Marketing Series 10
Ketika Toyota Astra Motor merayakan ultah yang ke-40 tahun Toyota di Indonesia, Akio Toyoda, CEO Toyota Motor Corporation, datang ke Jakarta. Akio adalah generasi ketiga dari keluarga pendiri Toyota.
Ada lima orang yang beruntung dipanggil ke atas panggung untuk diberi kenang-kenangan oleh dia. Saya dipanggil pertama karena dianggap sering membantu berbagai proyek Toyota di Indonesia. Kedua adalah Jusuf Kalla karena dia jadi diler Toyota pertama, bahkan sebelum Toyota Astra Motor resmi berdiri. Ketiga, Mari Pangestu karena semua mobilnya dari dulu, baik mobil dinas maupun pribadi, selalu Toyota. Setelah itu, Duta Besar Jepang di Indonesia, lalu Jacob Utama.
Toyota buat saya dan rekan-rekan di MarkPlus Consulting punya kesan tersendiri, terutama karena proyek Lexus pada 2006. Ketika itu, kami diminta membantu memikirkan konsep Lexus di Indonesia.
Saat itu, industri otomotif lagi turun karena BBM barusan naik. Sementara itu, posisi Mercedez Benz, misalnya, sangat kuat di Indonesia. Semua orang kaya seolah harus punya Mercy sebagai tanda bahwa dia sukses. Meski ada juga yang terpaksa mengembalikan mobil ke diler karena tidak bisa menyelesaikan cicilan. Tapi, setidaknya, pernah punya Mercy. Tiap kali model baru Mercy keluar pasti diburu.
Lexus sendiri punya positioning global pursue for perfection, artinya selalu mengejar kesempurnaan. Walaupun di Indonesia hal itu tidak bisa dimaknai dengan jelas. Karena itu, setelah melakukan riset cukup mendalam, tim MarkPlus mengusulkan untuk melakukan penajaman positioning.
Perfection diartikan sebagai artwork atau barang seni. Maksudnya, orang-orang yang sudah punya Mercy itu pasti akan mencari self-actualization terus. Yang akhirnya menuju ke barang seni untuk menyentuh ke human spirit-nya. Akhirnya disepakati, tempat penjualan Lexus di Jakarta disebut Lexus Gallery.
Bukan hanya namanya, tapi juga mulai layout, perilaku penjual, dan suasana benar-benar serasa galeri barang seni. Salesmen pun disebut kurator dan hanya memberi info. Tidak menjual. Komunikasinya dengan pembeli seperti komunikasi kepada kolektor. Tidak ada promosi keras, apalagi diskon. Mana ada barang seni diobral?
Ternyata, konsep yang semula diperdebatkan keras sebelum disetujui itu sukses keras. Di Tokyo pun sampai sekarang masih ada Lexus Gallery walaupun spiritnya beda. Untuk itulah, saya lantas dikasih kesempatan sepanggung dengan Akio Toyoda. Tapi yang menarik, Toyota tak hanya berhenti di Lexus sebagai brand puncaknya. Akio memerintahkan supaya Toyota jadi pelopor untuk jadi brand green car juga.
Teknologi hybrid pun diperkenalkan walaupun harganya masih mahal. Prius jadi ikon baru bagi dunia otomotif. Toyota tidak peduli berapa cost research and development yang dikeluarkan dan kapan baliknya. Tapi, dengan menjadi pelopor di bidang lingkungan, mereka melakukan semacam brand deposit untuk masa depan.
Pelanggan yang sadar bahwa planet ini juga harus dijaga untuk anak cucu akan sudi membayar dengan harga lebih mahal. Sampai sekarang, proporsi volume penjualan Prius memang masih kecil sekali jika dibandingkan dengan Toyota dan Lexus, tapi Akio terus saja jalan dengan cita-citanya.
Di Amerika ada Wholefood yang hanya menjual produk-produk organik walaupun segmen pelanggannya masih kecil. Ketika ada krisis finansial 2008, para pelanggan itu menyusut karena beralih ke produk konvensional. Tetapi, Wholefood tidak pernah menyerah. Mereka berusaha mengurangi cost sebisanya supaya lebih kompetitif. Tetapi, tetap dengan prinsip bahwa Wholefood didirikan dengan misi penyelamatan planet bumi.
Inilah tiga P dari triple bottom line, yaitu profit, people, and planet. Kalau Anda peduli pada planet, pasti juga peduli pada people. Sebab, manusia kan juga ada di planet. Pesan inti dari Marketing 3.0 adalah lakukan dan tunjukkan itu dengan konsekuen, pada masa baik atau susah, maka profit akan datang.
Bagaimana pendapat Anda? (*)