MARKETING SERIES (71)
Pada suatu hari, ada seorang pelanggan Home Depot yang tidak punya sarana transportasi untuk mengangkut barang belanjaan yang banyak dari toko do it yourself itu. Pada waktu menunggu taksi yang tak kunjung lewat, ada seorang karyawan Home Depot yang keluar dengan mobilnya.
Ketika melihat ada pelanggannya yang tidak punya alat angkut, secara spontan dia menawarkan tumpangan.
Kebetulan, dia tahu bahwa rumah pelanggan itu berada di kompleks yang sama dengan rumahnya. Ini jelas bukan service karena tidak termasuk dalam kontrak. Tapi, itu adalah inisiatif pribadi dengan risiko personal juga. Ini cerita datar dan tidak istimewa. Tapi, itulah bentuk kepedulian. Cerita lain datang dari IBM. Ada seorang serviceman yang harus menaiki lebih dari 50 tangga ketika listrik mati di New York City. Hal itu tentu saja jarang terjadi di sana. Jadi, sama sekali tidak terduga dan tidak diantisipasi. Tapi, si serviceman mengambil inisiatif sendiri untuk mendaki pencakar langit itu karena lift tidak jalan. Sebab, pelanggan khawatir datanya kacau karena hilangnya aliran listrik.
Mestinya, dia bisa bilang bahwa dirinya harus menunggu sampai listrik hidup lagi. Tapi, dia tetap mengambil risiko pribadi. Sekali lagi, itulah yang disebut care –bukan sekadar service.
Suatu kali saya naik AirAsia. Dalam penerbangan, saya melakukan kebiasaan kesukaan saya, yaitu merenung dan menulis. Sebab, itulah satu-satunya kesempatan saya untuk melakukan aktivitas yang relatif tanpa gangguan.
Tapi, kali itu saya lupa bahwa saya sedang naik budget airline yang memang tidak menyediakan banyak fasilitas. Melihat saya butuh sesuatu untuk orat-oret, tiba-tiba awak kabin bilang bahwa dirinya masih menyimpan kertas tulis dari hotel yang tadi malam dia stay. Bolpoinnya langsung diambil dari kantong baju, lalu diberikan kepada saya. Bolpoinnya tidak bagus, tentu. Tapi, pemberian itu terasa sangat menyentuh dan berharga buat saya. Sebuah kepedulian, bukan sekadar service.
Tiga contoh itu pasti juga sering Anda alami, kan” Kadang-kadang, kalau kita lagi lucky, kita mendapatkan kepedulian seperti itu. Tapi, bisakah sebuah perusahaan membuat supaya kasus seperti itu bisa terjadi lebih sering” Bisakah sebuah perusahaan membuat banyak karyawannya mau melakukan hal itu” Bisakah hal itu terjadi walaupun tidak masuk job description” Bisakah terjadi walaupun tidak ada instruksi dari atasan”
Tidak gampang. Sebab, itu bukan sekadar penciptaan kultur perusahaan yang sering dibicarakan orang. Tapi, itu masalah bagaimana karakter perusahaan bisa tecermin pada karyawan. Dan karyawan pun merasa bangga ketika melakukan hal tersebut. Sebab, mereka sudah berhasil merefleksikan karakter dari brand perusahaan.
Anda tidak harus bekerja di health care industry untuk melakukan hal itu. Tapi, hal tersebut bisa terjadi di industri apa pun, asal Anda menghayati industri yang berhubungan dengan jiwa manusia. Dokter dan perawat memang sudah harus punya karakter care dari sononya. Baik ada job description-nya maupun tidak. Baik itu pada jam kerja maupun di luarnya. Baik ada perintah maupun tidak.
Karena nature-nya yang unik, pekerja health care sudah mutlak harus punya karakter seperti itu. Tapi, kalau ada industri non-health care bisa mengikuti kultur health care, akan jadi competitive advantage yang luar biasa. Caranya tentu saja dimulai dari culture building. Sebab, di sinilah nilai-nilai perusahaan akan tecermin pada perilaku karyawan.
Setelah itu, harus diusahakan adanya suatu culture engagement. Hal itu berkaitan dengan bagaimana membuat setiap karyawan bisa benar-benar menyatu. Bukan sekadar mengikuti culture itu.
Terakhir, berikan culture pride dalam membentuk karakter. Kalau sudah bangga akan kultur perusahaan, karyawan akan melakukannya dengan sukarela. Secara pribadi dengan segala risikonya. Tak peduli ada yang melihat atau tidak.
Apa pendapat Anda” (*)