52 Tahun Hari Tani Indonesia
Oleh: Amos Simanungkalit
“Tanggal 24 september 1960 adalah tanggal yang bersejarah. Pada 24 September 1960 pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kemudian ditetapkan juga sebagai HARI TANI NASIONAL.”
Kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) melalui proses panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari pembentukan “Panitia Agraria Yogya” (1948), “Panitia Agraria Jakarta” (1951), “Panitia Soewahjo” (1955), “Panitia Negara Urusan Agraria” (1956), “Rancangan Soenarjo” (1958), “Rancangan Sadjarwo” (1960), akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin.
Tujuan UUPA adalah meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, serta meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, menuju masyarakat adil dan makmur.
Sebenarnya tujuan UUPA, baik yang tersurat maupun tersirat, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia terhadap keserakahan dan kekejaman hukum agraria kolonial. Tanggal 24 September 2012 adalah hari jadinya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang ke lima puluh dua.
Tidak terasa bahwa UUPA yang menjadi pertanda dari pergantian hukum agraria kolonial ke hukum agraria nasional kini telah memasuki usianya yang ke lima puluh. Sayangnya, usia emas UUPA ini tidak disertai dengan perubahan-perubahan agraria yang mendasar dalam pengaturan dan pengurusan masalah-masalah agraria di Indonesia, karena selama 52 tahun UUPA lebih banyak di peti eskan ketimbang dijalankan.
Nasib Petani
Sebagai objek, petani selalu ditempatkan pada posisi tidak menguntungkan dalam setiap kondisi. Pada saat musim penghujan datang (air melimpah dan banjir) petani harus merugi karena tanamannya rusak. Begitu musim kemarau tiba kondisi juga tidak membaik, petani dihadapkan pada kekeringan yang membuat menurunnya tingkat produksi atau bahkan gagal panen karena puso.
Hal yang sama terjadi pada persoalan harga produk pertanian, terutama padi. Pada saat produktivitas tinggi, petani berharap mendapat untung. Nyatanya saat produksi melimpah harga pun jatuh. Lebih buruk lagi saat produktivitas kurang yang berarti stok pangan menipis.
Harga yang tinggi justru menimbulkan masalah karena mayoritas petani kita (75 persen) hanya buruh tani atau petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar yang merupakan net consumer (mengonsumsi lebih banyak daripada yang dihasilkan).
Fenomena yang sama terjadi pada masalah saprodi atau asupan pertanian. Pada saat harga saprodi (pupuk, bibit, pestisida) mahal dan distribusi kurang, petani tidak dapat menjangkau. Ironisnya saat petani kita mampu menghasilkan sendiri bibit/benih unggul dengan harga murah, justru mereka dihadapkan dengan masalah baru di “meja hijau” dengan dalih hak paten.
Ujungnya bisa ditebak, argumentasi sederhana dari orang sederhana seperti petani jarang menang bertarung pendapat dalam logika hukum yang berpihak pada pemodal. Seringkali justru terjadi kriminalisasi kepada rakyat sebagai korban sehingga menimbulkan trauma psikologis.
Pemberian tanah-tanah kepada pengusaha, baik swasta atau pun BUMN dan perusahaan asing di atas tanah-tanah rakyat juga telah menyulut perlawanan dan meningkatnya konflik agraria. Dari Januari hingga September 2011, tercatat 20 rakyat Indonesia tewas, 57 luka-luka karena konflik agraria akibat peluru aparat dan pihak keamanan perusahaan.
Fakta lain paling mutakhir petani juga dihadapkan pada persoalan semakin meyempitnya lahan pertanian. Nyatanya ada sekitar 120.000 hektar lahan pertanian beralih fungsi pada setiap tahunnya. Pemerintah mewacanakan adanya reforma agraria dengan meredistribusi lahan untuk petani miskin seluas 8,15 juta hektar namun hampir berjalan dua tahun, tak kunjung jelas juga program ini.
Kenyataan-kenyataan di atas, dapat terjadi karena produk hukum nasional kita memfasilitasi sistem ekonomi neoliberal. Produk hukum tersebut merupakan produk dari demokrasi liberal yang mengabdi pada kepentingan modal dan anti kepada kesejahteraan rakyat.
Seperti UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Pesisir dan pulau-pulau kecil dan sebagainya. Disamping itu terjadi tumpang tindih aturan, padahal TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pemaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam memerintahkan untuk dikaji ulang dan disingkronkan.
Di tengah kondisi yang sangat memperihatinkan tersebut, Pemerintah SBY-Boediono justru mendorong sebuah undang-undang yang akan mempermudah perampasan tanah-tanah rakyat. Kebijakan tersebut adalah UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum.
Sebuah Undang-Undang yang bertujuan hendak melegalkan perampasan tanah-tanah rakyat. Rezim SBY-Boediono juga menerbitkan Perpres 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada tanggal 20 Mei 2011 yang lalu. Masterplan ini dikeluarkan satu bulan setelah pertemuan besar para investor besar asing dalam infrastructural summit di Jakarta yang membicarakan agenda-agenda mega project pembangunan, yang sama sekali hanya menfasilitasi terjadinya perampasan-perampasan lahan-lahan produktif oleh perusahaan dan bukan membicarakan kepentingan mayoritas rakyat Indonesia.
Negara sebagai tumpuan harapan petani, sekaligus yang mempunyai tanggung jawab atas persoalan warga negaranya (petani) yang kompleks di atas, justru menapakkan kakinya di dua tempat yang berbeda. Satu sisi berusaha menunjukkan komitmennya terhadap sektor pertanian. Karena memang secara ekonomis maupun secara politis sangat vital, namun di sisi lain tidak dapat lepas dari “jerat komitmen” dengan jaringan kapitalis internasional dengan berbagai wujudnya.
Mengurai keberadaan petani Indonesia yang secara sistemik telah dilemahkan, dapat kita lihat dari torehan sejarah panjang Negara-bangsa Indonesia. Sebaliknya sejarah perjuangan petani Indonesia memberikan gambaran khusus pada sejarah bangsa Indonesia.
Menguraikan kebijakan Negara dari beberapa kurun waktu dapat membantu kita melihat lebih utuh bagaimana posisi petani Indonesia. Mulai dari ketika masyarakat mulai mengenal bercocok tanam, masa kerajaan, masa kolonial, orde lama, orde baru, sampai era reformasi saat ini. Selama itu pula telah terjadi pasang surut di sektor pertanian kita. Meskipun selalu, petani menjadi kelompok masyarakat yang ter-subordinat. Bukan hanya secara ekonomi, petani juga seringkali menjadi korban tragedi politik sekaligus sapi perahan politik.
Memoar Petani
Pertama, perluas akses petani terhadap penguasaan lahan yang dimana akan berdampak terhadap peningkatan potensi petani di dalam peningkatan produktivitas. Hal ini tentu saja dapat turut menyumbangkan nilai hakiki tujuan mulia dari petani.
Kedua, perlindungan terhadap harga-harga pupuk, bibit, dan pestisida dimana hari ini banyak perusahaan-perusahaan pemodal justru semakin menggenjot angka ketergantungan petani terhadap kebutuhan bahan saprodi diatas.
Ketiga, hidupkan kembali Koperasi Unit Desa dimana hal ini akan menjadi rumah bersama petani untuk menjadi penentu dari harga yang jual produk pertanian. Hal ini mulai mekar kembali disebagian wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta dimana petani kembali menjadi penentu harga jual produk pertanian.
Keempat, perkuat konsolidasi petani dengan menyatukan kekuatan baik diaras nasional maupun daerah yang pada akhirnya bermuara terhadap munculnya kekuatan politik petani yang menyerukan berbagai perlindungan hukum dan skema politik petani kedepan. Dimana suatu saat akan muncul suatu serikat tani yang mampu memperjuangkan hak-hak tani secara simultan dan konsisten.
Terakhir, “…Kita sudah membahas bahwa kesejahteraan bangsa dalam hal ketahanan pangan hanya bisa tercapai bila Petani sebagai pelaku utama proses produksai pangan bisa sejahtera, dan profesi Petani menjadi profesi kebanggan yang mau diturunkan kepada anak-cucunya, bahkan lebih banyak orang yang mau menjadi Petani dan lebih banyak lagi lahan yang tidak produktif oleh pelaku-pelaku baru dalam pertanian.”
Selamat Hari Tani Indonesia ke-52.
24 September 1960-24 September 2012
Sekretaris Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Medan
Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara