Oleh : Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Rasanya sangat sakit hati ini: harus bekerja keras untuk menolong perusahaan yang lagi sakit keras, tapi kesulitan itu sebenarnya dibuat sendiri oleh direksinya.
Contohnya, Djakarta Lloyd. Perusahaan pelayaran yang pernah memiliki grup band terkenal D’Lloyd itu kini bukan main sulitnya. Sampai-sampai tidak mampu membayar karyawannya.
Pemerintah, bersama DPR, sebenarnya sudah berkali-kali mencoba menyelamatkannya. Yakni dengan cara menggerojokkan ratusan miliar uang negara ke dalamnya. Tapi sia-sia. Palung kesulitan Djakarta Lloyd sudah terlalu dalam rupanya. Uang ratusan miliar itu seperti batu kecil yang dilempar ke lautan dalam.
Kini perusahaan itu masih memiliki utang kira-kira Rp 3,6 triliun!
Kalau saja palung kesulitannya tidak terlalu dalam, sebenarnya Djakarta Lloyd masih bisa diselamatkan. Saya tahu caranya. Sewaktu masih menjabat Dirut PLN, saya sudah diminta ikut memikirkannya. Jalan keluar yang disiapkan waktu itu mestinya bisa menyehatkan Djakarta Lloyd dengan cepat: beri saja pekerjaan mengangkut batubara PLN sekian juta ton setahun!?
Ternyata, ada masalah: Djakarta Lloyd sudah tidak punya kapal sama sekali. Mau diangkut dengan apa batubara itu” Tentu masih ada jalan lain. Djakarta Lloyd bisa menyewa kapal. Yang penting perusahaan yang sedang pingsan itu segera memiliki aktivitas yang menguntungkan. Agar karyawannya bisa segera gajian. Tapi, cara ini sungguh bukan cara bisnis yang sehat.
PLN sebenarnya bisa juga menolong Djakarta Lloyd agar perusahaan itu bisa membeli kapal. Caranya: PLN menjamin Djakarta Lloyd akan selalu mendapat pekerjaan mengangkut batubara. Masalahnya: tidak ada lagi orang yang percaya kepada Djakarta Lloyd. Padahal, kepercayaan, dalam bisnis, adalah segala-galanya. Tidak punya uang pun sepanjang masih dipercaya sebenarnya masih bisa membeli kapal. Tapi, kepercayaan itu sudah lama terempas. Bahkan, secara teknis Djakarta Lloyd sudah tidak boleh memiliki kapal. Begitu ada yang tahu perusahaan ini memiliki kapal, kapal itu akan langsung jadi rebutan: disita oleh orang yang punya tagihan ke Djakarta Lloyd. Membeli lagi disita lagi. Membeli lagi disita lagi.
BUMN memiliki dua perusahaan pelayaran. Djakarta Lloyd dan Bahtera Adhi Guna. Dua-duanya mengalami kesulitan besar. Namun, Bahtera tidak sampai ke kasus hukum sehingga bisa diselamatkan. Yakni dijadikan anak perusahaan PLN. Tugasnya: mengangkut batubara jutaan ton milik PLN.
Ketika PLN ditugasi menyelamatkan Bahtera, perombakan direksi segera dilakukan. Hanya satu direksi lama yang masih dipertahankan. Selebihnya sudah orang baru pilihan PLN. Pelan-pelan kondisi perusahan itu membaik. Bahkan, sejak bulan lalu, Bahtera Adhi Guna sudah memiliki kapal-kapal besar untuk mengangkut batubara.
Tentu, saya tidak mau cara yang sama dipergunakan untuk menyelamatkan Djakarta Lloyd. Saya tidak mau Djakarta Lloyd menjadi anak perusahaan BUMN mana pun. Kasus-kasus utangnya, kasus hukumnya, kasus masa lalunya bisa menyeret induknya sampai ke neraka. Saya juga tidak setuju kalau negara kembali menggerojokkan uang ke dalamnya. Apalagi saya lihat Komisi VI DPR juga sudah sangat jengkel dengan persoalan seperti ini. Lebih jengkel lagi kalau tahu bagaimana kesulitan itu dibuat oleh para direksinya di masa lalu.
Dan, kasus seperti Djakarta Lloyd ini di BUMN tidak hanya satu.
Sebenarnya, kita harus kasihan kepada direktur utama Djakarta Lloyd yang sekarang, Syahril Japarin. Orangnya cerdas, gigih, dan mau bekerja keras. Dia juga tahan menderita: sejak diangkat menjadi Dirut setahun yang lalu belum pernah gajian. Dia memang bertekad belum mau mengambil gaji sebelum Djakarta Lloyd mampu menggaji karyawannya. Postur badannya yang kecil dan bakat kurusnya membuat saya lebih iba lagi melihatnya. Tapi, persoalan Djakarta Lloyd memang – terlalu berat. Kalau dipertahankan, pengorbanan tidak gajian itu akan terlalu lama. Bahkan bisa sampai seumur hidupnya. Padahal, dia tidak memiliki pekerjaan lain. Juga, menurut pengakuannya, tidak memiliki tabungan yang cukup. Nasionalisme dan geregetanlah yang menantangnya untuk mau menjadi Dirut Djakarta Lloyd.
Tapi, persoalannya tidak lagi cukup dengan pengorbanan. Tanggung jawab dan nasib Syahril Japarin sudah persis seperti syair lagu Sam D’lloyd, berjudul “Apa Salah dan Dosaku”
Aku tak sanggup lagi
Menerima derita ini
Aku tak sanggup lagi
Menerima semuanya
Apa salahku dan dosaku
Sampai ku begini
– “ – “ – “ – “ – “ – “ – “ – “ – “ – “ “
Karena itulah, perusahaan BUMN seperti pabrik kertas Leces di Probolinggo atau Industri Kapal Indonesia (IKI) di Makassar harus belajar banyak dari pengalaman Djakarta Lloyd. Dua perusahaan ini juga sangat-sangat sulit. Juga sampai tidak mampu menggaji karyawannya. Namun, masih ada cahaya kecil di kejauhan sana. Cahaya itulah yang harus dikejar.
Dua perusahaan ini tidak akan bisa diselamatkan hanya dengan cara menggerojokkan uang dari negara. Komisi VI DPR memang sudah menyetujui pemberian dana ratusan miliar rupiah kepada keduanya, namun saya memilih membenahi dulu manajemennya. Penggerojokan itu sudah pernah dilakukan, toh tidak bisa menolong banyak.
Karena itu, untuk Leces, saya minta banting setir dulu. Boiler baru yang sedang dibangun itu tidak perlu untuk menggerakkan mesin-mesin kertas. Boiler itu lebih baik untuk membangkitkan listrik. Saya melihat 4 buah turbin lama yang menganggur di PLN. Masing-masing 10 MW. Ini bisa dipakai di Leces. Setelah menghasilkan listrik 60 MW, listriknya jangan untuk menggerakkan mesin-mesin kertas, tapi dijual saja ke PLN. Industri kertas sekarang lagi sulit. Apalagi ada krisis Eropa dan Amerika.
Dengan menjual listrik ke PLN, setidaknya gaji untuk karyawan akan cukup. Demikian juga pabrik sodanya. Soda itu tidak perlu untuk membuat kertas. Jual saja sodanya ke pasar. Akan ada tambahan penghasilan lagi. Setelah karyawan bisa gajian, perusahaan akan lebih tenang. Manajemennya bisa sedikit bernapas sambil mencari akal apa lagi yang bisa dilakukan. Tentu, saya tetap terbuka untuk ide baru dari direksi dan karyawan Leces yang lebih baik.
Demikian juga IKI di Makassar. Perusahaan ini harus dihidupkan dengan memperbaiki dasar-dasar manajemennya. Bukan dengan tiba-tiba menggerojokkan uang besar-besaran. Perusahaan ini seharusnya tidak sulit. Sebab, pasarnya sangat besar. Banyak kapal yang antre untuk diperbaiki. Masalahnya, dok milik IKI sudah hancur. Dermaganya sudah rusak. Tempat peluncuran kapalnya sudah keropos.
Saya sudah minta perusahaan BUMN yang di Surabaya, PT Dok Perkapalan Surabaya (DPS), untuk turun tangan. Dirut DPS Firmansyah saya tugasi memperbaiki manajemen IKI. Juga menjadi penjamin perbaikan-perbaikan fasilitas dok yang rusak. DPS yang kinerjanya sangat bagus tentu bisa menularkan kemampuannya kepada IKI. Toh bidang usahanya persis sama.
PT Semen Tonasa, BUMN yang ada di Makassar, juga turun tangan. Pabrik semen yang lagi membangun unit yang ke-5 itu membutuhkan crane besar. Kebetulan, IKI memiliki crane yang sudah 10 tahun lebih menganggur. Daripada Tonasa membeli crane lebih baik memanfaatkan crane milik IKI yang sangat besar: 450 ton. Saya minta crane ini disewakan ke Tonasa. IKI bisa dapat pemasukan puluhan miliar.
Bahkan, Dirut Semen Tonasa M. Sattar Taba yang selama membangun tambahan pabrik semen memerlukan tenaga kerja sanggup menampung 100 orang karyawan IKI yang belum bekerja karena masih menunggu perbaikan sarana dok. Kelak, ketika pembangunan pabrik semen sudah selesai, perbaikan dok sudah selesai juga. Mereka bisa kembali bekerja keras di IKI.
Kalau IKI nanti kembali hidup, kapal-kapal di Indonesia Timur yang kalau rusak harus diperbaiki di Surabaya atau Jakarta cukup dikirim ke Makassar.
Tentu, saya salut dengan karyawan di Leces dan IKI. Di samping cukup sabar, mereka juga rajin ikut berpikir apa yang terbaik yang bisa dilakukan.
Malam Idul Adha yang lalu saya bermalam di Leces. Paginya, setelah salat Id, saya berdialog dengan karyawan yang ternyata memang sangat memprihatinkan. Hampir 2.000 karyawan tidak memiliki pekerjaan karena mesin-mesin pembuat kertas itu sudah lama berhenti.
Bagaimana galangan kapal IKI Makassar” Saya sudah dua kali meninjau IKI. Tanpa memberi tahu siapa pun. Yang pertama tengah hari. Yang kedua nyaris tengah malam, minggu depannya. Kedatangan saya yang pertama akhirnya memang diketahui beberapa karyawan. Mereka lantas tergopoh-gopoh bikin poster. Mereka berdemo. Mungkin karena tergesa-gesa, beberapa poster tidak bisa dibaca. Saya pun mendatangi mereka untuk mengingatkan bahwa memegang posternya terbalik.
Sepusing-pusing Leces dan IKI, kelihatannya tidak akan sepusing pabrik gula. Bukan hanya satu atau dua pabrik gula yang sulit. Tapi satu rombongan! Kini ada sekitar 25 pabrik gula milik BUMN yang keadaannya sangat sulit. Akibatnya, Indonesia harus impor gula. Mau diapakan pabrik-pabrik gula ini?
Saya sudah mempelajarinya. Sakitnya pabrik gula ini sudah seperti sakit komplikasi. Mulai dari lahan, tanah, tebang, angkut, giling, bibit, pupuk, rendemen, sampai ke manajemen.
Persoalan ini tidak mungkin lagi dipecahkan lewat keluhan, omelan, marah, seminar, rapat kerja, sidak, atau mutasi pejabat. Karena itu, 5 Februari nanti saya akan mengadakan acara yang saya namakan “bahtsul masail kubro pabrik gula”. Saya terpaksa meminjam istilah para ulama NU itu untuk menandai betapa sudah rumitnya persoalan pabrik gula ini. (*)