30 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Mengapa Indonesia tak Pernah Membajak Malaysia?

Oleh: Marthin Fransisco Manihuruk

“Tari tor-tor dibajak”. Mungkin itulah kata yang paling tepat menyusul adanya klaim dari Malaysia yang rencananya akan membuat paten atas salah satu kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia yaitu
tari tor-tor.

Tindakan Provokatif dan menyedihkan dari pihak negara Melaysia untuk Indonesia, kembali terulang lagi. Tak tanggung-tanggung, cara yang sama juga dipakai Malaysia untuk memprovokasi Indonesia yaitu dengan “mencuri warisan kebudayaan Indonesia”.  Masih segar dalam ingatan kita yaitu tentang pengakuan batik sebagai warisan  budaya Malaysia, walaupun kini telah disahkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya milik Indonesia. Kali ini objek dari korban nya Malaysia adalah tari Tor-tor Batak Toba dan Gordang sembilan dari Mandailing. Pihak Malaysia melalui situs web nya menyatakan bahwa Tor-tor dan gordang sambilan dari Mandailing adalah milik Malaysia. Kementerian Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia melalui Menterinya Dr. Rais Yatim dengan entengnya mengatakan bahwa tarian tor-tor ini akan terdaftar dalam bagian 67 Undang-undang warisan Nasional 2005 melalui Kantor berita Malaysia, BERNAMA. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa hal ini muncul?.

Hal ini muncul setidaknya disebabkan 2 faktor. Yang Pertama adalah faktor Kecemburuan Budaya dan Kesenjangan Budaya di Indonesia. Seyogianya bahwa hal ini terjadi karena didasarkan atas adanya 500 ribu orang yang ber suku batak tinggal di Malaysia yang ingin budayanya eksis ditampilkan dimana saja. Robert A.K. Hasibuan yang merupakan warga yang sudah lama menetap di Malaysia, mengatakan bahwa selama ini Indonesia hanya menampilkan eksistensi dari budaya-budaya lain seperti jawa, minang, dan lain-lain, namun budaya batak tidak pernah ditampilkan baik di media ataupun yang lain.

Padahal warga suku Batak yang melihatnya dari Malaysia sangat berharap bahwa budaya Batak dapat ditampilkan di khalayak umum dan diketahui banyak orang. Ini adalah merupakan perwujudan dari tradisi Batak itu sendiri, yang mana warga suku batak itu sangat mengharapkan kehormatan dari orang lain. Namun sangat disayangkan, pihak pemerintah hanya mendengung-dengungkan budaya-budaya yang berasal dari jawa dan minang.
Akhirnya yang menjadi implikasi dari hal ini adalah, warga suku batak yang menetap di  Malaysia, mendukung tindakan Malaysia untuk meng klaim bahwa budaya tari tor-tor adalah berasal dari Malaysia. Tak bisa dipungkiri, bahwa tari tor-tor ini eksistensinya sangat begitu nampak di Malaysia. Tari tor-tor dimainkan dan ditampilkan di publik dan dalam acara resmi di Malaysia. Jadi sangat wajar mereka mendukung tindakan pemerintah Malaysia di tengah-tengah tidak adanya Eksistensi Budaya Batak di Indonesia. Ini adalah bentuk ketidakpuasan dari warga suku batak di negeri Malaysia terhadap pengakuan kebudayaan Batak.

Faktor yang kedua adalah bahwa memang sebenarnya keadaan menyedihkan dari  Malaysia memang masih seperti dulu yaitu “miskin kreatifitas dan miskin budaya” sehingga untuk memperkayanya, Malaysia masih mempergunakan cara konvensional dan sama dengan yang sudah dilakukan dahulu yaitu dengan cara “Mengklaim” baik itu budaya berupa tari, masakan, kesenian, pulau dan yang lainnya.

Bahkan tak jarang usaha tersebut beberapa diantaranya berhasil. Ini lah yang membuat Malaysia ketagihan. Dapatkah Malaysia disalahkan dalam hal ini?. Tentu saja tidak. Selain daripada mempunyai bukti-bukti yang kokoh, pihak Malaysia juga begitu hebat dengan dengan dokumen-dokumen dan seksyen atau undang-undang Kebangsaannya.

Contoh konkritnya adalah pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia berhasil mengklaim karena di pulau itu sudah ada kegiatan-kegiatan berdagang yang dilakukan dan ada melaksanakan kebijakan pajak. Dan di dalam undang-undang Malaysia sendiri mengatakan bahwa, apabila sudah ada kegiatan hukum seperti berdagang atau pengutipan pajak, maka wilayah tersebut adalah wilayah Malaysia. Di sinilah letak kecerdasan Malaysia.

Salah siapa?

Kelemahan Indonesia sangat jelas tampak dari tidak kepedulian Indonesia terhadap budaya dan masyarakatnya dan wilayahnya. Lagu Rasa Sayange, Tari Pendet, Reog Ponorogo dan Angklung juga sempat menjadi perebutan Malaysia dan Indonesia. Di sisi lain, para TKI yang ada di Malaysia khususnya yang mati dibunuh, sedikit pun tak ada diprotes Indonesia. Padahal sudah ada MoU antara Indonesia dengan Malaysia tentang TKI. Di sisi lain, bukan main-main wilayah Indonesia pun sudah ada yang dimiliki Malaysia, yaitu Sipadan dan Ligitan.

Lantas, yang menjadi pertanyaan utama adalah, kalau Malaysia berani berbuat demikian, siapa pihak yang pantas untuk dipersalahkan?. Sudah dapat kita bayangkan bahwa pihak yang seharusnya bertanggungjawab adalah Pemerintah sendiri. Indonesia, mulai dari jaman penjajahan sampai merdeka, sama sekali  tidak pernah ada program untuk membuat daftar budaya-budaya Indonesia dan mendaftarkan nya ke UNESCO. Padahal UNESCO sendiri telah memberi kemudahan dalam mendaftarkannya melalui deklarasinya tahun 2001.

Malaysia sudah membuat daftar-daftar budaya mereka di situs Malaysia sendiri yaitu di www.bernama.com sedangkan Indonesia, belum membuat hal yang serupa. Memang ada yang membuat, namun tidak lengkap. Sangat wajar, karena situs ini pun hanya dibuat oleh kalangan-kalangan yang peduli dengan budaya Indonesia. Dalam hal ini jelas Indonesia sangat lemah.

Bukan Sekedar Waspada

Tidak adanya Undang-undang khusus perlindungan kebudayaan di Indonesia menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Dalam kasus ini setidaknya kita perlu bercermin dari kasus serupa yang telah terjadi dahulu. Tak mungkin pemerintah ataupun masyarakat tidak mengetahui hal ini. Perlu hendaknya pemerintah membuat suatu terobosan baru di bidang mempertahankan budaya.

Seharusnya pemerintah harus segera mendafatar semua kebudayaannya. Tak hanya itu, pemerintah juga harus membuat MoU diantara negara-negara ASIA khususnya bagi negara yang kerap melakukan tindakan yang merugikan Indonesia.  Karena tanpa hal itu, mustahil kekayaan Indonesia dapat terlindungi.

Bukan hanya sekedar waspada yang perlu dilakukan pemerintah, tetapi juga harus berpikir panjang dan melakukan pembenahan. UNESCO sendiri telah memberikan keleluasaan bagi negara untuk mendaftarkan warisan budayanya melalui Deklarasi Universal tentang keberagaman Budaya 2001 dan melalui konvensi untuk perlindungan Budaya tak Benda tahun 2008, maka pergunakanlah untuk membajak Malaysia kembali!!!

(Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum USU)

Oleh: Marthin Fransisco Manihuruk

“Tari tor-tor dibajak”. Mungkin itulah kata yang paling tepat menyusul adanya klaim dari Malaysia yang rencananya akan membuat paten atas salah satu kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia yaitu
tari tor-tor.

Tindakan Provokatif dan menyedihkan dari pihak negara Melaysia untuk Indonesia, kembali terulang lagi. Tak tanggung-tanggung, cara yang sama juga dipakai Malaysia untuk memprovokasi Indonesia yaitu dengan “mencuri warisan kebudayaan Indonesia”.  Masih segar dalam ingatan kita yaitu tentang pengakuan batik sebagai warisan  budaya Malaysia, walaupun kini telah disahkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya milik Indonesia. Kali ini objek dari korban nya Malaysia adalah tari Tor-tor Batak Toba dan Gordang sembilan dari Mandailing. Pihak Malaysia melalui situs web nya menyatakan bahwa Tor-tor dan gordang sambilan dari Mandailing adalah milik Malaysia. Kementerian Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia melalui Menterinya Dr. Rais Yatim dengan entengnya mengatakan bahwa tarian tor-tor ini akan terdaftar dalam bagian 67 Undang-undang warisan Nasional 2005 melalui Kantor berita Malaysia, BERNAMA. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa hal ini muncul?.

Hal ini muncul setidaknya disebabkan 2 faktor. Yang Pertama adalah faktor Kecemburuan Budaya dan Kesenjangan Budaya di Indonesia. Seyogianya bahwa hal ini terjadi karena didasarkan atas adanya 500 ribu orang yang ber suku batak tinggal di Malaysia yang ingin budayanya eksis ditampilkan dimana saja. Robert A.K. Hasibuan yang merupakan warga yang sudah lama menetap di Malaysia, mengatakan bahwa selama ini Indonesia hanya menampilkan eksistensi dari budaya-budaya lain seperti jawa, minang, dan lain-lain, namun budaya batak tidak pernah ditampilkan baik di media ataupun yang lain.

Padahal warga suku Batak yang melihatnya dari Malaysia sangat berharap bahwa budaya Batak dapat ditampilkan di khalayak umum dan diketahui banyak orang. Ini adalah merupakan perwujudan dari tradisi Batak itu sendiri, yang mana warga suku batak itu sangat mengharapkan kehormatan dari orang lain. Namun sangat disayangkan, pihak pemerintah hanya mendengung-dengungkan budaya-budaya yang berasal dari jawa dan minang.
Akhirnya yang menjadi implikasi dari hal ini adalah, warga suku batak yang menetap di  Malaysia, mendukung tindakan Malaysia untuk meng klaim bahwa budaya tari tor-tor adalah berasal dari Malaysia. Tak bisa dipungkiri, bahwa tari tor-tor ini eksistensinya sangat begitu nampak di Malaysia. Tari tor-tor dimainkan dan ditampilkan di publik dan dalam acara resmi di Malaysia. Jadi sangat wajar mereka mendukung tindakan pemerintah Malaysia di tengah-tengah tidak adanya Eksistensi Budaya Batak di Indonesia. Ini adalah bentuk ketidakpuasan dari warga suku batak di negeri Malaysia terhadap pengakuan kebudayaan Batak.

Faktor yang kedua adalah bahwa memang sebenarnya keadaan menyedihkan dari  Malaysia memang masih seperti dulu yaitu “miskin kreatifitas dan miskin budaya” sehingga untuk memperkayanya, Malaysia masih mempergunakan cara konvensional dan sama dengan yang sudah dilakukan dahulu yaitu dengan cara “Mengklaim” baik itu budaya berupa tari, masakan, kesenian, pulau dan yang lainnya.

Bahkan tak jarang usaha tersebut beberapa diantaranya berhasil. Ini lah yang membuat Malaysia ketagihan. Dapatkah Malaysia disalahkan dalam hal ini?. Tentu saja tidak. Selain daripada mempunyai bukti-bukti yang kokoh, pihak Malaysia juga begitu hebat dengan dengan dokumen-dokumen dan seksyen atau undang-undang Kebangsaannya.

Contoh konkritnya adalah pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia berhasil mengklaim karena di pulau itu sudah ada kegiatan-kegiatan berdagang yang dilakukan dan ada melaksanakan kebijakan pajak. Dan di dalam undang-undang Malaysia sendiri mengatakan bahwa, apabila sudah ada kegiatan hukum seperti berdagang atau pengutipan pajak, maka wilayah tersebut adalah wilayah Malaysia. Di sinilah letak kecerdasan Malaysia.

Salah siapa?

Kelemahan Indonesia sangat jelas tampak dari tidak kepedulian Indonesia terhadap budaya dan masyarakatnya dan wilayahnya. Lagu Rasa Sayange, Tari Pendet, Reog Ponorogo dan Angklung juga sempat menjadi perebutan Malaysia dan Indonesia. Di sisi lain, para TKI yang ada di Malaysia khususnya yang mati dibunuh, sedikit pun tak ada diprotes Indonesia. Padahal sudah ada MoU antara Indonesia dengan Malaysia tentang TKI. Di sisi lain, bukan main-main wilayah Indonesia pun sudah ada yang dimiliki Malaysia, yaitu Sipadan dan Ligitan.

Lantas, yang menjadi pertanyaan utama adalah, kalau Malaysia berani berbuat demikian, siapa pihak yang pantas untuk dipersalahkan?. Sudah dapat kita bayangkan bahwa pihak yang seharusnya bertanggungjawab adalah Pemerintah sendiri. Indonesia, mulai dari jaman penjajahan sampai merdeka, sama sekali  tidak pernah ada program untuk membuat daftar budaya-budaya Indonesia dan mendaftarkan nya ke UNESCO. Padahal UNESCO sendiri telah memberi kemudahan dalam mendaftarkannya melalui deklarasinya tahun 2001.

Malaysia sudah membuat daftar-daftar budaya mereka di situs Malaysia sendiri yaitu di www.bernama.com sedangkan Indonesia, belum membuat hal yang serupa. Memang ada yang membuat, namun tidak lengkap. Sangat wajar, karena situs ini pun hanya dibuat oleh kalangan-kalangan yang peduli dengan budaya Indonesia. Dalam hal ini jelas Indonesia sangat lemah.

Bukan Sekedar Waspada

Tidak adanya Undang-undang khusus perlindungan kebudayaan di Indonesia menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Dalam kasus ini setidaknya kita perlu bercermin dari kasus serupa yang telah terjadi dahulu. Tak mungkin pemerintah ataupun masyarakat tidak mengetahui hal ini. Perlu hendaknya pemerintah membuat suatu terobosan baru di bidang mempertahankan budaya.

Seharusnya pemerintah harus segera mendafatar semua kebudayaannya. Tak hanya itu, pemerintah juga harus membuat MoU diantara negara-negara ASIA khususnya bagi negara yang kerap melakukan tindakan yang merugikan Indonesia.  Karena tanpa hal itu, mustahil kekayaan Indonesia dapat terlindungi.

Bukan hanya sekedar waspada yang perlu dilakukan pemerintah, tetapi juga harus berpikir panjang dan melakukan pembenahan. UNESCO sendiri telah memberikan keleluasaan bagi negara untuk mendaftarkan warisan budayanya melalui Deklarasi Universal tentang keberagaman Budaya 2001 dan melalui konvensi untuk perlindungan Budaya tak Benda tahun 2008, maka pergunakanlah untuk membajak Malaysia kembali!!!

(Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum USU)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/