ikut terjebak dalam sistem ini. Mereka menginginkan anak-anaknya mengecap pendidikan dengan jurusan-jurusan yang diminati pasar. Pada umumnya mereka menginginkan anaknya bisa bekerja nantinya sebagai PNS, aparat berseragam, pengajar, dan karyawan di perusahaan besar. Memang wajar setiap orangtua mengharapkan masa depan anaknya agar cerah. Tetapi persoalannya adalah lagi-lagi berorientasi pada uang dan jabatan.
Kondisi masa lalu tentu berbeda dengan sekarang dan masa yang akan datang. Awal-awal kemerdekaan hingga era 1980-an memang masih banyak lowongan pekerjaan, sehingga lulusan perguruan tinggi relatif mudah mendapatkan pekerjaan yang “mapan”. Tetapi seiring membludaknya lulusan perguruan tinggi yang berorientasi pekerjaan, maka muncul persoalan besar karena lapangan pekerjaan makin sempit. Akhirnya semakin banyak penganggur terdidik. Era otonomi daerah yang membuka lapangan pekerjaan di birokrasi bukanlah solusi.

Jika sistem pendidikan kita tetap berorientasi ke pasar, maka bisa dipastikan akan hadir persoalan yang lebih besar. Pengangguran, kemiskinan, korupsi, upah yang murah, dan kekerasan akan menghiasi negeri ini. Karena semakin banyak lulusan perguruan tinggi di tengah-tengah sempitnya lapangan pekerjaan, maka semakin terbuka pintu kecurangan (suap) agar bisa mendapatkan pekerjaan.

Semakin banyak lulusan perguruan tinggi, maka semakin deras arus persaingan. Demi bertahan hidup, mereka akan siap menjadi buruh-buruh yang digaji dengan upah murah dan dengan jam kerja yang berat. Demi bertahan hidup, mereka akan mencari jalan bahkan menghalalkan segala cara misalnya dengan kejahatan dan menjadi agen-agen imperialis. Menjadi pemangsa bagi manusi lainnya. Sisanya, menjadi pengemis di negeri sendiri.
Oleh sebab itu, sistem pendidikan yang berorientasi pasar ini harus segera dihentikan. Kita harus menghadirkan pendidikan yang berkarakter dan mengabdi untuk kepentingan bangsa sesuai dengan konstitusi. Pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan manusia (humanisasi). Demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Penulis: adalah alumnus ilmu sejarah USU

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/