27.8 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Benang Kusut Hukum Perkawinan (Catatan atas Kasus Bupati Garut, Aceng HM Fikri)

Bung Karno, pada satu ketika pernah mengatakan, “Janganlah menggunakan kesalahan yang yang dilakukan orang lain, untuk membenarkan kesalahan yang sama yang kita lakukan.”

Oleh: Erdianto Effendi

Mengapa Bung Karno sebagai bapak bangsa mengatakan hal ini, karena beliau tahu betul karakter bangsa ini yang senang sekali menyebutkan kesalahan yang orang lain lakukan guna menjadi pembenar atau satu kesalahan yang sama yang kita lakukan.

Itulah salah satu apologi yang disampaikan Bupati Garut Aceng HM Fikri menanggapi perbuatannya yang menikahi gadis berinisial Fany Octora (warganya sendiri dan dalam 4 hari menceraikannya) dengan menyatakan apa yang ia lakukan juga banyak dilakukan oleh kepala daerah lain di seluruh Indonesia.

Pernyataan Aceng sangat mungkin benar. Banyak pejabat di negeri ini sejak zaman dulu hingga kini yang secara resmi punya istri satu yang sah, tetapi sekaligus punya istri siri dan bahkan istri simpanan.

Namun kalaupun hal itu banyak dilakukan pejabat lain di Indonesia, mereka tidak menceraikan istri mereka dalam waktu 4 hari seperti yang Aceng lakukan. Di situlah letak pembeda antara Aceng dengan yang lain.

Oleh karena itu, walaupun tidak bisa menerima, publik sebenarnya tidak bisa dan tidak bereaksi menghadapi banyaknya pejabat publik yang memiliki istri siri dan atau istri simpanan. Namun ketika dikabarkan Aceng menceraikan istrinya hanya dalam hitungan 4 hari, publik bereaksi keras. Aceng dituding  bukan hanya merendahkan perempuan tetapi sekaligus meremehkan sakralnya lembaga perkawinan.

Ambiguitas

Hukum Perkawinan kita sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memang bersifat ambigu. Di satu sisi ia mengandung asas monogami, tetapi di sisi lain membolehkan poligami.
Di satu sisi mengakui sahnya perkawinan jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, di sisi lain meminta disahkannya perkawinan oleh negara.

Negara ingin masuk dalam wilayah pribadi dengan maksud melindungi khususnya perempuan, tetapi lebih bersifat fakultatif tanpa ada sanksi yang tegas jika aturan tidak dijalankan. Satu-satunya “sanksi” yang dapat diterima pelaku nikah atau perkawinan menurut agama yang tidak dicatatkan kepada lembaga negara dalam hal ini Kantor Urusan Agama Kecamatan dan Kantor Catatan Sipil bagi nonmuslim adalah tidak “diakuinya” anak hasil perkawinan tersebut secara hukum negara.
Namun belakangan “sanksi” itu dengan sendirinya tercabut ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan judicial review permohonan pengesahan anak yang dilahirkan dari perkawinan/pernikahan siri.
Hanya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana diperbarui dengan  Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 yang menegaskan larangan bagi PNS untuk berpoligami dengan ancaman sanksi diberhentikan sebagai PNS, kecuali atas izin atasan dan istri pertama.

Sayangnya, itu hanya berlaku bagi PNS. Di luar PNS, berarti boleh dan sah untuk menikahi lebih dari seorang perempuan. Celah UU No 1 Tahun 1974 inilah yang dimanfaatkan banyak pihak yang ingin menikah lebih dari satu.
Sesuai dengan norma dalam Hukum Islam yang membolehkan poligami, banyak pria yang menikahi lebih dari seorang wanita tetapi mencatatkan hanya perkawinan dengan seorang perempuan saja khususnya bagi para PNS yang ingin berpoligami.

Negara tidak dapat berbuat terhadap perkawinan yang tidak tercatatkan tersebut, karena secara agama (Islam) telah dianggap sah. Secara bergurau ketika di kelas, hal ini sering saya tanyakan kepada mahasiwa perempuan, “Mana yang lebih enak, jadi istri kedua atau istri siri?” Hampir semua mahasiswi akan menjawab tidak mau kedua-duanya.

Tentu saja iya, tetapi kalau dihadapkan pada keharusan memilih, maka tentu saja jauh lebih enak menjadi istri kedua yang sah dibandingkan menjadi istri siri atau istri simpanan, karena pertanggungjawaban dan pria dan status hukum si wanita dan anak yang dilahirkan akan lemah.

Presiden Soekarno  sebagaimana kita ketahui memiliki lebih dari seorang istri. Semua istrinya diperkenalkan kepada publik sebagai istri yang sah. Begitu pula contoh lain dengan Sultan Brunei yang memiliki dua orang istri yang keduanya diperkenalkan secara resmi dan kerap hadir di acara kenegaraan, secara bersamaan atau secara bergantian. Bagaimana dengan pejabat-pejabat kita di Indonesia saat ini?
Hanya menggandeng seorang istri yang sah di depan publik, tetapi diam-diam publik pun sebenarnya tahu ada istri-istri tidak resmi dari sang pejabat.

Anehnya, walaupun tidak kuat status hukumnya, di tengah banyaknya kaum perempuan yang menentang poligami, masih ada saja perempuan yang rela menjadi istri siri. Inilah yang  menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pria yang ingin menikahi lebih dari seorang wanita.

Kriminalisasi

Menghadapi fenomena ini, Kementerian Agama pernah mewacanakan untuk mengkriminalkan pernikahan siri. Kementerian Agama berharap hukum perkawinan yang lebih tegas.

Bagi pria yang menikahi lebih dari seorang wanita tanpa mencatatkan ke lembaga negara yang berwenang untuk itu dapat disanksi berupa sanksi pidana. Namun wacana tersebut ditentang banyak pihak.
Sesungguhnya, larangan menikah lebih dari seorang wanita sudah diatur sebagai tindak pidana dalam KUHP. Dalam Pasal 279 dinyatakan bahwa barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, atau barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Sayangnya, pasal ini sulit diterapkan karena berhadapan dengan kendala pembuktian. Pernikahan kedua yang lazimnya dilakukan secara siri tidak dapat dibuktikan karena proses akad nikah yang tidak resmi ini tidak diresmikan melalui lembaga yang berwenang dalam hal ini KUA.

Sementara hukum pembuktian menuntut adanya bukti surat yang dalam KUHAP disebutkan surat otentik dari instansi yang berwenang mengeluarkannya.
Lagi-lagi, akhirnya si wanita juga yang jadi korbannya sebagaimana dalam kasus Bupati Aceng. Atas laporan Fany, pasal apa yang akan dapat diterapkan oleh penegak hukum tentu menjadi pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab.
Adanya laporan dari Fany bahwa Bupati Aceng menikahi gadis di bawah umur misalnya, akan sulit dibuktikan karena secara hukum berdasarkan hukum pembuktian perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak pernah ada peristiwa hukum.

Tidaklah berlebihan jika kemudian Menteri Dalam Negeri menunjuk pelanggaran etika pejabat publik untuk alasan memberhentikan Aceng. Aceng mungkin dapat saja diberhentikan, tetapi mengharapkan sanksi pidana bagi Aceng, merupakan sesuatu yang tidak mudah.(*)

Erdianto Effendi, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Riau

Bung Karno, pada satu ketika pernah mengatakan, “Janganlah menggunakan kesalahan yang yang dilakukan orang lain, untuk membenarkan kesalahan yang sama yang kita lakukan.”

Oleh: Erdianto Effendi

Mengapa Bung Karno sebagai bapak bangsa mengatakan hal ini, karena beliau tahu betul karakter bangsa ini yang senang sekali menyebutkan kesalahan yang orang lain lakukan guna menjadi pembenar atau satu kesalahan yang sama yang kita lakukan.

Itulah salah satu apologi yang disampaikan Bupati Garut Aceng HM Fikri menanggapi perbuatannya yang menikahi gadis berinisial Fany Octora (warganya sendiri dan dalam 4 hari menceraikannya) dengan menyatakan apa yang ia lakukan juga banyak dilakukan oleh kepala daerah lain di seluruh Indonesia.

Pernyataan Aceng sangat mungkin benar. Banyak pejabat di negeri ini sejak zaman dulu hingga kini yang secara resmi punya istri satu yang sah, tetapi sekaligus punya istri siri dan bahkan istri simpanan.

Namun kalaupun hal itu banyak dilakukan pejabat lain di Indonesia, mereka tidak menceraikan istri mereka dalam waktu 4 hari seperti yang Aceng lakukan. Di situlah letak pembeda antara Aceng dengan yang lain.

Oleh karena itu, walaupun tidak bisa menerima, publik sebenarnya tidak bisa dan tidak bereaksi menghadapi banyaknya pejabat publik yang memiliki istri siri dan atau istri simpanan. Namun ketika dikabarkan Aceng menceraikan istrinya hanya dalam hitungan 4 hari, publik bereaksi keras. Aceng dituding  bukan hanya merendahkan perempuan tetapi sekaligus meremehkan sakralnya lembaga perkawinan.

Ambiguitas

Hukum Perkawinan kita sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memang bersifat ambigu. Di satu sisi ia mengandung asas monogami, tetapi di sisi lain membolehkan poligami.
Di satu sisi mengakui sahnya perkawinan jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, di sisi lain meminta disahkannya perkawinan oleh negara.

Negara ingin masuk dalam wilayah pribadi dengan maksud melindungi khususnya perempuan, tetapi lebih bersifat fakultatif tanpa ada sanksi yang tegas jika aturan tidak dijalankan. Satu-satunya “sanksi” yang dapat diterima pelaku nikah atau perkawinan menurut agama yang tidak dicatatkan kepada lembaga negara dalam hal ini Kantor Urusan Agama Kecamatan dan Kantor Catatan Sipil bagi nonmuslim adalah tidak “diakuinya” anak hasil perkawinan tersebut secara hukum negara.
Namun belakangan “sanksi” itu dengan sendirinya tercabut ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan judicial review permohonan pengesahan anak yang dilahirkan dari perkawinan/pernikahan siri.
Hanya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana diperbarui dengan  Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 yang menegaskan larangan bagi PNS untuk berpoligami dengan ancaman sanksi diberhentikan sebagai PNS, kecuali atas izin atasan dan istri pertama.

Sayangnya, itu hanya berlaku bagi PNS. Di luar PNS, berarti boleh dan sah untuk menikahi lebih dari seorang perempuan. Celah UU No 1 Tahun 1974 inilah yang dimanfaatkan banyak pihak yang ingin menikah lebih dari satu.
Sesuai dengan norma dalam Hukum Islam yang membolehkan poligami, banyak pria yang menikahi lebih dari seorang wanita tetapi mencatatkan hanya perkawinan dengan seorang perempuan saja khususnya bagi para PNS yang ingin berpoligami.

Negara tidak dapat berbuat terhadap perkawinan yang tidak tercatatkan tersebut, karena secara agama (Islam) telah dianggap sah. Secara bergurau ketika di kelas, hal ini sering saya tanyakan kepada mahasiwa perempuan, “Mana yang lebih enak, jadi istri kedua atau istri siri?” Hampir semua mahasiswi akan menjawab tidak mau kedua-duanya.

Tentu saja iya, tetapi kalau dihadapkan pada keharusan memilih, maka tentu saja jauh lebih enak menjadi istri kedua yang sah dibandingkan menjadi istri siri atau istri simpanan, karena pertanggungjawaban dan pria dan status hukum si wanita dan anak yang dilahirkan akan lemah.

Presiden Soekarno  sebagaimana kita ketahui memiliki lebih dari seorang istri. Semua istrinya diperkenalkan kepada publik sebagai istri yang sah. Begitu pula contoh lain dengan Sultan Brunei yang memiliki dua orang istri yang keduanya diperkenalkan secara resmi dan kerap hadir di acara kenegaraan, secara bersamaan atau secara bergantian. Bagaimana dengan pejabat-pejabat kita di Indonesia saat ini?
Hanya menggandeng seorang istri yang sah di depan publik, tetapi diam-diam publik pun sebenarnya tahu ada istri-istri tidak resmi dari sang pejabat.

Anehnya, walaupun tidak kuat status hukumnya, di tengah banyaknya kaum perempuan yang menentang poligami, masih ada saja perempuan yang rela menjadi istri siri. Inilah yang  menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pria yang ingin menikahi lebih dari seorang wanita.

Kriminalisasi

Menghadapi fenomena ini, Kementerian Agama pernah mewacanakan untuk mengkriminalkan pernikahan siri. Kementerian Agama berharap hukum perkawinan yang lebih tegas.

Bagi pria yang menikahi lebih dari seorang wanita tanpa mencatatkan ke lembaga negara yang berwenang untuk itu dapat disanksi berupa sanksi pidana. Namun wacana tersebut ditentang banyak pihak.
Sesungguhnya, larangan menikah lebih dari seorang wanita sudah diatur sebagai tindak pidana dalam KUHP. Dalam Pasal 279 dinyatakan bahwa barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, atau barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Sayangnya, pasal ini sulit diterapkan karena berhadapan dengan kendala pembuktian. Pernikahan kedua yang lazimnya dilakukan secara siri tidak dapat dibuktikan karena proses akad nikah yang tidak resmi ini tidak diresmikan melalui lembaga yang berwenang dalam hal ini KUA.

Sementara hukum pembuktian menuntut adanya bukti surat yang dalam KUHAP disebutkan surat otentik dari instansi yang berwenang mengeluarkannya.
Lagi-lagi, akhirnya si wanita juga yang jadi korbannya sebagaimana dalam kasus Bupati Aceng. Atas laporan Fany, pasal apa yang akan dapat diterapkan oleh penegak hukum tentu menjadi pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab.
Adanya laporan dari Fany bahwa Bupati Aceng menikahi gadis di bawah umur misalnya, akan sulit dibuktikan karena secara hukum berdasarkan hukum pembuktian perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak pernah ada peristiwa hukum.

Tidaklah berlebihan jika kemudian Menteri Dalam Negeri menunjuk pelanggaran etika pejabat publik untuk alasan memberhentikan Aceng. Aceng mungkin dapat saja diberhentikan, tetapi mengharapkan sanksi pidana bagi Aceng, merupakan sesuatu yang tidak mudah.(*)

Erdianto Effendi, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Riau

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/