Peradilan yang merupakan sistem dalam penegakan hukum dan memperoleh kepastian hukum, sebagai benteng terakhir lembaga Pengadilan merupakan tempat bagi mereka para pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan meski tidak sepenuhnya adil.
Oleh: Joko Riskiyono
Untuk memberi kepuasan bagi mereka pencari keadilan dibutuhkan sistem peradilan yang bersih dan menjamin keadilan dan kepastian hukum ditegakan, tetapi apa daya sebagai lembaga yudikatif (penegak keadilan) yang merupakan pilar penting kehidupan kenegaraan seolah mengalami krisis ketidakpercayaan oleh mereka yang mengharapkan kepada pengadilan, siapa saja yang mengharapkan keadilan dari lembaga peradilan adalah seluruh warga negara dan seluruh rakyat bangsa Indonesia tanpa terkecuali.
Konstitusi mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu pada Bab IX Pasal 24 Ayat (1) dan (2) didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi (UUD NRI) Tahun 1945 menentukan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan dan Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Maksud daripada ketentuan tersebut diatas konstitusi memerintahkan dan menjamin kemerdekaan bagi hakim dalam menegakan hukum dan keadilan kepada pencari keadilan, apabila dari putusan pengadilan tidak puas diberikan kesempatan upaya hukum biasa dan luar biasa dari mulai putusan pengadilan, banding di pengadilan tinggi, dan kasasi di mahkamah agung serta upaya hukum peninjauan kembali, tetapi tidak berlaku di mahkamah konstitusi karena sifat putusannya legality binding (final dan mengikat ) tidak ada upaya hukum lain.
Mahkamah Agung sebagai puncak tertinggi dari upaya hukum, sebagaimana diberikan oleh Pasal 24A UUD NRI 1945 menentukan, “MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberi oleh UU”. Adapun turunannya diatur dalam UU No. 15/1985 diubah dengan UU No.5/2004 dan terakhir di ubah lagi dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Sedangkan kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No.4/2004 jo UU No.48/2009 tentang kekuasaan kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, maksud daripada kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa kekuasaan negara berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan.
Sedangkan sebuah Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta tambahan dari limpahan MA yaitu perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Ketentuan turunan yaitu UU No.8/2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24/2003 tentang MK. Mahkamah konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.
Badan Peradilan dalam lingkungan peradilan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 8/198 diubah dengan UU No.8/2004 dan terakhir di ubah dengan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Tentang Peradilan Umum memberi difinisi,” Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Pengadilan sebagai ujung tombak pelaku kekuasaan kehakiman bagi para pencari keadilan harus menjamin terlaksana keadilan dan kepastian hukum.
Tetapi dalam praktik mencari keadilan peradilan belum dapat memberikan pelayanan sebagai public servise (pelayan publik) yang memadahi, apalagi berkaitan dengan kekusaan dan kewenangan yang dimiliki dari putusan yang dijatuhkan justru malah menimbulkan ketidakadilan bagi pencari keadilan.
Ironis memang kondisi sistem hukum peradilan kita yang oleh peradilan opini publik divonis sebagai tempat aman bagi pelaku kejahatan atau sebagai tempat berlindung yang nyaman bagi koruptor, kenapa peradilan menjadi tempat aman dan nyaman sebagai persinggahan bagi mereka pelaku kejahatan dan pelawan hukum karena dari peradilan yang korup dan tidak berpihak kepada keadilan sejatinya akan memberi manfaat dan keuntungan dampak dari ketidakbersihan lembaga peradilan untuk dapat dimanfaatkan.
Ketidak beresan dari peradilan seperti bertolak belakang dengan keberadaan dan kemerdekaan hakim, untuk menjadi seorang hakim dan hakim agung disyaratkan dan diharuskan memiliki kepribadian yang tidak tercela, adil, dan professional serta berpengalaman di bidang hukum. Hakim konon sebagai representasi dan atau wakil Tuhan dimuka bumi dengan diberi mandat menegakan keadilan dan kebenaran, tetapi kenyataannya sebagai hakim dimaksud justru malah tak ubahnya makhluk tuhan yang tidak kuat menghadapi godaan dan mengumbar hawa nafsu tanpa terkendali dengan dalih sebagai hakim berkuasa menentukan putusan dan memiliki imunitas (kebal tuntutan hukum).
Keberadaan Komisi Yudisial (KY), sebagaimana diharapkan oleh UUD melakukan fungsi cheks and balances (mengontrol dan mengawasi) malah akhirnya diamputasi oleh Putusan MK atas dasar Permohonan Pengujian UU No. 22/2004 terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh para hakim agung MA. Jelas tersirat didalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menentukan, “KY bersifat mandiri yang berwenang melakukan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Berdasarkan kewenangan yang dimilik KY seolah dikebiri oleh pelaku kekuasaan kehakiman artinya wewenang menjaga dan menegakan pelaksana kode etik dan pedoman perilaku hakim tidak berjalan maksimal, karena untuk menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian harus dusulkan KY kepada Majelis Kehormatan Hakim yang terdiri 4 orang dari KY dan 3 Mahkamah Agung untuk diambil keputusan.
Perilaku hakim yang menyimpang mulai dari selingkuh, terlibat suap, dan menerima gratifikasi pihak yang berperkara kasus terakhir menimpa Hakim Setyabudi Tejocahyono selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga, menerima sesuatu dari pihak berkaitan kepengurusannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani jelas sangat melukai rasa keadilan.
Kenyataaan demikian menurut publik, menunjukan gagalnya revormasi Peradilan yang selama ini didengang-dengungkan. Peradilan koruptif tidak lepas dari sistem peradilan sendiri, mulai terdakwa, advokat, jaksa, panitera dan hakim semua berkepentingan meski jalan haram ditempuh dengan mengotori peradilan.!
Penulis : Pegiat Hukum
Kenegaraan Laboratorium Hukum dan Konstitusi US