30 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Antara Sarjana dan Intelektual

Oleh: Mukhlisin

Sarjana merupakan pelajar atau mahasiswa yang telah melewati jenjang pendidikan di perguruan tinggi strata pertama. Kang Jalal dalam Islam Alternatif (1999; 211), merumuskan bahwa sarjana merupakan seorang yang lulus dari perguruan tinggi dengan membawa gelar.  Jadi, sarjana adalah kelompok orang terpelajar yang telah menyelesaikan tugas pendidikannya dengan mengantongi ijazah akademik tertentu seseuai bidangnya masing-masing.

Dalam lingkungan masyarakat, sarjana merupakan sosok figur yang dihormati dan dipandang “wah” karena kemampuan mereka dianggap lebih mumpuni serta memiliki kualitas yang tinggi. Oleh sebab itu, masyarakat berharap agar para sarjana mau dan mampu mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang berada di sekitarnya ketika sudah terjun di masyarakat. Maka dari itu, sarjana mempunyai peran yang sangat penting dalam membangun kehidupan masyarakat agar menjadi lebih baik. Hal inilah yang merupakan tanggung jawab sosial sarjana.

Namun, apabila kita melihat realita yang terjadi sekarang ini, banyak sekali orang yang bergelar sarjana akan tetapi mereka belum memenuhi tanggung jawab yang harus dilakukan terhadap sosial masyarakat. Kebanyakan dari mereka itu lebih mementingkan dirinya sendiri dan tidak memedulikan lingkungannya.

Sarjana yang diharapkan mampu menciptakan keadaan masyarakat yang lebih baik, seperti menciptakan lapangan pekerjaan, akan tetapi ketika sudah berkecimpung dalam dunia nyata mereka malah mencari pekerjaan. Keadaan seperti itu sama halnya mengganggu masyarakat. Sebab, mereka melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan.

Hal itu sangat tidak relevan dengan status mereka yang dianggap sebagai kaum berpendidikan. Sarjana merupakan tokoh yang berawal dari menjadi seorang mahasiswa. Maka dari itu, kita perlu mengetahui peran mereka ketika duduk di bangku perkuliahan. Dengan demikian, maka kita akan mengenal secara secara jelas dan rinci tentang hakikat sarjana.Menurut Budiyanto (2007), mahasiswa merupakan Agent of Community Enpowerment, harus terlibat dalam pemecahan masalah pembangunan daerah dan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Dan harus mendapatkan pengalaman empirik untuk mengelola pemecahan masalah pembangunan daerah dan nasional untuk kemakmuran masyarakat.

Mahasiswa juga merupakan aset bangsa sehingga dituntut untuk aspiratif, akomodatif, responsif, dan reaktif menjadi problem solver terhadap permasalahan pembangunan.

Selain itu, mahasiswa juga mempunyai fungsi sebagai agen perubahan (Agent of Sosial Change) meminjam kata Aguste Comte, yaitu sebagai agen yang melakukan perubahan-perubahan serta perbaikan untuk kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat. Sedangkan Ali Syari’ati menyebutnya sebagai Agent of Modernisation.

Jadi, mahasiswa merupakan generasi muda yang belajar dan beraktivitas di perguruan tinggi. Dalam pandangan masyarakat mahasiswa dianggap sebagai golongan yang memiliki kemampuan lebih dibanding yang lainnya. Baik dalam kecerdasan, keterampilan, kreativitas, dan lain sebagainya. Maka dari itu, mahasiswa disebut sebagai masyarakat ilmiah, ilmu pegetahuan, dan intelektual.

Sebagai bagian dari masyarakat sejatinya tugas utama mahasiswa adalah belajar dan merangkai ilmu sesuai dengan tujuan ilmunya untuk menjadi “Rahmat” bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, di sisi lain mahasiswa juga mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap masyarakat sekitarnya. Selain belajar, mahasiswa juga dituntut untuk mengkritisi keadaan lingkungan masyarakat.

Seperti   yang   telah   kita ketahui bersama,   bahwa   dana   subsidi   pendidikan   tinggi negeri   berasal   dari   rakyat. Oleh karena itu, sudah   sepantasnya   dan   menjadi kewajiban bagi mahasiswa untuk dapat membayar “utang” tersebut kepada rakyat yang  telah banyak membantu dalam proses studi  mahasiswa.  Dengan demikian mahasiswa   juga   secara   tidak   langsung   dituntut   untuk   memiliki  social  responsibility (tanggung jawab sosial).

Sarjana dan Intelektual
Selama ini, para sarjana sering disebut sebagai kaum inteletual. Namun, apakah sarjana bisa disetarakan dengan kaum intelektual? Hal inilah yang menyebabkan sempitnya definisi intelektual, karena ukurannya hanya sebatas dengan gelar akademik atau ijazah. Oleh sebab itu, kita semua perlu mengkaji secara mendalam tentang siapa itu sarjana dan intelektual.

TB. Bottomore, sebagaimana dikutip Azumardi Azra (1999), mengelompokkan para sarjana sebagai kaum intelegensia. Yaitu, orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di universitas atau perguruan tinggi dan mengantongi ijazah akademik tertentu untuk kemudian secara sah dapat menyandang gelar tertentu pula.

Sedangkan kaum intelektual adalah sekelompok kecil dalam suatu masyarakat yang kehadiran mereka mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan, transmisi, dan kritik gagasan. Kriteria kaum inteletual tidak dibatasi oleh gelar-gelar akademik atau perolehan ijazah di perguruan tinggi, mereka bisa berasal dari latar belakang keilmuan dan status sosal (TB. Bottomore, 1964).

Kita dapat mengambil beberapa sampel untuk figur intelektual. Misalnya sosok Emha Ainun Najib, Cak Nun -begitulah sapaan akrabnya- menurut hemat menulis mereka bukan kaum intelegensia, akan tetapi tokoh inteletual. Sebab, mereka tidak mengantongi ijazah.

Akan tetapi, mereka mampu memberikan perubahan yang baik terhadap permasalahan yang dihadapi oleh bangsa dan negara. Sosok Lip Wijayanto, ia juga dipandang sebagai kaum intelektual. Meskipun konon katanya pernah kuliah, namun tidak mengantongi ijazah. Akan tetapi ia mampu menyadarkan masyarakat ketika meneliti pergaulan bebas di Yogyakarta.

Begitu juga dengan sosok almarhum Abdul Karim Amrullah (Hamka). Beliau adalah tokoh inteletual yang memperoleh gelar profesor yang diberikan oleh Universitas Al-Azhar (Mesir) sebagai penghargaan atas penguasaan ilmu keagamaannya. Padahal, beliau adalah sosok yang tidak pernah berkecimpung di dunia pendidikan formal.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka kurang tepat apabila sarjana sekarang disamakan dengan kaum inteletual, meskipun mempunyai sedikit persamaan. Sebab, kebanyakan dari mereka belum bisa memberikan manfaat terhadap masyarakat. Sebenarnya, para sarjana bisa dianggap sebagai kaum intelektual. Yaitu, mereka harus benar-benar komitmen dan konsisiten dalam melaksanakan tanggung jawabnya terhadap masyarakat.

Sarjana yang Membumi
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan sarjana belum melaksanakan tanggung jawabnya terhadap sosial masyarakat. Hal itu sangat mengecewakan masyarakat yang dulunya berharap agar para sarjana mau mengimplementasikan dan mengamalkan ilmunya terhadap mereka.

Untuk itu, diperlukan adanya generasi muda yang benar-benar mampu dan memiliki potensi, kapabilitas, serta intelektualitas yang tinggi, yaitu para sarjana muda. Sebagai calon pemimpin bangsa dan negara, maka sarjana harus memiliki sikap tanggung jawab sosial yang tinggi. Semua itu dapat terwujud dengan cara membentuk sarjana yang membumi.

Sarjana membumi adalah sarjana yang mampu memberikan manfaat terhadap masyarakat sekitarnya. Mereka adalah para sarjana yang berkomitmen tinggi dan kuat, sehingga memiliki tujuan yang bagus bagi semua orang. Mereka tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat yang ada di lingkungannya, akan tetapi untuk seluruh bangsa dan negara.

Untuk menjadi sarjana membumi bukanlah perkara yang mudah. Semua itu membutuhkan sosok yang selalu berpikir positif, tidak mudah menyerah, mampu mengembangkan kreativitasnya dengan baik, serta mempunyai sikap percaya diri terhadap kemampuannya sendiri. Selain itu, sarjana juga harus mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan di manapun ia berada. Sarjana harus bisa membaca dan menyikapi keadaan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, maka sarjana akan lebih mudah mudah untuk mencapai tujuannya dalam memajukan masyarakat.

Untuk itu, mulai sekarang para sarjana seharusnya melakukan introspeksi diri terhadap apa yang mereka lakukan. Tindakan yang mereka lakukan sangat memalukan. Oleh sebab itu, keadaan seperti ini dapat dijadikan evaluasi bagi calon sarjana mendatang agar tidak menjadi sarjana yang meresahakan warga karena pengangguran. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Penulis Ketua Bidang PTKP HMI
Komisariat Iqbal IAIN Walisongo Semarang

Oleh: Mukhlisin

Sarjana merupakan pelajar atau mahasiswa yang telah melewati jenjang pendidikan di perguruan tinggi strata pertama. Kang Jalal dalam Islam Alternatif (1999; 211), merumuskan bahwa sarjana merupakan seorang yang lulus dari perguruan tinggi dengan membawa gelar.  Jadi, sarjana adalah kelompok orang terpelajar yang telah menyelesaikan tugas pendidikannya dengan mengantongi ijazah akademik tertentu seseuai bidangnya masing-masing.

Dalam lingkungan masyarakat, sarjana merupakan sosok figur yang dihormati dan dipandang “wah” karena kemampuan mereka dianggap lebih mumpuni serta memiliki kualitas yang tinggi. Oleh sebab itu, masyarakat berharap agar para sarjana mau dan mampu mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang berada di sekitarnya ketika sudah terjun di masyarakat. Maka dari itu, sarjana mempunyai peran yang sangat penting dalam membangun kehidupan masyarakat agar menjadi lebih baik. Hal inilah yang merupakan tanggung jawab sosial sarjana.

Namun, apabila kita melihat realita yang terjadi sekarang ini, banyak sekali orang yang bergelar sarjana akan tetapi mereka belum memenuhi tanggung jawab yang harus dilakukan terhadap sosial masyarakat. Kebanyakan dari mereka itu lebih mementingkan dirinya sendiri dan tidak memedulikan lingkungannya.

Sarjana yang diharapkan mampu menciptakan keadaan masyarakat yang lebih baik, seperti menciptakan lapangan pekerjaan, akan tetapi ketika sudah berkecimpung dalam dunia nyata mereka malah mencari pekerjaan. Keadaan seperti itu sama halnya mengganggu masyarakat. Sebab, mereka melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan.

Hal itu sangat tidak relevan dengan status mereka yang dianggap sebagai kaum berpendidikan. Sarjana merupakan tokoh yang berawal dari menjadi seorang mahasiswa. Maka dari itu, kita perlu mengetahui peran mereka ketika duduk di bangku perkuliahan. Dengan demikian, maka kita akan mengenal secara secara jelas dan rinci tentang hakikat sarjana.Menurut Budiyanto (2007), mahasiswa merupakan Agent of Community Enpowerment, harus terlibat dalam pemecahan masalah pembangunan daerah dan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Dan harus mendapatkan pengalaman empirik untuk mengelola pemecahan masalah pembangunan daerah dan nasional untuk kemakmuran masyarakat.

Mahasiswa juga merupakan aset bangsa sehingga dituntut untuk aspiratif, akomodatif, responsif, dan reaktif menjadi problem solver terhadap permasalahan pembangunan.

Selain itu, mahasiswa juga mempunyai fungsi sebagai agen perubahan (Agent of Sosial Change) meminjam kata Aguste Comte, yaitu sebagai agen yang melakukan perubahan-perubahan serta perbaikan untuk kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat. Sedangkan Ali Syari’ati menyebutnya sebagai Agent of Modernisation.

Jadi, mahasiswa merupakan generasi muda yang belajar dan beraktivitas di perguruan tinggi. Dalam pandangan masyarakat mahasiswa dianggap sebagai golongan yang memiliki kemampuan lebih dibanding yang lainnya. Baik dalam kecerdasan, keterampilan, kreativitas, dan lain sebagainya. Maka dari itu, mahasiswa disebut sebagai masyarakat ilmiah, ilmu pegetahuan, dan intelektual.

Sebagai bagian dari masyarakat sejatinya tugas utama mahasiswa adalah belajar dan merangkai ilmu sesuai dengan tujuan ilmunya untuk menjadi “Rahmat” bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, di sisi lain mahasiswa juga mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap masyarakat sekitarnya. Selain belajar, mahasiswa juga dituntut untuk mengkritisi keadaan lingkungan masyarakat.

Seperti   yang   telah   kita ketahui bersama,   bahwa   dana   subsidi   pendidikan   tinggi negeri   berasal   dari   rakyat. Oleh karena itu, sudah   sepantasnya   dan   menjadi kewajiban bagi mahasiswa untuk dapat membayar “utang” tersebut kepada rakyat yang  telah banyak membantu dalam proses studi  mahasiswa.  Dengan demikian mahasiswa   juga   secara   tidak   langsung   dituntut   untuk   memiliki  social  responsibility (tanggung jawab sosial).

Sarjana dan Intelektual
Selama ini, para sarjana sering disebut sebagai kaum inteletual. Namun, apakah sarjana bisa disetarakan dengan kaum intelektual? Hal inilah yang menyebabkan sempitnya definisi intelektual, karena ukurannya hanya sebatas dengan gelar akademik atau ijazah. Oleh sebab itu, kita semua perlu mengkaji secara mendalam tentang siapa itu sarjana dan intelektual.

TB. Bottomore, sebagaimana dikutip Azumardi Azra (1999), mengelompokkan para sarjana sebagai kaum intelegensia. Yaitu, orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di universitas atau perguruan tinggi dan mengantongi ijazah akademik tertentu untuk kemudian secara sah dapat menyandang gelar tertentu pula.

Sedangkan kaum intelektual adalah sekelompok kecil dalam suatu masyarakat yang kehadiran mereka mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan, transmisi, dan kritik gagasan. Kriteria kaum inteletual tidak dibatasi oleh gelar-gelar akademik atau perolehan ijazah di perguruan tinggi, mereka bisa berasal dari latar belakang keilmuan dan status sosal (TB. Bottomore, 1964).

Kita dapat mengambil beberapa sampel untuk figur intelektual. Misalnya sosok Emha Ainun Najib, Cak Nun -begitulah sapaan akrabnya- menurut hemat menulis mereka bukan kaum intelegensia, akan tetapi tokoh inteletual. Sebab, mereka tidak mengantongi ijazah.

Akan tetapi, mereka mampu memberikan perubahan yang baik terhadap permasalahan yang dihadapi oleh bangsa dan negara. Sosok Lip Wijayanto, ia juga dipandang sebagai kaum intelektual. Meskipun konon katanya pernah kuliah, namun tidak mengantongi ijazah. Akan tetapi ia mampu menyadarkan masyarakat ketika meneliti pergaulan bebas di Yogyakarta.

Begitu juga dengan sosok almarhum Abdul Karim Amrullah (Hamka). Beliau adalah tokoh inteletual yang memperoleh gelar profesor yang diberikan oleh Universitas Al-Azhar (Mesir) sebagai penghargaan atas penguasaan ilmu keagamaannya. Padahal, beliau adalah sosok yang tidak pernah berkecimpung di dunia pendidikan formal.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka kurang tepat apabila sarjana sekarang disamakan dengan kaum inteletual, meskipun mempunyai sedikit persamaan. Sebab, kebanyakan dari mereka belum bisa memberikan manfaat terhadap masyarakat. Sebenarnya, para sarjana bisa dianggap sebagai kaum intelektual. Yaitu, mereka harus benar-benar komitmen dan konsisiten dalam melaksanakan tanggung jawabnya terhadap masyarakat.

Sarjana yang Membumi
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan sarjana belum melaksanakan tanggung jawabnya terhadap sosial masyarakat. Hal itu sangat mengecewakan masyarakat yang dulunya berharap agar para sarjana mau mengimplementasikan dan mengamalkan ilmunya terhadap mereka.

Untuk itu, diperlukan adanya generasi muda yang benar-benar mampu dan memiliki potensi, kapabilitas, serta intelektualitas yang tinggi, yaitu para sarjana muda. Sebagai calon pemimpin bangsa dan negara, maka sarjana harus memiliki sikap tanggung jawab sosial yang tinggi. Semua itu dapat terwujud dengan cara membentuk sarjana yang membumi.

Sarjana membumi adalah sarjana yang mampu memberikan manfaat terhadap masyarakat sekitarnya. Mereka adalah para sarjana yang berkomitmen tinggi dan kuat, sehingga memiliki tujuan yang bagus bagi semua orang. Mereka tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat yang ada di lingkungannya, akan tetapi untuk seluruh bangsa dan negara.

Untuk menjadi sarjana membumi bukanlah perkara yang mudah. Semua itu membutuhkan sosok yang selalu berpikir positif, tidak mudah menyerah, mampu mengembangkan kreativitasnya dengan baik, serta mempunyai sikap percaya diri terhadap kemampuannya sendiri. Selain itu, sarjana juga harus mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan di manapun ia berada. Sarjana harus bisa membaca dan menyikapi keadaan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, maka sarjana akan lebih mudah mudah untuk mencapai tujuannya dalam memajukan masyarakat.

Untuk itu, mulai sekarang para sarjana seharusnya melakukan introspeksi diri terhadap apa yang mereka lakukan. Tindakan yang mereka lakukan sangat memalukan. Oleh sebab itu, keadaan seperti ini dapat dijadikan evaluasi bagi calon sarjana mendatang agar tidak menjadi sarjana yang meresahakan warga karena pengangguran. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Penulis Ketua Bidang PTKP HMI
Komisariat Iqbal IAIN Walisongo Semarang

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/