25 C
Medan
Saturday, September 21, 2024

Tikus-tikus Pendidikan

Oleh:
Suhrawardi K Lubis

Divisi investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu melansir hasil temuan mereka tentang carut-marut penggunaan anggaran negara. Temuan itu intinya mengemukakan bahwa pencurian uang negara sepanjang tahun 2011, paling banyak terjadi di sektor pendidikan. Pencurian di sektor pendidikan bahkan mengalahkan pencurian uang negara di sektor keuangan dan sosial kemasyarakatan.

ICW dalam pemaparannya menegaskan, ada tiga sektor yang paling mencolok dari sepuluh besar sektor yang paling banyak uang negara dicuri. Pertama, sektor inevestasi pemerintah, kedua, sektor keungan daerah dan ketiga, sektor sosial kemasyarakatan. Sektor investasi pemerintah potensi kerugian negara mencapai Rp439 miliar, sektor keuangan daerah mencapai Rp417,4 miliar, sedangkan di sektor sosial kemasyarakatan potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp229 miliar.

ICW juga melansir, tingginya tingkat pencurian uang negara di sektor investasi pemerintah sebahagian besar disumbang oleh sektor pendidikan. Tingginya pencurian uang negara di sektor pendidikan disebabkan oleh meningkatnya jumlah anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Agus Sunaryanto (Kordinator divisi Investigasi ICW) mengemukakan bahwa koruptor itu seperti gula dan semut, di mana ada gula di situ ada semut yang berkumpul, di mana ada uang di situ ada koruptor yang menggerogoti.

Tingginya pencurian uang di sektor pendidikan ini terbukti dengan banyaknya kasus korupsi yang sedang diusut oleh aparat penegak hukum, yaitu sebanyak 54 kasus, sedangkan sektor keuangan daerah dan sektor sosial kemasyarakatan kasus yang sedang di usut hanya sebanyak 51 dan 42 kasus. Artinya kasus korupsi di sektor pendidikan melebihi sektor-sektor lainnya.

Namun sangat disayangkan, penindakan hukum terhadap pencuri-pencuri di sektor pendidikan tersebut semakin menurun. Menurut evaluasi kinerja pemberantasan penegakan hukum terhadap pencuri uang negara di sektor pendidikan yang dilakukan ICW selama tahun 1999-2011 bahwa 80 persen dari seluruh kasus korupsi di bidang pendidikan yang ditangani Kepolisan dan Kejaksaan tidak jelas tindak lanjutnya, padahal kasus-kasus tersebut sudah sampai ke tahap penyidikan. Dari tahun-tahun ke tahun penindakan hukum terhadap kasus-kasus pencurian uang negara di sektor pendidikan semakin menurun. Bahkan diduga kasus-kasus pencurian uang negara di sektor pendidikan tersebut sudah banyak yang disulap oleh aparat penegak hukum menjadi beras.

Tikus Pendidikan Merajalela

Hama tikus (korupsi) pendidikan pada masa belakangan ini semakin merajalela. Merajalelanya pencurian di sektor pendidikan disebabkan karena penindakan terhadap kasus-kasus pencurian uang negara di sektor pendidikan kurang (tidak) ditegakkan. Buktinya, dari 239 kasus korupsi yang diusut oleh kepolisian dan kerjaksaan, hanya 20 kasus korupsi yang sampai ke Pengadilan. Sisanya ke mana? Tentulah menguap begitu saja.
Siapa saja aktor pencuri di sektor pendidikan ini? Menurut temuan ICW pencuri utama di sektor pendidikan itu ialah kepala sekolah atau pimpinan lembaga pendidikan (seperti rektor, ketua dan direktur) dan pejabat struktural di lembaga yang memayungi bidang pendidikan.

Pimpinan atau manajer lembaga pendidikan yang mencuri uang negara sangat banyak, misalnya kepala sekolah mencuri sebahagin uang bantuan operasional sekolah (BOS). Rektor, direktur atau ketua yang memanipulasi bantuan yang diterima. BOS dan bantuan yang diterima.

Beragam macam modus pencurian yang dilakukan oleh pimpinan atau manajer lembaga pendidikan. Antara lain, bantuan pendidikan yang diterima dari pemerintah tidak dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah maupun Kampus. Bantuan dikelola secara tersendiri, dilaporkan secara tersendiri. Akibatnya, penggunaan bantuan pemerintah tersebut tanpa kontrol sama sekali, bahkan boleh jadi laporan penggunaan dana bantuan pemerintah yang dilaporkan itu dibiayai juga dari Anggaran Sekolah/Kampus. Artinya terjadi tumpang tindih anggaran.

Contoh kasus, berdasarkan temuan ICW bahwa salah satu sekolah berstandar Internasional di Jakarta tidak memasukkan dan BOS sebagai pendapatan sekolah. Di salah satu Kabupaten di Sumatera Utara, siswa-siswa dari berbagai kelas yang berbeda digabung dalam satu kelas, sehingga menjadi kelas besar dan bantuan BOS yang mengalirpun semakin besar. Modus lain, dana bantuan yang diperoleh dimasukkan dalam anggaran sebagai biaya pembelian barang-barang habis dan gaji guru dan dan karyawan honorer, padahal biaya tersebut tidak ada dikeluarkan sama sekali, atau sudah dikeluarkan dari Anggaran Sekolah/Kampus.

Bagaimana membasmi tikus-tikus pencuri uang negara di sektor pendidikan ini? Harapan tentunya tertumpu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama. Karena kedua-dua kementerian inilah yang selama ini memayungi bidang pendidikan di Indonesia. Kedua-dua kementerian ini jangan hanya melakukan pencitraan belaka, tapi lakukan aksi nyata untuk membasmi tikus-tikus yang menngerogoti dana pendidikan. Apabila ini dapat dilakukan, tentulah dana bantuan yang diberikan dapat digunakan sesuai dengan peruntukannnya, dan pada gilirannya pembangunan di bidang pendidikan dapat berkembang sesuai dengan kemajuan zaman.

Selain itu, untuk membasmi tikus-tikus di sektor pendidikan ini juga diperlukan peran serta masyarakat untuk memberikan pengawasan terhadap penggunaan dana-dana bantuan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah, baik bantuan pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kota/kabupaten.

Masyarakat harus peduli terhadap penggunaan anggaran pendidikan, jangan berdiam diri saja kalau melihat terjadi penyimpangan. Selain itu, media pers maupun elektronik tentu diharapkan partisipasinya untuk melakukan pengawasan penggunaan anggaran pendidikan, demikian juga LSM-LSM.
Apabila semua pihak pro aktif melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan, mudah-mudahan tikus-tikus pencuri uang negara di sektor pendidikan akan dapat di minimalisir. Dengan itu diharapkan dana pendidikan akan dapat dipergunakan secara tepat guna. Amin!. (*)

Penulis adalah Dosen Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan

Oleh:
Suhrawardi K Lubis

Divisi investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu melansir hasil temuan mereka tentang carut-marut penggunaan anggaran negara. Temuan itu intinya mengemukakan bahwa pencurian uang negara sepanjang tahun 2011, paling banyak terjadi di sektor pendidikan. Pencurian di sektor pendidikan bahkan mengalahkan pencurian uang negara di sektor keuangan dan sosial kemasyarakatan.

ICW dalam pemaparannya menegaskan, ada tiga sektor yang paling mencolok dari sepuluh besar sektor yang paling banyak uang negara dicuri. Pertama, sektor inevestasi pemerintah, kedua, sektor keungan daerah dan ketiga, sektor sosial kemasyarakatan. Sektor investasi pemerintah potensi kerugian negara mencapai Rp439 miliar, sektor keuangan daerah mencapai Rp417,4 miliar, sedangkan di sektor sosial kemasyarakatan potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp229 miliar.

ICW juga melansir, tingginya tingkat pencurian uang negara di sektor investasi pemerintah sebahagian besar disumbang oleh sektor pendidikan. Tingginya pencurian uang negara di sektor pendidikan disebabkan oleh meningkatnya jumlah anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Agus Sunaryanto (Kordinator divisi Investigasi ICW) mengemukakan bahwa koruptor itu seperti gula dan semut, di mana ada gula di situ ada semut yang berkumpul, di mana ada uang di situ ada koruptor yang menggerogoti.

Tingginya pencurian uang di sektor pendidikan ini terbukti dengan banyaknya kasus korupsi yang sedang diusut oleh aparat penegak hukum, yaitu sebanyak 54 kasus, sedangkan sektor keuangan daerah dan sektor sosial kemasyarakatan kasus yang sedang di usut hanya sebanyak 51 dan 42 kasus. Artinya kasus korupsi di sektor pendidikan melebihi sektor-sektor lainnya.

Namun sangat disayangkan, penindakan hukum terhadap pencuri-pencuri di sektor pendidikan tersebut semakin menurun. Menurut evaluasi kinerja pemberantasan penegakan hukum terhadap pencuri uang negara di sektor pendidikan yang dilakukan ICW selama tahun 1999-2011 bahwa 80 persen dari seluruh kasus korupsi di bidang pendidikan yang ditangani Kepolisan dan Kejaksaan tidak jelas tindak lanjutnya, padahal kasus-kasus tersebut sudah sampai ke tahap penyidikan. Dari tahun-tahun ke tahun penindakan hukum terhadap kasus-kasus pencurian uang negara di sektor pendidikan semakin menurun. Bahkan diduga kasus-kasus pencurian uang negara di sektor pendidikan tersebut sudah banyak yang disulap oleh aparat penegak hukum menjadi beras.

Tikus Pendidikan Merajalela

Hama tikus (korupsi) pendidikan pada masa belakangan ini semakin merajalela. Merajalelanya pencurian di sektor pendidikan disebabkan karena penindakan terhadap kasus-kasus pencurian uang negara di sektor pendidikan kurang (tidak) ditegakkan. Buktinya, dari 239 kasus korupsi yang diusut oleh kepolisian dan kerjaksaan, hanya 20 kasus korupsi yang sampai ke Pengadilan. Sisanya ke mana? Tentulah menguap begitu saja.
Siapa saja aktor pencuri di sektor pendidikan ini? Menurut temuan ICW pencuri utama di sektor pendidikan itu ialah kepala sekolah atau pimpinan lembaga pendidikan (seperti rektor, ketua dan direktur) dan pejabat struktural di lembaga yang memayungi bidang pendidikan.

Pimpinan atau manajer lembaga pendidikan yang mencuri uang negara sangat banyak, misalnya kepala sekolah mencuri sebahagin uang bantuan operasional sekolah (BOS). Rektor, direktur atau ketua yang memanipulasi bantuan yang diterima. BOS dan bantuan yang diterima.

Beragam macam modus pencurian yang dilakukan oleh pimpinan atau manajer lembaga pendidikan. Antara lain, bantuan pendidikan yang diterima dari pemerintah tidak dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah maupun Kampus. Bantuan dikelola secara tersendiri, dilaporkan secara tersendiri. Akibatnya, penggunaan bantuan pemerintah tersebut tanpa kontrol sama sekali, bahkan boleh jadi laporan penggunaan dana bantuan pemerintah yang dilaporkan itu dibiayai juga dari Anggaran Sekolah/Kampus. Artinya terjadi tumpang tindih anggaran.

Contoh kasus, berdasarkan temuan ICW bahwa salah satu sekolah berstandar Internasional di Jakarta tidak memasukkan dan BOS sebagai pendapatan sekolah. Di salah satu Kabupaten di Sumatera Utara, siswa-siswa dari berbagai kelas yang berbeda digabung dalam satu kelas, sehingga menjadi kelas besar dan bantuan BOS yang mengalirpun semakin besar. Modus lain, dana bantuan yang diperoleh dimasukkan dalam anggaran sebagai biaya pembelian barang-barang habis dan gaji guru dan dan karyawan honorer, padahal biaya tersebut tidak ada dikeluarkan sama sekali, atau sudah dikeluarkan dari Anggaran Sekolah/Kampus.

Bagaimana membasmi tikus-tikus pencuri uang negara di sektor pendidikan ini? Harapan tentunya tertumpu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama. Karena kedua-dua kementerian inilah yang selama ini memayungi bidang pendidikan di Indonesia. Kedua-dua kementerian ini jangan hanya melakukan pencitraan belaka, tapi lakukan aksi nyata untuk membasmi tikus-tikus yang menngerogoti dana pendidikan. Apabila ini dapat dilakukan, tentulah dana bantuan yang diberikan dapat digunakan sesuai dengan peruntukannnya, dan pada gilirannya pembangunan di bidang pendidikan dapat berkembang sesuai dengan kemajuan zaman.

Selain itu, untuk membasmi tikus-tikus di sektor pendidikan ini juga diperlukan peran serta masyarakat untuk memberikan pengawasan terhadap penggunaan dana-dana bantuan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah, baik bantuan pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kota/kabupaten.

Masyarakat harus peduli terhadap penggunaan anggaran pendidikan, jangan berdiam diri saja kalau melihat terjadi penyimpangan. Selain itu, media pers maupun elektronik tentu diharapkan partisipasinya untuk melakukan pengawasan penggunaan anggaran pendidikan, demikian juga LSM-LSM.
Apabila semua pihak pro aktif melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan, mudah-mudahan tikus-tikus pencuri uang negara di sektor pendidikan akan dapat di minimalisir. Dengan itu diharapkan dana pendidikan akan dapat dipergunakan secara tepat guna. Amin!. (*)

Penulis adalah Dosen Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/