Khoirotul Ula
Pemuda adalah harapan masa depan bangsa. Begitulah setidaknya kalimat yang sering dilontarkan oleh para pendahulu yang selalu menaruh harapan besar pada kehidupan dan masa depan bangsa.
Pemuda dianggap sebagai agen perubahan, agen of sosial control dan sebagai agen perjuangan. Sebagai cerminan karakter bangsa, pemuda menjadi tolok ukur utama akan kemajuan suatu bangsa itu sendiri. Sebab, kepribadian bangsa dilihat dari ketokohan pemuda dan pemimpinnya.
Indonesia adalah negara yang secara kuantitas pemudanya berada pada jumlah yang tinggi. Namun hal ini menjadi suatu masalah, ketika melihat jumlah kriminalitas yang tinggi sebagian besar disebabkan oleh pemuda.
Belum lagi kenakalan remaja yang semakin memerosotkan nilai-nilai kepribadian bangsa. Di satu sisi pemuda bagi bangsa Indonesia adalah harta kekayaan yang tak ternilai, dimana pemuda adalah pewaris pemimpin dan penerus masa depan bangsa. Tetapi disisi yang lain, pemuda justru terjebak dalam paradigma hedonisme dan kesenangan tak bermoral yang menurunkan martabat bangsa.
Berbicara tentang pemuda, rasanya tidaklah jauh dari kehidupan pelajar, mahasiswa, serta gerakan organisasi-organisasi kepemudaan. Sebagai agen perubahan, pemuda secara umum mempengaruhi karakter bangsa. Sehingga jika pemudanya pemalas, maka kecil kemungkinannya untuk menjadi bangsa yang maju.
Budaya Baca Minim, Pemuda Semakin Tak Berkualitas
Rendahnya budaya membaca menjadi salah satu pemicu penurunan kualitas pemuda. Apalagi mahasiswa –pemuda- menjadi miskin intelektualnya disebabkan oleh sedikitnya khazanah keilmuan dan kearifan yang dimiliki. Hal ini tentu menjadi sebuah permasalahan yang memprihatinkan.
Sebagai calon pemimpin bangsa, seyogyanya pemuda banyak membaca, terkhusus membaca sejarah pemimpin bangsa-bangsa yang maju. Sebab, dengan membaca, sejarah besar pemimpin masa lalu bisa diteladani sekaligus menjadi semangat dan motivasi untuk maju.
Dengan membaca, berarti telah membuka cakrawala dunia. Namun, ketika membaca mulai dipahami sebagai pengguguran kewajiban_hanya untuk mengikuti ujian_ saja, justru akan mengakibatkan nilai-nilai intelektual tak tersentuh sama sekali. Seringkali mereka hanya asyik dan disibukkan oleh permasalahan asmara dan sebagainya. Inilah yang memicu kemunduran semangat untuk menuju perubahan yang nyata.
Jika mahasiswa sebagai kaum terpelajar saja tidak mengindahkan budaya membaca, apalagi pemuda-pemuda yang kesehariannya tidak pernah mengenyam pendidikan formal maupun nonformal. Mahasiswa sebagai aktor intelektual juga terjebak pada budaya pragmatisme dan enggan berbudaya intelektual. Sedangkan hal-hal yang mereka bicarakan di kampus hampir tak menentu arahnya. Padahal seiring dengan kemajuan teknologi, informasi sangat mudah untuk diakses. Namun yang terjadi justru penyalahgunaan sarana informasi itu sendiri, seperti internet hanya dibuat untuk melihat situs-situs porno an sich.
Elemen-elemen terdidik bangsa seperti siswa, guru, mahasiswa dan sebagainya pun tak lagi menganggap bahwa membaca itu penting. Bukan maksud untuk mengeneralisir, tetapi melihat pada kenyataan yang ada, membaca hanya dilakukan ketika akan menghadapi ujian saja. Ditambah lagi sistem pendidikan yang kebanyakan bersifat doktrin dan tidak memberi ruang gerak untuk meninjau hal-hal lain di luar kurikulum yang telah ditetapkan, membuat pelaku pendidikan enggan mengakses informasi lain untuk menambah wawasannya.
Kiranya, budaya membaca tetaplah menjadi jalan utama untuk membuat bangsa ini semakin berkualitas. Membaca sejarah membuat bangsa ini semakin bijak, membaca situasi dan keadaan membuat bangsa ini cerdas dan tepat dalam mengambil keputusan. Thus, sebagai pemuda dan kaum terpelajar, menggalakkan budaya membaca sejak dini berarti telah mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang cerdas. Membaca apapun itu, yang konkrit maupun abstrak haruslah dilakukan dan dibudayakan untuk mengukir peradaban bangsa.(*)
Penulis adalah mahasiswi IAIN
Sunan Ampel Surabaya.