Oleh:Stevan Ivana Manihuruk
Berbicara masalah impor di negeri ini memang sangat ironis. Bagaimana tidak? Negara yang memiliki kekayaan alam melimpah dan tanah yang subur ternyata masih harus mengimpor berbagai komoditas pangan untuk sekadar memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah satu contoh misalnya garam.
Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia ternyata tidak mandiri dalam memproduksi garam. Untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri yang mencapai 3 juta ton, lebih dari separuhnya yakni 1,8 juta ton ternyata masih harus diimpor dari negara lain. Saat ini garam selain untuk konsumsi rumah tangga (24 persen), juga digunakan untuk bahan baku industri plastik (50 persen), bahan baku industri kosmetik dan cairan infus (16 persen), pengeboran minyak (4 persen), dan industri aneka pangan.
Bukankah ini sangat ironis? Indonesia jelas-jelas memiliki hampir semua potensi untuk bisa menjadi pengekspor atau minimal bisa memenuhi kebutuhan garam di negeri ini. Faktanya, Indonesia memiliki sekitar 17.480 pulau dengan garis pantai yang sampai mencapai 95.181 km. Ditambah lagi sebagai negara maritim, Indonesia jelas kaya akan sumber daya kelautan. Sehingga urusan bahan baku atau bahan tambahan untuk komoditi strategisnya yakni garam konsumsi dan industri, seharusnya bukan masalah.
Namun (lagi-lagi) sayangnya, fakta yang ada membuat kita harus mengelus dada. Menurut data yang dikutip majalah Agro Indonesia, selama tahun 2010, Indonesia hanya mampu memproduksi garam sebesar 30.600 ton. Jumlah yang sangat jauh merosot atau hanya 2 persen dari total produksi garam Indonesia tahun 2009 yang mencapai 1,2 juta ton.
Maka, demi memenuhi kebutuhan garam nasional yang menurut data Kementerian Perindustrian sebanyak 3 juta ton pada 2010 dimana 660 ribu ton diantaranya untuk konsumsi rumah tangga dan sisanya untuk keperluan aneka industri, maka mau tidak mau pemerintah harus membuka keran impor. Pemerintah berdalih, faktor perubahan cuaca merupakan penyebab hancurnya produksi garam nasional tahun 2010 lalu.
Jika bicara mengenai impor, sebenarnya masih banyak lagi jenis komoditas (khususnya pangan) yang secara rutin selalu kita impor dari negara lain. Sebut saja beras, yang meski dalam beberapa waktu belakangan ini selalu diklaim telah meningkat jumlah produksinya, namun fakta yang ada justru menunjukkan kita masih harus melakukan impor beras dari negara lain.
Beberapa saat setelah laporan Kementerian Pertanian (Kementan) yang menyebutkan terjadi kenaikan produksi beras di tahun 2010 lalu dipublikasikan, pemerintah ternyata masih harus mengeluarkan izin impor sebesar 1,5 juta ton demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Demikian halnya dengan daging. Meski sudah gembar-gembor akan mengupayakan negara kita bisa swasembada daging, namun faktanya hingga kini pun kita masih harus impor. Yang lebih parah lagi, proses impor itu pun menjadi kisruh serta menimbulkan masalah karena kesimpangsiuran data jumlah daging yang diimpor.
Untuk tahun 2009 lalu misalnya, BPS mencatat impor daging sapi adalah sekitar 110.00 ton dan impor sapi bakalan mencapai 765.000 ekor. Anehnya, pihak Kementan hanya mencatat 63.000 ton. Sayang sekali, kejadian serupa pun berulang lagi pada tahun 2010. Ditengarai, proses impor tersebut telah dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan.
Kalau harus didaftarkan lebih lanjut, masih ada beberapa jenis komoditas pangan di negeri ini yang untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, secara rutin (masih) harus kita impor dari negara lain sebut saja gula, kentang, buah-buahan, sayur-sayuran, dan lain-lain.
Terkait kedaulata Secepatnya, pemerintah harus segera memikirkan upaya-upaya agar bangsa ini bisa segera melepaskan diri dari beban ketergantungan impor. Pasalnya, bangsa yang memiliki ketergantungan sangat besar terhadap komoditas impor menunjukkan bahwa bangsa tersebut kurang memiliki kedaulatan sendiri sebagai suatu bangsa.
Apalagi, negara kita ini (sesungguhnya) dianugerahkan Tuhan banyak potensi yang jika bisa dijaga dan dikelola dengan baik, (setidaknya) masih sangat cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan dalam negeri. Persoalannya saat ini, SDA yang ada tidak dikelola dengan baik.
Ambil contoh terkait polemik harga BBM saat ini. Logika sederhananya, kalau saja Indonesia mampu mengoptimalkan potensi-potensi minyak yang ada di negeri ini (tidak diserahkan ke tangan asing), tentunya bangsa ini tidak perlu kuatir dengan gejolak melonjaknya harga minyak mentah dunia.
Sejarah sudah membuktikan. Indonesia merupakan negara yang kandungan minyaknya paling awal dieksploitasi secara komersial (sejak tahun 1885), bahkan lebih dahulu dari kebanyakan negara di Timur Tengah. Indonesia juga menjadi saksi sejarah perkembangan awal Royal Dutch (Shell), perusahaan yang kemudian tumbuh menjadi raksasa minyak di dunia.
Wilayah Indonesia adalah sumber awal surplus ekonomi yang membuat perusahaan tersebut berkembang secara pesat di penghujung abad ke 19. Bahkan pada tahun 1974-1982, Indonesia sendiri pernah mengenal istilah periode “oil boom” yaitu periode melimpahnya uang negara sebagai akibat naiknya harga minyak dan gas di pasar internasional.
Maka, yang terjadi hari ini benar-benar menjadi sebuah ironi. Ketika perusahaan-perusahaan besar asing masih bisa terus meraup keuntungan besar dari usaha mengeruk sumber-sumber minyak di perut bumi pertiwi, bangsa kita sendiri justru harus kesulitan mencari minyak impor untuk kebutuhan dalam negeri.
Dan konsekuensinya, Indonesia pun harus rela “didikte” pasar internasional yang menetapkan besaran harga minyak dunia. Ketika harga minyak dunia naik, pemerintah panik dan mulai menggulirkan rencana penghematan subsidi dengan jalan menaikkan harga eceran BBM bersubsidi. Ini yang kemudian ditentang dengan hebat oleh banyak kalangan dengan cara melakukan aksi turun ke jalan.
Semoga saja kondisi ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Perlu upaya-upaya nyata agar bangsa ini bisa segera bebas dari belenggu impor. Pemerintah harus memikirkan sekaligus melakukan langkah-langkah nyata untuk menyelamatkan sekaligus meningkatkan produksi dalam negeri.
Bangsa ini masih memiliki banyak potensi. Tinggal bagaimana pemerintah bisa memimpin dan menggerakkan seluruh komponen bangsa untuk turut serta dalam porsi masing-masing mendukung upaya mewujudkan kemandirian bangsa Indonesia. Salah satu caranya dengan melepaskan label “negara importir”.
Kita tidak rela bangsa ini terus-menerus “didikte” oleh negara lain. Bangsa ini harus mampu berdiri dengan kepala tegak sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat. Semoga. (*)
Penulis adalah
Alumnus FISIPOL USU Bekerja di BPDAS Batanghari Jambi