31 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Bupati Langkat dan Kerangkengnya: Mereka Rela Keluarganya Dipenjara disini?

Bahkan, Warga Luar Kota Menitipkan Anaknya di Sini

LANGKAT, SUMUTPOS.CO – Semua pecandu narkoba yang dikerangkeng di penjara di rumah bupati nonaktif Langkat meneken surat pernyataan. Namun, belum jelas benar seperti apa metodologi penyembuhan di tempat rehabilitasi ilegal tersebut. Diduga, dukungan warga sekitar terkait dengan kuatnya pengaruh sang bupati yang kini ditahan KPK.

DI dalam dua kamar berjeruji besi itu, kasur dan tikar terlipat di atas tempat tidur beralas papan. Ada rak kayu yang menempel di dinding bernuansa cokelat muda tersebut. Beberapa kotak styrofoam ditaruh di rak tersebut.

Sementara, di pojok ruangan terdapat water closet (WC) semi terbuka untuk buang air. Di situ ada bak penampung air berukuran sedang.

Sekilas, dua kamar itu betul-betul mirip sel penjara yang lazim dijumpai di lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan negara (rutan). Hanya, bukan narapidana atau tahanan yang menghuni kamar di belakang rumah pribadi Bupati (nonaktif) Langkat Terbit Rencana Perangin Angin tersebut. Melainkan sekelompok orang yang punya masalah dengan narkoba. Pecandu.

Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Cana –sapaan akrab Terbit Rencana– pekan lalu, jeruji besi itu tidak lagi ditinggali. Semua penghuninya “bebas.” Dijemput keluarga atau sanak saudara masing-masing. Kembali ke rumah.

“Kami merasa kecewa (kerangkeng manusia, Red) ditutup,” kata Kuhen Beru Sembiring, salah satu orang tua yang anaknya menjadi penghuni sel tersebut.

Kekecewaan perempuan 61 tahun itu tentu menimbulkan pertanyaan. Kenapa dia membiarkan anaknya tinggal di jeruji besi? Padahal, Polda Sumut maupun BNN (Badan Narkotika Nasional) Kabupaten Langkat tegas menyebut dua bilik berjeruji tersebut sebagai tempat rehabilitasi ilegal.

Kuhen punya alasan sendiri. Bagi dia, kerangkeng besi yang dibangun Cana pada 2012 tersebut adalah harapan. “Saya percaya dari pertama anakku di sini bisa baik. Itulah harapanku,” tutur ibu Eka Surbati tersebut.

Duduk di sebelah ibunya, Surbati mengaku merasakan perbedaan sejak empat bulan menjadi penghuni penjara tersebut. Pria 35 tahun yang mengaku menjadi pecandu narkoba sejak 2018 itu merasa lebih sehat dan tidak lagi ketergantungan narkoba. “Saya bersyukur sekali dengan Pak Bupati. Saya nggak pakai narkoba lagi,” ucapnya kepada Jawa Pos.

Secara umum, Kuhen dan anaknya tidak rela jika jeruji besi yang ramai diperbincangkan itu ditutup. Kuhen pun tidak merasa keberatan jika anaknya dikurung di sel tersebut.

Begitu pula Surbati. Dia mengaku betah tinggal di dalam kerangkeng bersama kawan-kawannya. “Di sini saya tidak terikat narkoba lagi,” ungkap warga Desa Sei Musam Kendit, Kecamatan Bahorok, Langkat, itu.

Jawa Pos yang mengunjungi penjara milik Cana kemarin (26/1) penasaran dengan sikap Surbati dan ibunya yang merasa terbantu dengan keberadaan sel tersebut. Ironisnya, tidak sedikit warga setempat yang merasakan hal serupa. Mereka memandang sosok Cana sebagai seorang pahlawan karena dia telah membangun kerangkeng manusia tersebut.

Kepala Dusun 1 Nangka 5, Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Langkat, Repelita Sitepu mengakui bahwa kerangkeng itu memang tidak dianggap penjara oleh masyarakat setempat. Jeruji besi tersebut dianggap tempat rehabilitasi yang mujarab menyembuhkan pecandu narkoba.

“Banyak warga dari desa tetangga, bahkan luar kota, yang datang menitipkan anaknya yang pecandu narkoba di sini,” ujarnya.

Secara administratif, kerangkeng manusia itu berada di wilayah teritorial Pelita, sapaan Repelita Sitepu. Sebagai kepala dusun tempat penjara itu berada, Pelita menyebut selama ini masyarakat setempat tidak merasa terganggu dengan tempat rehabilitasi tersebut.

“Dulu, sebelum ada tempat rehab ini, pergaulan (anak muda di desanya, Red) tidak terkontrol. Mereka kecanduan (narkoba),” ungkapnya.

Pelita menyebut pergaulan tersebut berjalan seirama dengan angka kriminalitas yang tinggi. Sebelum dibangun tempat rehab, anak-anak muda pecandu narkoba gemar mencuri apa pun. Mulai ayam hingga tabung gas warga setempat. “Setelah ada rehab ini, mereka takut. Selama dua tahun terakhir, nggak ada penduduk dusun ini yang dikerangkeng (karena sembuh dari narkoba),” paparnya.

Secara umum, Pelita tidak tahu persis metodologi rehabilitasi pecandu narkoba di kompleks rumah bupati itu. Sepengetahuannya, para penghuni kereng (kerangkeng) dibagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok pecandu baru dan pecandu yang hampir sembuh. “Setahu saya, pagi-pagi mereka yang sudah tiga sampai empat bulan (menjadi penghuni rehab) dikeluarkan (dari kerangkeng),” ujarnya.

Mereka yang dianggap mulai sembuh dari narkoba lantas diberi kegiatan. Misalnya, membersihkan rumput liar di sekitar pohon sawit dan kolam-kolam ikan tidak jauh dari kerangkeng. Sebagian juga diberi keterampilan bekerja di perkebunan kelapa sawit milik Cana tersebut. “Supaya keluar dari sini (kerangkeng) mereka tahu cara bekerja (di kebun sawit),” ungkapnya.

Pelita menjelaskan, setiap penghuni kereng yang belajar di perkebunan sawit itu didampingi mandor. Tidak sedikit di antara mereka yang terlatih lantas dipekerjakan di pabrik kebun sawit milik bupati di desa tersebut. “Mereka dipekerjakan di pengolahan sawit, mengolah CPO (minyak kelapa sawit),” terangnya.

Dia menceritakan, semua penghuni kereng menandatangani surat pernyataan di atas meterai. Isinya, mau menjalani tahap rehabilitasi secara sukarela tanpa dipungut biaya. Juga bersedia mematuhi aturan yang dibuat pengurus tempat rehabilitasi. “Mereka siap (mematuhi aturan). Mereka nyaman di sini (di penjara),” ungkap pria 52 tahun itu.

Karena itulah, Pelita mengklaim jika para penghuni kereng tidak berkeberatan menjalani kehidupan sehari-hari di dalam sel. Bahkan, beberapa menolak dipulangkan ketika ada operasi dari Polda Sumatera Utara (Sumut) beberapa waktu lalu. “Tidak ada yang bersedia dibawa (polda) karena mereka merasa nyaman di sini. Apalagi yang sudah mendekati waktu pulang,” jelasnya.

Staf Informasi dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumut Adinda Zahra Noviyanti menyebut fenomena masyarakat setempat yang mendukung kerangkeng manusia itu tidak terlepas dari pengaruh Terbit Rencana yang kuat. Maklum, selain menjadi bupati, politikus Partai Golkar tersebut merupakan pengusaha perkebunan dan pabrik sawit yang menjadi penopang utama perekonomian warga setempat.

“Tentu itu sangat besar kaitannya. Sebab, selain menjadi bupati, (Cana) juga sebagai pemilik perkebunan,” ujar perempuan yang akrab disapa Dinda tersebut.

Kontras yang juga ikut meninjau lokasi kereng di belakang rumah Terbit bakal mendampingi warga yang menjadi korban dari aktivitas kereng tidak berizin tersebut.

Sementara itu, Kapolda Sumut Irjen Panca Putra Simanjuntak terus mendalami indikasi pelanggaran hukum yang bersinggungan dengan aktivitas rehabilitasi pecandu narkoba swasta tersebut. Pihaknya sudah memeriksa mantan dan penghuni kereng tersebut. “Kami terus bekerja sama dengan teman-teman BNNP dan pemerintah daerah akan mendorong proses selanjutnya,” tegasnya. (*/c14/ttg/jpg)

 

Bahkan, Warga Luar Kota Menitipkan Anaknya di Sini

LANGKAT, SUMUTPOS.CO – Semua pecandu narkoba yang dikerangkeng di penjara di rumah bupati nonaktif Langkat meneken surat pernyataan. Namun, belum jelas benar seperti apa metodologi penyembuhan di tempat rehabilitasi ilegal tersebut. Diduga, dukungan warga sekitar terkait dengan kuatnya pengaruh sang bupati yang kini ditahan KPK.

DI dalam dua kamar berjeruji besi itu, kasur dan tikar terlipat di atas tempat tidur beralas papan. Ada rak kayu yang menempel di dinding bernuansa cokelat muda tersebut. Beberapa kotak styrofoam ditaruh di rak tersebut.

Sementara, di pojok ruangan terdapat water closet (WC) semi terbuka untuk buang air. Di situ ada bak penampung air berukuran sedang.

Sekilas, dua kamar itu betul-betul mirip sel penjara yang lazim dijumpai di lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan negara (rutan). Hanya, bukan narapidana atau tahanan yang menghuni kamar di belakang rumah pribadi Bupati (nonaktif) Langkat Terbit Rencana Perangin Angin tersebut. Melainkan sekelompok orang yang punya masalah dengan narkoba. Pecandu.

Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Cana –sapaan akrab Terbit Rencana– pekan lalu, jeruji besi itu tidak lagi ditinggali. Semua penghuninya “bebas.” Dijemput keluarga atau sanak saudara masing-masing. Kembali ke rumah.

“Kami merasa kecewa (kerangkeng manusia, Red) ditutup,” kata Kuhen Beru Sembiring, salah satu orang tua yang anaknya menjadi penghuni sel tersebut.

Kekecewaan perempuan 61 tahun itu tentu menimbulkan pertanyaan. Kenapa dia membiarkan anaknya tinggal di jeruji besi? Padahal, Polda Sumut maupun BNN (Badan Narkotika Nasional) Kabupaten Langkat tegas menyebut dua bilik berjeruji tersebut sebagai tempat rehabilitasi ilegal.

Kuhen punya alasan sendiri. Bagi dia, kerangkeng besi yang dibangun Cana pada 2012 tersebut adalah harapan. “Saya percaya dari pertama anakku di sini bisa baik. Itulah harapanku,” tutur ibu Eka Surbati tersebut.

Duduk di sebelah ibunya, Surbati mengaku merasakan perbedaan sejak empat bulan menjadi penghuni penjara tersebut. Pria 35 tahun yang mengaku menjadi pecandu narkoba sejak 2018 itu merasa lebih sehat dan tidak lagi ketergantungan narkoba. “Saya bersyukur sekali dengan Pak Bupati. Saya nggak pakai narkoba lagi,” ucapnya kepada Jawa Pos.

Secara umum, Kuhen dan anaknya tidak rela jika jeruji besi yang ramai diperbincangkan itu ditutup. Kuhen pun tidak merasa keberatan jika anaknya dikurung di sel tersebut.

Begitu pula Surbati. Dia mengaku betah tinggal di dalam kerangkeng bersama kawan-kawannya. “Di sini saya tidak terikat narkoba lagi,” ungkap warga Desa Sei Musam Kendit, Kecamatan Bahorok, Langkat, itu.

Jawa Pos yang mengunjungi penjara milik Cana kemarin (26/1) penasaran dengan sikap Surbati dan ibunya yang merasa terbantu dengan keberadaan sel tersebut. Ironisnya, tidak sedikit warga setempat yang merasakan hal serupa. Mereka memandang sosok Cana sebagai seorang pahlawan karena dia telah membangun kerangkeng manusia tersebut.

Kepala Dusun 1 Nangka 5, Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Langkat, Repelita Sitepu mengakui bahwa kerangkeng itu memang tidak dianggap penjara oleh masyarakat setempat. Jeruji besi tersebut dianggap tempat rehabilitasi yang mujarab menyembuhkan pecandu narkoba.

“Banyak warga dari desa tetangga, bahkan luar kota, yang datang menitipkan anaknya yang pecandu narkoba di sini,” ujarnya.

Secara administratif, kerangkeng manusia itu berada di wilayah teritorial Pelita, sapaan Repelita Sitepu. Sebagai kepala dusun tempat penjara itu berada, Pelita menyebut selama ini masyarakat setempat tidak merasa terganggu dengan tempat rehabilitasi tersebut.

“Dulu, sebelum ada tempat rehab ini, pergaulan (anak muda di desanya, Red) tidak terkontrol. Mereka kecanduan (narkoba),” ungkapnya.

Pelita menyebut pergaulan tersebut berjalan seirama dengan angka kriminalitas yang tinggi. Sebelum dibangun tempat rehab, anak-anak muda pecandu narkoba gemar mencuri apa pun. Mulai ayam hingga tabung gas warga setempat. “Setelah ada rehab ini, mereka takut. Selama dua tahun terakhir, nggak ada penduduk dusun ini yang dikerangkeng (karena sembuh dari narkoba),” paparnya.

Secara umum, Pelita tidak tahu persis metodologi rehabilitasi pecandu narkoba di kompleks rumah bupati itu. Sepengetahuannya, para penghuni kereng (kerangkeng) dibagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok pecandu baru dan pecandu yang hampir sembuh. “Setahu saya, pagi-pagi mereka yang sudah tiga sampai empat bulan (menjadi penghuni rehab) dikeluarkan (dari kerangkeng),” ujarnya.

Mereka yang dianggap mulai sembuh dari narkoba lantas diberi kegiatan. Misalnya, membersihkan rumput liar di sekitar pohon sawit dan kolam-kolam ikan tidak jauh dari kerangkeng. Sebagian juga diberi keterampilan bekerja di perkebunan kelapa sawit milik Cana tersebut. “Supaya keluar dari sini (kerangkeng) mereka tahu cara bekerja (di kebun sawit),” ungkapnya.

Pelita menjelaskan, setiap penghuni kereng yang belajar di perkebunan sawit itu didampingi mandor. Tidak sedikit di antara mereka yang terlatih lantas dipekerjakan di pabrik kebun sawit milik bupati di desa tersebut. “Mereka dipekerjakan di pengolahan sawit, mengolah CPO (minyak kelapa sawit),” terangnya.

Dia menceritakan, semua penghuni kereng menandatangani surat pernyataan di atas meterai. Isinya, mau menjalani tahap rehabilitasi secara sukarela tanpa dipungut biaya. Juga bersedia mematuhi aturan yang dibuat pengurus tempat rehabilitasi. “Mereka siap (mematuhi aturan). Mereka nyaman di sini (di penjara),” ungkap pria 52 tahun itu.

Karena itulah, Pelita mengklaim jika para penghuni kereng tidak berkeberatan menjalani kehidupan sehari-hari di dalam sel. Bahkan, beberapa menolak dipulangkan ketika ada operasi dari Polda Sumatera Utara (Sumut) beberapa waktu lalu. “Tidak ada yang bersedia dibawa (polda) karena mereka merasa nyaman di sini. Apalagi yang sudah mendekati waktu pulang,” jelasnya.

Staf Informasi dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumut Adinda Zahra Noviyanti menyebut fenomena masyarakat setempat yang mendukung kerangkeng manusia itu tidak terlepas dari pengaruh Terbit Rencana yang kuat. Maklum, selain menjadi bupati, politikus Partai Golkar tersebut merupakan pengusaha perkebunan dan pabrik sawit yang menjadi penopang utama perekonomian warga setempat.

“Tentu itu sangat besar kaitannya. Sebab, selain menjadi bupati, (Cana) juga sebagai pemilik perkebunan,” ujar perempuan yang akrab disapa Dinda tersebut.

Kontras yang juga ikut meninjau lokasi kereng di belakang rumah Terbit bakal mendampingi warga yang menjadi korban dari aktivitas kereng tidak berizin tersebut.

Sementara itu, Kapolda Sumut Irjen Panca Putra Simanjuntak terus mendalami indikasi pelanggaran hukum yang bersinggungan dengan aktivitas rehabilitasi pecandu narkoba swasta tersebut. Pihaknya sudah memeriksa mantan dan penghuni kereng tersebut. “Kami terus bekerja sama dengan teman-teman BNNP dan pemerintah daerah akan mendorong proses selanjutnya,” tegasnya. (*/c14/ttg/jpg)

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/