29 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Karut Marut Pertanahan

Oleh:
Dr Suhrawardi K Lubis, SH Sp N, MH
Usaha Ginting SH

Persoalan pertanahan yang mencuat kepermukaan akhir-akhir ini, merupakan implikasi dari kebijakan pertanahan di masa lalu. Persoalan ini berurat berakar pada masa yang panjang, mulai dari zaman kolonial, orde baru dan hingga kini.

Warisan kebijakan tersebut ternyata makin membuat ketimpangan penguasaan pertanahan hingga menyebabkan timbulnya konflik yang terus bergulir dan berkepanjangan di tengah masyarakat.

Meningkatnya persoalan pertanahan di negara ini, mendorong Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI membentuk panitia khusus (pansus) konflik pertanahan dan sumber daya alam (SDA).  Pengesahan pembentukan pansus tersebut dilakukan dalam rapat paripurna DPD yang dipimpin ketua DPD, Irman Gusman. Ini sebuah langkah awal yang positif dan masyarakat pasti berharap pansus yang sudah dibentuk dapat berjalan sesuai harapan masyarakat.

Langkah-langkah untuk meluruskan kembali orientasi perundang-undangan sektoral yang dilakukan pada masa orde baru melalui UU Nomor 1 tahun 1967 tentang PMA dan UU No 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok di bidang pertambangan.
Sebab Undang-Undang ini membuka peluang bagi swasta asing mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia.

Meluruskan kembali orientasi Undang-Undang ini sudah dilakukan sejak tumbangnya rezim Orde Baru. Khususnya melalui TAP MPR No IX tahun 2001, TAP MPR ini menegaskan kembali agenda untuk meninjau semua peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan dan sumber daya alam yang telah menyimpang dari UUD 1945 dan UU No 5 tahun 1960, serta mengembalikannya pada dasar yang telah ditetapkan UUD 1945 terutama pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 serta UU No 5 tahun 1960 (UUPA).

Namun hingga kini upaya tersebut terganjal, sehingga menimbulkan sektoralisme yang makin meluas dan membuka ruang yang jauh lebih besar lagi untuk masuknya modal asing di dalam mengeksploitasi sumber pertanahan dan sumber daya alam lainnya.

Ini sungguh suatu penyimpangan yang mendasar terhadap UUD 1945 dan UU No 5 tahun 1960. Oleh karena itu, masyarakat berharap langkah yang diambil oleh DPD dapat segera terealisasi.  Manakala hal ini terealisasi, tentu akan dapat mengakhiri cara-cara penghisapan manusia atas manusia dan pada gilirannya dapat memberikan kemerdekaan kepada rakyat untuk mengelola sumber daya alam/pertanahan bagi kemakmuran dan kesejahtraannya.

Karut Marut

Akar karut marut pertanahan yang terjadi di negeri ini sesungguhnya berakar dari ego sektoral Kementerian yang mengatur pemanfaatan sumber pertanahan dan sumber daya alam.

Hal ini disebabkan kewenangan yang diberikan UU No 41/1999 tentang kehutanan kepada Pemerintah. Undang-undang ini memberi kewenangan yang berlebihan kepada pemerintah secara sepihak untuk menunjuk luas kawasan hutan yang luasnya 136.94 juata hektar atau 69 persen dari luas wilayah Indonesia.
Tentunya ketentuan UU kehutanan ini merugikan masyarakat dan petani. Sementara proses lanjutan setelah penunjukan (penetapan tata guna hutan kesepakatan atau TGHK) tidak pernah dijalankan secara serius oleh pemerintah.

Sampai kini, 121,74 juta hektar (88 persen) kawasan hutan belum ditata batas-batasnya dengan jelas. Padahal, dalam kawasan hutan tersebut ada masalah besar, sebab di dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak oleh Pemerintah, terdapat sekitar 19,000 desa yang penduduknya setiap hari rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan.

Menurut data Kementerian Kehutanan, luas HTI hingga kini mencapai 9,39 juta hektar dan dikelola oleh 262 unit perusahaan dengan izin hingga 100 tahun. Bandingkan dengan izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631.628 hektar. Sementara luas HPH di Indonesia 214,9 juta hektar yang hanya dikelola oleh 303 perusahaan HPH. Apa implikasinya ini semua? Jawabnya adalah meluasnya konflik yang akan terjadi di kawasan hutan.

Sementara itu, orientasi ekonomi untuk memenuhi tuntutan pasar global pada komuditas tertentu (dulu kopi, gula, lalu belakangan karet, dan terahir sawit) perkebunan menyebabkan pola ekstraksi intensif perkebunan terus dilanggengkan.

Bahkan belakangan semakin masif, terutama sejak dekade terahir ketika komuditas sawit menjadi primadona global. Ekstraksi intensif perkebunan ini menyebabkan penyingkiran rakyat pada akses lahan mereka dan akibatnya menimbulkan konflik pertanahan yang semakin masif. Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga 2010 kasus pertanahan telah mencapai 8.000 kasus. Sementara laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Pertanahan (KPA) pada tahun 2011 terdapat 163 konflik yang menyebar di seluruh Indonesia.
Terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun 2010  yang hanya 106 konflik.

Sedangkan dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang meninggal di wilayah-wilayah sengketa dan konflik pertanahan. Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga, sementara luas area konflik mencapai 472.948,44 hektar.
Dari 163 kasus yang terjadi, terdapat 97 kasus pada sektor perkebunan (960 persen), 36 kasus di sektor kehutanan (22 persen), dan 1 kasus pada wilayah tambak/pesisir (1 persen).

Sementara dilihat dari sebaran wilayah konflik, jumlah konflik atau sengketa pertanahan terbanyak terjadi di Provinsi Jawa Timur dengan 36 kasus, kemudian Sumatera Utara 25 kasus, Sulawesi tenggara 15 kasus, Jawa Tengah 12 kasus, Jambi 11 kasus, Riau 10 kasus, Sumatera Selatan 9 kasus, Lampung 5 kasus, dan sisanya tersebar di Provinsi lainnya.

Sementara data HuMa dari 110 sengketa pertanahan, setidaknya terdapat 2,7 juta hektar lahan yang menjadi obyek konflik melibatkan pemerintah dan perusahaan sebagai pelaku dominan.  Selain itu data yang di dapat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) sepanjang tahun 2011 telah terjadi pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. Seperti yang dialami oleh rakyat penunggu di Sumatera Utara yang mempertahankan hak atas tanah adatnya, di Kalimantan Barat, komunitas adat Semuying Jaya.  Beberapa aktifitas gerakan masyarakat adat dikriminalisasi dan ditahan aparat kelopisian.
Kasus yang hampir sama juga terjadi di beberapa kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, seperti Kabupaten Sangkau, Ketapang, Sintang, Melawai, Landak dan Sambas.

Di Kabupaten Manggarai Barat, NTT lima orang anggota komunitas adat ditangkap dan diproses pengadilan. Dan kasus yang terbaru adalah komunitas adat pekasa di kabupaten Sumbawa Besar, yang berhadapan dengan aparat keamanan untuk mempertahankan wilayah adatnya.
Apa yang dipaparkan tersebut terkait dengan kebijakan lembaga sektoral yang memberikan izin ekspansi industri ekstraktif di basis kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.

Dengan demikian, Kementerian Kehutanan, Kementrian ESDM, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan serta Badan Pertahanan Nasional adalah institusi-institusi negara yang harus dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan yang telah diberikan tersebut. Karena kebijakan yang pro pemilik modal ini telah menyebabkan ketimpangan pertanahan yang sangat besar.  Dimana sebagian kecil warga negara (hanya 0,2 persen) menguasai sebagian besar aset nasional yaitu 56 persen dan 87 persen daripadanya dalam bentuk aset berupa tanah. Konsekwensi logisnya adalah semakin masifnya konflik-konflik pertanahan dan sumber daya alam yang akan terjadi.

Dampak lain dari ego sektoral institusi tersebut, ialah tidak terselesaikannya konflik-konflik pertanahan yang terjadi. Departemen Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional nyaris tak pernah satu kata dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kawasan hutan. Tentu saja alasannya karena kewenangan atas kawasan hutan berdsarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 ada di Departemen Kehutanan. Padahal hutan merupakan salah satu sumber pertanahan yang semestinya harus tunduk  kepada UUPA 1960.

Sementara itu konflik yang terjadi di kawasan hutan belum ada mekanisme penyelesaiannya sama sekali, satu-satunya mekanisme yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan adalah mengeluarkan SK Menhut No 90 tahun 2011 mengenai Task Force Penyelesaian Konflik Hutan, itupun belum selesai disusun (SOP)-nya. Keadaan ini diperparah lagi dengan longgarnya sikap Kementerian Kehutanan terhadap konversi hutan menjadi perkebunan dibanding pelepasan kawasan hutan untuk redistribusi lahan bagi petani. (*)
Penulis adalah Dosen dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UMSU.

Sedangkan menyangkut akses rakyat atas lahan, Kementerian Kehutanan hanya menganut paham pemberian akses pengelolaan lahan, bukan kepemilikan lahan. Hal ini terbukti  dengan beberapa program kehutanan sosial melalui hutan kemasyarakatan (HKM), hutan tanam rakyat (HTR), maupun hutan Desa.

Sementara BPN hanya berwenang untuk mengatur hal-hal yang bersifat administrasi pertanahan saja, terutama pendaftaran tanah, pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah. Perubahan institusi BPN dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa di masa orde lama memiliki daya politik sebagai satu paket dari politik pertanahan pasca kemerdekaan yang ditujukan untuk melaksanakan UUPA 1960.
Seiring perubahan politik maka institusi ini dikerdilkan fungsi politiknya menjadi fungsi administrasi semata dan dikecilkan lagi posisinya dari Kementerian negara menjadi hanya badan. Tentunya ini menunjukkan betapa lemahnya posisi BPN ketika berhadapan dengan Kementerian Kehutanan, ESDM, Keuangan dan Kementrian lainnya terkait dengan pertanahan dan sumber daya alam. Misalnya, hadirnya Peraturan Pemerintah No 11 tahun 2010 tentang penertiban tanah terlantar yang ternyata hanya memberikan sedikit kekuasaan kepada BPN untuk menyelesaikan ijin HGU pada perkebunan swasta.

PP ini salah satu dari resolusi konflik, tapi hanya terbatas pada perkebunan swasta terlantar, dengan menyisakan sebagaian terbesar konflik pertanahan pada perkebunan negara, hutan dan tambang.

Dalam upaya penanggulangan konflik, BPN dan Polri bekerjasama melalui MoU. Belakangan justru MoU tersebut menjadi sumber masalah baru karena memberi ruang untuk terjadinya tindakan represi aparat pada konflik-konflik pertanahan. Oleh karena itu, BPN perlu dimintai pertanggungjawaban atas adanya MoU dengan Polri untuk menyelenggarakan pengamanan terhadap sengketa pertanahan.

Secara khusus pula institusi TNI dan Polri harus dimintai pertanggung jawaban pula atas keterlibatannya pada kasus-kasus kekerasan terhadap masyarakat saat timbulnya konflik pertanahan dan sumber daya alam.

Agar konflik pertanahan tidak terus terjadi, perlu dilakukan tindakan-tindakan berikut: Pertama, perlunya evaluasi menyeluruh terhadap semua peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan menguatkan ego sektoral, termasuk evaluasi terhadap peraturan di bawah undang-undang.
Kedua, menyusun kebijakan penyelesaian konflik secara menyeluruh yang mampu mengatasi semua ego sektoral kementrian yang terkait dengan konflik selama ini, termasuk di dalamnya adalah strategi mengatasi problem institusi bagi penyelesaian konflik pertanahan secara nasional. Mudah-mudahan, berawal dari pansus yang di bentuk oleh DPD semua dapat dilakukan. Semoga!

Oleh:
Dr Suhrawardi K Lubis, SH Sp N, MH
Usaha Ginting SH

Persoalan pertanahan yang mencuat kepermukaan akhir-akhir ini, merupakan implikasi dari kebijakan pertanahan di masa lalu. Persoalan ini berurat berakar pada masa yang panjang, mulai dari zaman kolonial, orde baru dan hingga kini.

Warisan kebijakan tersebut ternyata makin membuat ketimpangan penguasaan pertanahan hingga menyebabkan timbulnya konflik yang terus bergulir dan berkepanjangan di tengah masyarakat.

Meningkatnya persoalan pertanahan di negara ini, mendorong Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI membentuk panitia khusus (pansus) konflik pertanahan dan sumber daya alam (SDA).  Pengesahan pembentukan pansus tersebut dilakukan dalam rapat paripurna DPD yang dipimpin ketua DPD, Irman Gusman. Ini sebuah langkah awal yang positif dan masyarakat pasti berharap pansus yang sudah dibentuk dapat berjalan sesuai harapan masyarakat.

Langkah-langkah untuk meluruskan kembali orientasi perundang-undangan sektoral yang dilakukan pada masa orde baru melalui UU Nomor 1 tahun 1967 tentang PMA dan UU No 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok di bidang pertambangan.
Sebab Undang-Undang ini membuka peluang bagi swasta asing mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia.

Meluruskan kembali orientasi Undang-Undang ini sudah dilakukan sejak tumbangnya rezim Orde Baru. Khususnya melalui TAP MPR No IX tahun 2001, TAP MPR ini menegaskan kembali agenda untuk meninjau semua peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan dan sumber daya alam yang telah menyimpang dari UUD 1945 dan UU No 5 tahun 1960, serta mengembalikannya pada dasar yang telah ditetapkan UUD 1945 terutama pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 serta UU No 5 tahun 1960 (UUPA).

Namun hingga kini upaya tersebut terganjal, sehingga menimbulkan sektoralisme yang makin meluas dan membuka ruang yang jauh lebih besar lagi untuk masuknya modal asing di dalam mengeksploitasi sumber pertanahan dan sumber daya alam lainnya.

Ini sungguh suatu penyimpangan yang mendasar terhadap UUD 1945 dan UU No 5 tahun 1960. Oleh karena itu, masyarakat berharap langkah yang diambil oleh DPD dapat segera terealisasi.  Manakala hal ini terealisasi, tentu akan dapat mengakhiri cara-cara penghisapan manusia atas manusia dan pada gilirannya dapat memberikan kemerdekaan kepada rakyat untuk mengelola sumber daya alam/pertanahan bagi kemakmuran dan kesejahtraannya.

Karut Marut

Akar karut marut pertanahan yang terjadi di negeri ini sesungguhnya berakar dari ego sektoral Kementerian yang mengatur pemanfaatan sumber pertanahan dan sumber daya alam.

Hal ini disebabkan kewenangan yang diberikan UU No 41/1999 tentang kehutanan kepada Pemerintah. Undang-undang ini memberi kewenangan yang berlebihan kepada pemerintah secara sepihak untuk menunjuk luas kawasan hutan yang luasnya 136.94 juata hektar atau 69 persen dari luas wilayah Indonesia.
Tentunya ketentuan UU kehutanan ini merugikan masyarakat dan petani. Sementara proses lanjutan setelah penunjukan (penetapan tata guna hutan kesepakatan atau TGHK) tidak pernah dijalankan secara serius oleh pemerintah.

Sampai kini, 121,74 juta hektar (88 persen) kawasan hutan belum ditata batas-batasnya dengan jelas. Padahal, dalam kawasan hutan tersebut ada masalah besar, sebab di dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak oleh Pemerintah, terdapat sekitar 19,000 desa yang penduduknya setiap hari rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan.

Menurut data Kementerian Kehutanan, luas HTI hingga kini mencapai 9,39 juta hektar dan dikelola oleh 262 unit perusahaan dengan izin hingga 100 tahun. Bandingkan dengan izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631.628 hektar. Sementara luas HPH di Indonesia 214,9 juta hektar yang hanya dikelola oleh 303 perusahaan HPH. Apa implikasinya ini semua? Jawabnya adalah meluasnya konflik yang akan terjadi di kawasan hutan.

Sementara itu, orientasi ekonomi untuk memenuhi tuntutan pasar global pada komuditas tertentu (dulu kopi, gula, lalu belakangan karet, dan terahir sawit) perkebunan menyebabkan pola ekstraksi intensif perkebunan terus dilanggengkan.

Bahkan belakangan semakin masif, terutama sejak dekade terahir ketika komuditas sawit menjadi primadona global. Ekstraksi intensif perkebunan ini menyebabkan penyingkiran rakyat pada akses lahan mereka dan akibatnya menimbulkan konflik pertanahan yang semakin masif. Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga 2010 kasus pertanahan telah mencapai 8.000 kasus. Sementara laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Pertanahan (KPA) pada tahun 2011 terdapat 163 konflik yang menyebar di seluruh Indonesia.
Terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun 2010  yang hanya 106 konflik.

Sedangkan dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang meninggal di wilayah-wilayah sengketa dan konflik pertanahan. Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga, sementara luas area konflik mencapai 472.948,44 hektar.
Dari 163 kasus yang terjadi, terdapat 97 kasus pada sektor perkebunan (960 persen), 36 kasus di sektor kehutanan (22 persen), dan 1 kasus pada wilayah tambak/pesisir (1 persen).

Sementara dilihat dari sebaran wilayah konflik, jumlah konflik atau sengketa pertanahan terbanyak terjadi di Provinsi Jawa Timur dengan 36 kasus, kemudian Sumatera Utara 25 kasus, Sulawesi tenggara 15 kasus, Jawa Tengah 12 kasus, Jambi 11 kasus, Riau 10 kasus, Sumatera Selatan 9 kasus, Lampung 5 kasus, dan sisanya tersebar di Provinsi lainnya.

Sementara data HuMa dari 110 sengketa pertanahan, setidaknya terdapat 2,7 juta hektar lahan yang menjadi obyek konflik melibatkan pemerintah dan perusahaan sebagai pelaku dominan.  Selain itu data yang di dapat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) sepanjang tahun 2011 telah terjadi pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. Seperti yang dialami oleh rakyat penunggu di Sumatera Utara yang mempertahankan hak atas tanah adatnya, di Kalimantan Barat, komunitas adat Semuying Jaya.  Beberapa aktifitas gerakan masyarakat adat dikriminalisasi dan ditahan aparat kelopisian.
Kasus yang hampir sama juga terjadi di beberapa kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, seperti Kabupaten Sangkau, Ketapang, Sintang, Melawai, Landak dan Sambas.

Di Kabupaten Manggarai Barat, NTT lima orang anggota komunitas adat ditangkap dan diproses pengadilan. Dan kasus yang terbaru adalah komunitas adat pekasa di kabupaten Sumbawa Besar, yang berhadapan dengan aparat keamanan untuk mempertahankan wilayah adatnya.
Apa yang dipaparkan tersebut terkait dengan kebijakan lembaga sektoral yang memberikan izin ekspansi industri ekstraktif di basis kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.

Dengan demikian, Kementerian Kehutanan, Kementrian ESDM, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan serta Badan Pertahanan Nasional adalah institusi-institusi negara yang harus dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan yang telah diberikan tersebut. Karena kebijakan yang pro pemilik modal ini telah menyebabkan ketimpangan pertanahan yang sangat besar.  Dimana sebagian kecil warga negara (hanya 0,2 persen) menguasai sebagian besar aset nasional yaitu 56 persen dan 87 persen daripadanya dalam bentuk aset berupa tanah. Konsekwensi logisnya adalah semakin masifnya konflik-konflik pertanahan dan sumber daya alam yang akan terjadi.

Dampak lain dari ego sektoral institusi tersebut, ialah tidak terselesaikannya konflik-konflik pertanahan yang terjadi. Departemen Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional nyaris tak pernah satu kata dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kawasan hutan. Tentu saja alasannya karena kewenangan atas kawasan hutan berdsarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 ada di Departemen Kehutanan. Padahal hutan merupakan salah satu sumber pertanahan yang semestinya harus tunduk  kepada UUPA 1960.

Sementara itu konflik yang terjadi di kawasan hutan belum ada mekanisme penyelesaiannya sama sekali, satu-satunya mekanisme yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan adalah mengeluarkan SK Menhut No 90 tahun 2011 mengenai Task Force Penyelesaian Konflik Hutan, itupun belum selesai disusun (SOP)-nya. Keadaan ini diperparah lagi dengan longgarnya sikap Kementerian Kehutanan terhadap konversi hutan menjadi perkebunan dibanding pelepasan kawasan hutan untuk redistribusi lahan bagi petani. (*)
Penulis adalah Dosen dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UMSU.

Sedangkan menyangkut akses rakyat atas lahan, Kementerian Kehutanan hanya menganut paham pemberian akses pengelolaan lahan, bukan kepemilikan lahan. Hal ini terbukti  dengan beberapa program kehutanan sosial melalui hutan kemasyarakatan (HKM), hutan tanam rakyat (HTR), maupun hutan Desa.

Sementara BPN hanya berwenang untuk mengatur hal-hal yang bersifat administrasi pertanahan saja, terutama pendaftaran tanah, pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah. Perubahan institusi BPN dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa di masa orde lama memiliki daya politik sebagai satu paket dari politik pertanahan pasca kemerdekaan yang ditujukan untuk melaksanakan UUPA 1960.
Seiring perubahan politik maka institusi ini dikerdilkan fungsi politiknya menjadi fungsi administrasi semata dan dikecilkan lagi posisinya dari Kementerian negara menjadi hanya badan. Tentunya ini menunjukkan betapa lemahnya posisi BPN ketika berhadapan dengan Kementerian Kehutanan, ESDM, Keuangan dan Kementrian lainnya terkait dengan pertanahan dan sumber daya alam. Misalnya, hadirnya Peraturan Pemerintah No 11 tahun 2010 tentang penertiban tanah terlantar yang ternyata hanya memberikan sedikit kekuasaan kepada BPN untuk menyelesaikan ijin HGU pada perkebunan swasta.

PP ini salah satu dari resolusi konflik, tapi hanya terbatas pada perkebunan swasta terlantar, dengan menyisakan sebagaian terbesar konflik pertanahan pada perkebunan negara, hutan dan tambang.

Dalam upaya penanggulangan konflik, BPN dan Polri bekerjasama melalui MoU. Belakangan justru MoU tersebut menjadi sumber masalah baru karena memberi ruang untuk terjadinya tindakan represi aparat pada konflik-konflik pertanahan. Oleh karena itu, BPN perlu dimintai pertanggungjawaban atas adanya MoU dengan Polri untuk menyelenggarakan pengamanan terhadap sengketa pertanahan.

Secara khusus pula institusi TNI dan Polri harus dimintai pertanggung jawaban pula atas keterlibatannya pada kasus-kasus kekerasan terhadap masyarakat saat timbulnya konflik pertanahan dan sumber daya alam.

Agar konflik pertanahan tidak terus terjadi, perlu dilakukan tindakan-tindakan berikut: Pertama, perlunya evaluasi menyeluruh terhadap semua peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan menguatkan ego sektoral, termasuk evaluasi terhadap peraturan di bawah undang-undang.
Kedua, menyusun kebijakan penyelesaian konflik secara menyeluruh yang mampu mengatasi semua ego sektoral kementrian yang terkait dengan konflik selama ini, termasuk di dalamnya adalah strategi mengatasi problem institusi bagi penyelesaian konflik pertanahan secara nasional. Mudah-mudahan, berawal dari pansus yang di bentuk oleh DPD semua dapat dilakukan. Semoga!

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/