Oleh: Jonson BS Rajagukguk, SSos, SE, MAP
Kalau kita lihat dengan kasat mata, diantara 10 hakim pasti ada 8 orang yang punya mobil sendiri. Sementara diantara 50 guru belum tentu ada yang ada punya mobil sendiri. Dari angka statistik kasar ini dapat kita bayangkan betapa nasib hakim lebih bagus daripada nasib guru.
Sementara peran guru lebih membutuhkan energi dan tanggung jawab yang lebih besar. Bisa kita bayangkan kalau guru yang sudah bersertifikasi harus mengajar minimal 24 les satu minggu. Berarti minimal 4 jam satu hari harus mengajari siswa. Sementara hakim belum tentu bersidang satu minggu. Berarti hakim hanya datang ke kantor kalau ada perkara dan beristrahat kalau tidak ada perkara.
Sementara memvonis perkara bukanlah PR yang sangat sulit. Standard UU sangat jelas. Mencuri hukumannya seperti ini. Korupsi hukumannya seperti ini. Membunuh hukumannya seperti ini. Artinya, ada sebuah catatan yang bisa dipegang dalam mmeutus perkara. Bukannya menyepelekan tugas hakim sebagai sebuah profesi yang sangat terhormat dewasa ini. Karena berkas sudah dilimpahkan oleh Jaksa. Tinggal mengetuk palu dengan bobot hukuman yang diatur oleh UU.
Lantas, apakah guru sakit hati ketika hakim menuntut kesejahteraanya dengan sebuah move bahwa mereka mogok dalam bersidang? Atau, bisakah hakim membayangkan betapa sulitnya mengajari matematika, fisika, kimia kepada anak-anak yang kemampuan otaknya lemah?
Sementara jika guru marah pada anak didiknya orang tua tidak segan-segan menjumpai kepala sekolah dan protes anaknya dimarahi. Bahkan ada juga yang mengadukan pada polisi karena anaknya dipukul oleh guru. Sangat sulit memang menajdi guru. Sementara guru hanya bisa gigit jari ketika dana sertifikasi yang seharusnya sudah menajdi haknya tidak diberikan pada waktunya. Inilah masalah guru kita yang selalu dispelekan oleh pemerintah sekarang ini.
Hakim dan guru adalah dua profesi yang sangat mulia. Hakim bertugas untuk menciptakan keadilan di dunia sebagai wakil Tuhan. Guru bertugas untuk mengajari manusia bagaimana menghadapi dan menjalankan kehidupan dengan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa tersebut. Tugas guru adalah membangun karakter dan watak siswa agar kelak menusia yang punya moral dan integritas yang baik. Dengan punya karakter yang baik maka si anak akan punya masa depan yang bagus. Merekalah sebagai generasi penerus yang diharapkan mempersiapkan bangsa ini kedepan untuk menghadapi arus kemajuan jaman. Dari sini kita lihat betapa beratnya tugas seorang guru. Sebuah tugas yang membutuhkan tenaga dan pikiran yang cukup besar.
Lantas, apakah reward yang diterima oleh guru sebanding dengan tanggung jawab mereka? Kalau boleh menjawab apa yang diterima oleh guru tidak sebanding dengan tugas dan tanggung jawab yang mereka emban. Bayangkan banyak guru swasta yang siap mengajar menarik becak. Banyak guru siap mengajar narik angkot. Banyak guru siap ngajar nyambi pekerjaan yang lain. Semuanya itu tentu dengan satu alasan, gaji yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya. Memang sudah ada sertifikasi beberapa tahun ini sebagai upaya mensejahterakan kehidupan guru pada taraf yang lebih bagus. Konsep sertifikasi sangat bagus dan ada upaya yang signifikan dalam memperbaiki nasib ”bangsawan pikiran” ini.
Hanya saja praktik yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan harapan. Dana sertifikasi guru seringkali tersendat. Banyak lagi pungutan liar. Bahkan banyak lagi faktor-faktor yang membuat dana sertifikasi itu tidak diberikan tepat waktu. Inilah potret guru kita dewasa ini. Ketika mereka diharapkan mengajar dengan bagus, ketika tuntutan pada mereka sangat tinggi, ternyata perlakuan sama mereka tidak sebanding dengan yang mereka terima.
Terlepas daripada itu, menanggapi aksi protes hakim dari hakim daerah yang menuntut kesejahteraan supaya diperbaiki karena mereka merupakan pejabat negara tentu sangat menyayat hati. Hakim sebagai sebuah profesi yang terhormat sudah menjadi bagian pembicaraan negatif di negara ini.
Banyak hakim yang memvonis perkara tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan tidak berdasarkan pada hati nuraninya. Hakim pun diidentikkan dengan uang. Hakim sebelum memvonis seringkali melakukan transaksi dengan terdakwa supaya hukumannya dikurangi. Tidak heran banyak hakim yang ditangkap oleh KPK karena kedapatan duduk bersama dengan terdakwa. Hakim sudah menjadi bagian dari persoalan supremasi hukum di negara ini.
Saat semua masyarakat menginginkan reformasi hukum terjadi, hakim seharusnya ambil bagian dari reformasi hukum dengan memvonis semua perkara berdasarkan prinsip kejujuran dan keadilan. Hati nurani yang dikedepankan dalam menjatuhkan hukuman. Hukuman kepada koruptor harus diperberat karena korupsilah yang merusak negara kita sehingga seperti ini. Hakim sebagai sebuah profesi sudah kehilangan marwahnya sebagai wakil Tuhan di dunia menciptaka keadilan bagi masyarakat.
Bagaimana negara merespon tuntutan hakim ini? Memang tidaklah etis menuntut kesejahteraan disaat bangsa ini mengalami krisis di segala hal, termasuk bahaya laten kemiskinan yang mengancam masyarakat. Tidak terlalu sulit menemukan masyarakat miskin di setiap sudut Kota di semua kota besar di negara kita ini.
Diperempatan lampu merah banyak pengamen dan anak-anak jalanan yang menjadi peminta-minta. Belum lagi yang kekurangan gizi. Kalaulah hakim melihat realitas masyarakat kita ini, tentu tuntutan kenaikan gaji dan perbaikan kesejahteraan tidak datang dan ancaman mogok sidang menjadi sebuah pertunjukan yang ”konyol’.
Saat yang bersamaan guru-guru tidak pernah mau mogok mengajar hanya karena dana sertifikasi. Padahal merelah lebih sakit. Nasib mereka sungguh menyedihkan. Mereka diberikan tugas oleh negara dalam mendidik generasi bangsa ini. Sementara gaji guru kita tahu bersama. Yang pasti gaji hakim lebih tinggi dari gaji guru, terlepas bagaimana penggajiannya. Guru mendapat perlakuan tidak adil. Banyak pungutan liar, tanggung jawab besar. Mereka tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Bagi yang sudah disertifikasi beban mengajar adalah 24 jam satu minggu. Sebuah pekerjaan yang sangat berat. Tetapi guru tetap iklas dan tulus menjalankan tugasnya dengan baik.
Sangat kontras dengan hakim. Energi yang dikeluarkan hakim tidaklah sebesar energi yang dikelaurkan oleh guru dalam menjalankan pekerjannya. Guru butuh persiapan yang matang. Bayangkan mentransformasikan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dengan berbagai metode bagaimana supaya bisa dipahami oleh siswa. Hakim dalam menjatuhkan vonis tinggal buka KUHP dan KUHAP atau UU lainnya. Semua pasal sudah tersusun. Tinggal sedikit membangun argumentasi bagaimana supaya hukuman itu punya legalitas.
Kita bukan mau mmebenturkan guru dan hakim. Setidaknya hakim bisa instropkesi diri tentang perbaikan kesejahteraan di tengah krisis yang melanda negara ini. Kalaupun ada perbaikan nasib para hakim, maka perbaikan nasib guru yang perlu didahulukan.
Mengapa tidak, bangsa yang unggul, maju, cerdas, sejahtera karena didukung oleh SDM. Kalau sejak dari dulu kita peduli dengan pendidikan mungkin sumber daya alam bangsa ini tidak jatuh kepada asing. Ini tidak, bangsa kita mengalami ketertinggalan pendidikan. Pendidikan makin anjlok karena nasib guru tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Singapura, Malaysia, China, Jepang, Korsel adalah conoth negara yang dibesarkan oleh guru. Tanpa guru mereka tidak akan bisa menajdi sebuah bangsa yang besar. (*)
Penulis adalah: Dosen STIE –STMIK IBBI Medan